Oleh Moh. Ilyas*
Akhir-akhir ini perbincangan seputar demokrasi kembali mengemuka. Bahkan ungkapan-ungkapan kekecewaan yang berupa perdebatan mengenai essensi demokrasi juga hampir tiap hari terdengar di beberapa diskusi-diskusi beberapa aktivis maupun mantan aktivis. Sebagian mereka “menggugat” essensi demokrasi pasca-reformasi 1998 lalu.
Dalam peringatan peristiwa Malari dan HUT Indonesia Democracy Monitor (Indemo) misalnya, beberapa mantan aktivis Malari tahun 70-an, pengamat politik, hingga pengemuka hukum sekelas Adnan Buyung Nasution meragukan kepemimpinan SBY (yang dihasilkan melalui sistem demokrasi) akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Bahkan, dalam acara yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (15/1) lalu itu, pengamat politik, Yudi Latif menilai bahwa posisi demokrasi di Indonesia saat ini berada dalam kekosongan makna. Artinya tak bisa diharapkan lagi, cita-cita demokrasi sebagai media mewujudkan pembangunan nasional.
Hal serupa juga diungkapkan mantan aktivis Malari, Hariman Siregar. Dia mengakui kekecewaannya terhadap hasil demokrasi saat ini di tanah air. Menurutnya, prosedur demokrasi di negeri kita sudah dibajak oleh partai politik yang hanya berorientasi pada uang dan kekuasaan. Sehingga demokrasi menjadi kehilangan arah dan substansinya.
Kekecewaan Yudi maupun Hariman ini sangat beralasan, terutama ketika melihat kebijakan-kebijakan pihak eksekutif (baca: presiden) tak kunjung dirasakan rakya. Rakyat hanya merasa dicekoki dengan janji-janji dan obralan “prestasi kerja” yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Sementara di sisi lain, kritik legislatif (baca: wakil rakyat) yang berfungsi sebagai check and balance terhadap pemerintah tak begitu kuat pengaruhnya, apalagi setelah dibentuknya Sekretariat Gabungan Partai Koalisi, DPR seperti semakin melempem atas kebijakan pemerintah dan klaim-klaim keberhasilannya. Padahal check and balance merupakan keniscayaan agar demokrasi dapat berjalan optimal. Ini tidak lain karena Setgab yang menjadi pendukung pemerintahan SBY-Boediono sangat kuat dalam membayang-bayangi daya kritis partai politik, walaupun keberadaannya dapat dinilai “melukai” demokrasi, karena ia dibangun bukan atas dasar kesamaan visi kepentingan publik, melainkan kesamaan kepentingan kekuasaan belaka.
Tidak hanya itu, Setgab ini juga berpengaruh pada adanya beberapa problem yang menciderai demokrasi dan merugikan negara semisal kasus Bank Century dan Kasus Gayus yang tidak mudah “dituntaskan”. Sebab sangat mungkin politik transaksional beroperasi yang mengakibatkan runtuhnya bangunan cita-cita dari seluruh partai untuk berpihak pada kepentingan rakyat.
Kendala lainnya yang menjadi batu sandungan daya kritis parpol, karena masing-masing parpol dianggap telah memiliki “kartu AS”. Demokrat misalnya dengan skandal Century, Golkar dengan kasus Gayus, PDI-P dengan kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai Gubernur BI, dan PKS dengan adanya kasus Misbakhun. Jika demikian halnya, maka demokrasi di Indonesia tak bisa lagi diharapkan akan menghasilkan cita-citanya. Bahkan yang terjadi bukan lagi demokrasi, tetapi – meminjam istilah Plato sekitar 6 abad SM hanyalah timocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan di tengah masyarakat korup sehingga membentuk pemerintahan yang korup pula.
Inilah fenomena politik “cari aman” yang menjadi kepanjangan dari kecenderungan adanya “politik barter” untuk mendapatkan jatah “kue” kekuasaan. Sementara di sisi lain, kontrol publik, yang menjadi kekuatan non-parlemen masih terkesan lewat saja di telinga pengambil kebijakan.
Pepesan Kosong
Peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi menyajikan secercah harapan bagi berlangsungnya kehidupan politik yang demokratis. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi justru di luar dugaan. Masyarakat dipertontonkan dengan fenomena demokrasi semu yang hanya diobok-obok dengan janji maupun khayalan dari demokrasi itu sendiri.
