Welcome to Ilyas' Site

Sunday, January 30, 2011

Mandela dan Pemimpin Indonesia

Oleh Moh. Ilyas

Masih ingatkah anda sosok Nelson Mandela? Seorang pemimpin dan guru bangsa kaliber dunia yang begitu humanis dan dielu-elukan banyak orang di dunia. Dari sosok ini kita seperti diingatkan lagi tentang pelajaran kepemimpinan yang begitu berharga.

Richard Stengel, penulis otobiografi Mandela “Long Walk to Freedom” dalam Majalah Time (edisi 21 Juli 2008) mencatat delapan pelajaran kepemimpinan yang diajarkan Mandela. Dari delapan pelajaran sang maestro, dua di antaranya masih sangat relevan untuk dijadikan referensi di tengah kondisi banyaknya pemimpin yang hanya terbuai dengan nikmatnya kekuasaan semata di Indonesia.

Pertama, lead from the front, but don't leave your base bahind (Memimpin dari depan, tetapi tidak meninggalkan basis di belakang), sebuah model kepemimpinan yang tidak mengambil untung sendiri, tetapi juga tetap care terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

Model kepemimpinan ini begitu aktual dalam konteks Indonesia saat ini, di mana banyak pemimpin yang hanya memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya saja. Begitu mudahnya kita menyaksikan tipologi pemimpin yang lupa diri terhadap tugas dan amanah yang diembannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kondisi kepemimpinan ala Mandela bisa dikatakan sudah hilang dalam praktik kepemimpinan di tanah air. Padahal, dengan model kepemimpinannya, Mandela akan menjadi tokoh pemimpin yang – meminjam bahasa tangga kepemimpinan dalam buku ESQ karya Ary Ginanjar – merupakan pemimpin abadi. Ia tidak akan seperti pemimpin yang hanya berpengaruh sesaat, kemudian hilang ditelan zaman atau tinggal sedikit saja. Misalnya Winston Churchill, Leonid Breznev, Kaisar Hirohito, dan Yosef Broz Tito.

Mandela dengan keteladanan yang dicontohkannya di hadapan rakyatnya menjadikan dia sangat dekat dengan rakyat. Apalagi gagasannya dalam menghilangkan perbedaan yang disebabkan warna kulit yang telah menjadikan warga Afrika pecah belah. Mandela tidak didera ‘penyakit’ yang lazim menimpa seorang pemimpin yang cenderung melupakan essensi kepemimpinannya sebagai pembangun kesejahteraan rakyat. Bahkan, lebih jauh, ia seolah telah menebak bahwa hingga kapanpun, di antara “penyakit kronis” seorang pemimpin adalah meninggalkan rakyatnya di belakang, sehingga ia maju sendirian.

Lebih jauh, Mandela mengajarkan bahwa menjadi pemimpin sejatinya tidak hanya sekadar ingin mendapatkan privilege (baca: hak istimewa atau hak khusus) semata, tetapi lebih dari itu, pemimpin juga dituntut agar melihat sisi tanggung jawab dalam kepemimpinannya.

Penghianatan Publik

Fenomena yang hanya mengandalkan kenikmatan saja bagi seorang pemimpin dan melupakan tugas kepemimpinannya bisa disebut sebagai penghianatan publik. Fenomena tersebut juga akan mengubur panjang cita-cita dan tugas seorang pemimpin ideal yang biasa dikonotasikan dengan istilah“back to society”, yang melandasi misi dan visinya untuk bisa kembali ke masyarakat. Bahkan, istilah ini telah dilupakan dan terkesan hanya menjadi jargon belaka.

Kendatipun demikian, kampanye kesuksesan (baca: pencitraan) dalam menyejahterakan rakyat terus digalakkan. Seolah-olah, pemimpin di negeri ini tak mau disebut “gagal” atau “bohong” dalam melaksanakan tugasnya. Cara yang ditempuh misalnya dengan membuat catatan-catatan prestasi dan dipublikasikan di media. Praktek semacam ini hampir terlihat di semua tingkatan pemerintahan di Indonesia. Bupati/wali kota, termasuk gubernur mengklaim telah melakukan “ini” dan “itu” untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi ketika dilihat langsung ke lapangan, nyaris tak ada masyarakat puas dengan kinerja pemerintah.

Praktik ini juga terjadi di pusat. Berbagai kesuksesan dalam pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat diklaim oleh pemerintah. Tetapi justru pada saat yang bersamaan, rakyat yang kelaparan dan hidup dalam penderitaan masih menggunung. Sehingga tidak heran jika rakyat menganggap klaim pemerintah tersebut sebagai sebuah kebohongan.

Tradisi klaim ini potensial menciptakan pemimpin lupa diri. Dengan klaim kesuksesan - terutama melalui kepanjangan tangannya (baca: menteri dan pimpinan organisasi perangkat daerah) - pemimpin akhirnya tidak bisa melihat kekurangan dan kesulitan yang dialami rakyatnya secara jernih, terutama mengenai hal apapun yang mendesak diperbaiki.

Sikap-sikap yang hanya dilandasi dengan klaim, tanpa melihat kenyataan ini dapat dikatakan sebagai penghianatan terhadap publik. Sehingga integritas pemimpin kita masih sangat layak disoal, apalagi di tengah ketidakpercayaan publik. Viscount Slim, dalam Pemimpin Adi Luhung, Geneologi Kepemimpinan Kontemporer” (2006) menegaskan bahwa di antara hilangnya integritas seorang pemimpin adalah di saat rakyat sudah tidak lagi mempercayai kualitas kepemimpinan mereka.

Ketidakpercayaan itu tentu saja berawal dari hasil kinerja pemerintah yang tidak dirasakan oleh rakyat sendiri. Oleh karenanya, seorang pemimpin tidak hanya cukup dengan hanya klaim atau sekadar menerima laporan dan laporan saja. Ia mesti terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui apa saja yang menjadi keluhan dan kebutuhan rakyat.

Mabuk kekuasaan

Ajaran kepemimpinan kedua dari Mandela yang kontektual dengan Indonesia saat ini adalah “quitting is leading too”. Petuah ini mengingatkan agar kita tidak kemaruk kekuasaan. Pemimpin selalu introspektif dan tahu kapan waktunya berhenti (Lihat Alfian: Demokrasi Pilihlah Aku, 2009).

Menjadi pemimpin, yang selalu identik dengan "dilayani", bukan "melayani" rakyatnya sebagaimana mestinya, membuat mereka mabuk kekuasaan. Syahwat ingin menempati kursi empuk jabatan akhirnya tak terbendung, sehingga selalu dicarikan cara agar tetap bisa memimpin. Misalnya dengan mewariskan jabatannya kelak, setelah dua periode - sebagaimana aturan Undang-Undang yang membatasi masa jabatan pemimpin (presiden, gubernur, bupati/wali kota) - kepada anak, istri, atau bahkan menantu. Hal ini terjadi, karena paradigma pemimpin sebagai “The problem solver” dan pemimpin itu adalah pengayom, "pelayan", dan "tempat curhat" bagi rakyat telah hilang dininabobokkan kekuasaan dan kenimatan semata.

* Penulis adalah pemerhati sosial politik dan sosial budaya, tinggal di Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!