Oleh: Moh. Ilyas*
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terhenyak. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap mengikuti tata cara demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun 2010 saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan noda dalam praktik demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Akibatnya pemilukada yang diorientasikan agar dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses pelaksanaannya. Sehingga, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Banyaknya pelanggaran Pemilukada ini kian mengukuhkan identitas demokrasi kita yang masih labil dan sekadar formalitas dalam peralihan kepemimpinan. Ia tak ubahnya sebagai ajang kompetisi kekuatan mengatur strategi dalam berpolitik dan memanfaatkan kekuatan finansial sebagai modalnya. Dengan kata lain, jika punya strategi – tak peduli dilarang ataupun tidak, ia dapat memenangkan kompetisi itu. Wal-hasil Pemilukada semacam itupun menjadi tak berkualitas dan tak menghasilkan pemimpin yang betul-betul mengerti tentang permasalahan rakyatnya.
Coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemimpin hasil pemilihan secara langsung namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi kita hingga saat ini.
Padahal, kalau kita kembali menengok jendela demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi. Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi kita. Justru, semakin berkembang teori-teori itu, semakin meningkat pelanggaran dan penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Dari sini jelas bahwa Pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, ‘War of Position’ disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, Kota Manado, Kota Waringin Barat, dan Kabupaten Lamongan.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
* Penulis adalah Sekjen Bakornas LAPMI dan Direktur Qolam Institute Jakarta
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!