Demikian itu terjadi karena demokrasi kita masih hanya berupa demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Demokrasi prosedural ini hanya ditandai dengan bentuk demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum saja. Artinya, setiap warga negara memiliki hak untuk dapat memilih dan dipilih, sepanjang memenuhi persyaratan di muka hukum. Padahal, di sinilah sebenarnya sisi gelap demokrasi (the dark side of democracy) akan muncul, karena ketika semua orang dapat memilih dan dipilih, maka dapat muncul mobocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat yang bodoh, tak berpendidikan, memiliki akhlak buruk, mudah disuap, dan cenderung menyukai kemaksiatan.
Itulah resiko demokrasi. Sehingga hasil produk demokrasi juga dipengaruhi oleh kualitas proses demokrasi itu sendiri. Dengan begitu, demokrasi bukan jaminan untuk dapat mengantarkan hasil tatanan pembangunan negara yang berkualitas. Barangkali itulah sebabnya, dalam makalahnya berjudul “On Nation States in The Changing World”, dalam sebuah Konferensi Internasional di Manila, Nopember 1992, Lee Kuan Yew antara lain mengatakan, “A nation must first achieve economic progress. Democracy will follow this”.
Apa yang dikatakan Yew ini seolah diulangi kembali oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sebuah seminar di CSIS, 22 Maret 2006. Kalla mengingatkan bahwa tidak semua negara yang menganut sistem demokrasi mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Memang kalla tidak mempersalahkan demokrasi, tetapi terkesan menyayangkan proses demokrasi, yang dalam banyak kasus justru menghambat upaya penciptaan kemakmuran (Baca: Demokrasi Pilihlah Aku, 2009).
Apa yang disinyalir Yew dan Kalla ini seperti telah menemukan kebenarannya dalam konteks Indonesia saat ini. Pemimpin yang merupakan produk demokrasi seperti hanya bergeming melihat kenyataan banyaknya kasus yang bermunculan dan tidak mampu menyelesaikannya. Bahkan, ia hanya bersesumbar, semisal akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, namun kenyataannya, ia cenderung “bersembunyi” di balik alasan “intervensi”.
Oleh karenanya tidak heran jika para pemuka agama, belum lama ini menyebut pemerintah telah melakukan kebohongan publik, karena mereka hanya bersesumbar janji dan mengklaim keberhasilan, padahal kenyataannya tidak sesuai dengan klaim tersebut. Inilah negeri yang katanya demokratis, namun rakyatnya larut dalam kesengsaraan, penderitaan, dan kemiskinan. Dengan begitu, bukankah tepat jika dikatakan bahwa proses demokrasi kita masih hanya pepesan kosong?
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian dan Sekjen Bakornas LAPMI
Sunday, January 30, 2011
Meneguhkan Sikap Inklusivisme Beragama
Oleh Moh. Ilyas*
Pada tahun 2010 kemarin, tampaknya menjadi tahun buram bagi masyarakat beragama di Indonesia. Pasalnya peristiwa kekerasan yang terjadi atas nama agama yang seolah membolehkan tindakan intoleransi beragama meningkat drastis dibanding tahun 2009.
Dalam catatan Moderate Moslem Society (MMS) terdapat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Angka ini naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat (73 kasus), Sumatera Barat (56 kasus), dan Jakarta (45 kasus).
Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, umat kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).
Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.
Sementara Kompas (10/1/2011) mencatat bahwa sepanjang 2010 terjadi 33 penyerangan fisik atas nama agama. Dalam harian itu, mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengatakan, pada 2009 terjadi 40 kasus kekerasan atas nama agama, sedangkan 2010 meningkat menjadi 49 kasus.
Terlepas dari alasan apapun, fenomena ini menunjukkan bahwa masalah etika dan kebebasan beragama di tanah air masih belum mendapatkan perhatian secara optimal, sehingga tugas umat beragama juga belum selesai. Banyak umat beragama masih berasumsi bahwa keyakinan kebenaran akan suatu agama secara langsung meniadakan kebenaran agama lain. Mereka menjadi tertutup (baca: eksklusif) untuk mempelajari dan mengetahui agama lain.
Fenomena semacam ini sebenarnya sudah bukan "barang baru" di Indonesia. Puluhan tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama sepertinya masih belum cukup untuk menjadi pelajaran, padahal semua itu dapat dikatakan karena sempitnya pemahaman pemeluk agama terhadap agama lain. Sehingga mereka - meminjam istilah Ahmad N. Burhani - terjebak dalam kungkungan ideologis, yakni munculnya klaim of truth (klaim kebenaran) dan klaim of salvation (klaim keselamatan). (Baca: Ahmad N. Burhani, 2001).
"Emoh" Mempelajari Agama Lain
Sikap menutup diri dari kebenaran agama lain itu melahirkan sikap "emoh" atau tidak mau untuk mengetahui agama lain yang sebenarnya. Kemauan mempelajari agama lain hanya pada sisi-sisi kelemahannya saja, sehingga dalam pandangannya, agama yang dianutnya saja yang benar, sementara agama lain semuanya salah.
Padahal, menurut mantan Menteri Agama, Mukti Ali, kekuatan suatu sistem agama tidak dapat ditemukan dengan melihat kekeliruan-kekeliruannya, tapi dengan mempelajari apa yang baik dan benar atau setidaknya yang mendekati benar. Dengan mempelajari agama-agama lain, lanjut Mukti Ali, kita dapat sampai pada pemahaman lebih baik mengenai agama kita sendiri dan dengan cara ini keimanan kita kian mendalam. (Lihat dalam Greg Barton, 1999).
Kemauan mempelajari agama lain itu pada akhirnya akan sampai pada ajaran inklusivisme, sebuah ajaran keterbukaan dalam beragama. Dengan ajaran ini, seorang pemeluk agama tidak akan terkungkung dalam agama tertentu yang menyebabkannya membenci, bahkan memusuhi agama lain. Ia, bisa saja sangat yakin dengan kebenaran agamanya, tetapi keyakinan itu tidak membuatnya bersikap "buta" dan "tuli" terhadap kebenaran agama lain.
Tentu saja dalam memahami agama lain, ia tidak sedang diikat oleh agamanya sendiri, atau meminjam bahasa Alwi Shihab, ia berani membuka baju keagamaannya saat meneliti agama lain. Dengan langkah seperti itu, ia akan mendapatkan hasil obyektif mengenai agama yang ditelitinya. (Baca: Alwi Shihab, 1997).
Cara-cara semacam ini, sangat tepat dijadikan "jembatan" dalam membangun kualitas keberagamaan di Indonesia. Setidaknya tidak akan ada lagi yang namanya chaos atas dasar agama. Ini tidak hanya berlaku bagi agama tertentu saja, tetapi semua agama yang hidup di negeri yang menghargai pluralitas ini. Namun, jika cara-cara elok ini dijauhi, bukan hal mustahil fenomena konflik keberagamaan akan terus berjalan mulus.
Kesadaran Pluralitas
Salah satu pimpinan sebuah organisasi masyarakat baru-baru ini mensinyalir kecenderungan yang dipersalahkan dalam kasus beragama adalah agama mayoritas. Menurutnya, hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab yang memulai "pertikaian" atas nama agama, terkadang kelompok non-mayoritas.
Pernyataan pimpinan ormas tersebut tentu tidak untuk memojokkan satu agama saja. Ia hanya ingin perdamaian beragama dimulai secara bersama-sama oleh semua pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, maupun Konghucu. Semua pemeluk agama berhak hidup damai, aman, dan sentosa.
Inilah landasannya, mengapa kita begitu berharap bahwa pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidak akan lagi ada konflik-konflik yang dimotori oleh agama. Kita sudah jenuh dengan konflik itu. Kita ingin semua umat beragama dibangun atas kesadaran pluralitas yang tinggi, di mana kesetaraan, kesamaan, dan persamaan hak hidup tumbuh bersemai dalam aneka spektrum kehidupan umat beragama di tanah air.
Barangkali inilah inti-keinginan tokoh-tokoh pluralis seperti Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid (alm) untuk memaknai pluralitas secara substansial dan nyata di Indonesia. Mereka seolah-olah berpesan, "Kami menitipkan harga pluralitas keberagamaan itu tidak hanya dalam wacana dan diskusi. Kami menginginkan masyarakat Indonesia hidup bersama, aman, dan damai dalam makna pluralitas yang sebenarnya tanpa memandang dari agama mana mereka berasal.”
* Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Sosial Budaya. Kini sebagai Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI.
Pada tahun 2010 kemarin, tampaknya menjadi tahun buram bagi masyarakat beragama di Indonesia. Pasalnya peristiwa kekerasan yang terjadi atas nama agama yang seolah membolehkan tindakan intoleransi beragama meningkat drastis dibanding tahun 2009.
Dalam catatan Moderate Moslem Society (MMS) terdapat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Angka ini naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat (73 kasus), Sumatera Barat (56 kasus), dan Jakarta (45 kasus).
Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, umat kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).
Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.
Sementara Kompas (10/1/2011) mencatat bahwa sepanjang 2010 terjadi 33 penyerangan fisik atas nama agama. Dalam harian itu, mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengatakan, pada 2009 terjadi 40 kasus kekerasan atas nama agama, sedangkan 2010 meningkat menjadi 49 kasus.
Terlepas dari alasan apapun, fenomena ini menunjukkan bahwa masalah etika dan kebebasan beragama di tanah air masih belum mendapatkan perhatian secara optimal, sehingga tugas umat beragama juga belum selesai. Banyak umat beragama masih berasumsi bahwa keyakinan kebenaran akan suatu agama secara langsung meniadakan kebenaran agama lain. Mereka menjadi tertutup (baca: eksklusif) untuk mempelajari dan mengetahui agama lain.
Fenomena semacam ini sebenarnya sudah bukan "barang baru" di Indonesia. Puluhan tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama sepertinya masih belum cukup untuk menjadi pelajaran, padahal semua itu dapat dikatakan karena sempitnya pemahaman pemeluk agama terhadap agama lain. Sehingga mereka - meminjam istilah Ahmad N. Burhani - terjebak dalam kungkungan ideologis, yakni munculnya klaim of truth (klaim kebenaran) dan klaim of salvation (klaim keselamatan). (Baca: Ahmad N. Burhani, 2001).
"Emoh" Mempelajari Agama Lain
Sikap menutup diri dari kebenaran agama lain itu melahirkan sikap "emoh" atau tidak mau untuk mengetahui agama lain yang sebenarnya. Kemauan mempelajari agama lain hanya pada sisi-sisi kelemahannya saja, sehingga dalam pandangannya, agama yang dianutnya saja yang benar, sementara agama lain semuanya salah.
Padahal, menurut mantan Menteri Agama, Mukti Ali, kekuatan suatu sistem agama tidak dapat ditemukan dengan melihat kekeliruan-kekeliruannya, tapi dengan mempelajari apa yang baik dan benar atau setidaknya yang mendekati benar. Dengan mempelajari agama-agama lain, lanjut Mukti Ali, kita dapat sampai pada pemahaman lebih baik mengenai agama kita sendiri dan dengan cara ini keimanan kita kian mendalam. (Lihat dalam Greg Barton, 1999).
Kemauan mempelajari agama lain itu pada akhirnya akan sampai pada ajaran inklusivisme, sebuah ajaran keterbukaan dalam beragama. Dengan ajaran ini, seorang pemeluk agama tidak akan terkungkung dalam agama tertentu yang menyebabkannya membenci, bahkan memusuhi agama lain. Ia, bisa saja sangat yakin dengan kebenaran agamanya, tetapi keyakinan itu tidak membuatnya bersikap "buta" dan "tuli" terhadap kebenaran agama lain.
Tentu saja dalam memahami agama lain, ia tidak sedang diikat oleh agamanya sendiri, atau meminjam bahasa Alwi Shihab, ia berani membuka baju keagamaannya saat meneliti agama lain. Dengan langkah seperti itu, ia akan mendapatkan hasil obyektif mengenai agama yang ditelitinya. (Baca: Alwi Shihab, 1997).
Cara-cara semacam ini, sangat tepat dijadikan "jembatan" dalam membangun kualitas keberagamaan di Indonesia. Setidaknya tidak akan ada lagi yang namanya chaos atas dasar agama. Ini tidak hanya berlaku bagi agama tertentu saja, tetapi semua agama yang hidup di negeri yang menghargai pluralitas ini. Namun, jika cara-cara elok ini dijauhi, bukan hal mustahil fenomena konflik keberagamaan akan terus berjalan mulus.
Kesadaran Pluralitas
Salah satu pimpinan sebuah organisasi masyarakat baru-baru ini mensinyalir kecenderungan yang dipersalahkan dalam kasus beragama adalah agama mayoritas. Menurutnya, hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab yang memulai "pertikaian" atas nama agama, terkadang kelompok non-mayoritas.
Pernyataan pimpinan ormas tersebut tentu tidak untuk memojokkan satu agama saja. Ia hanya ingin perdamaian beragama dimulai secara bersama-sama oleh semua pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, maupun Konghucu. Semua pemeluk agama berhak hidup damai, aman, dan sentosa.
Inilah landasannya, mengapa kita begitu berharap bahwa pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidak akan lagi ada konflik-konflik yang dimotori oleh agama. Kita sudah jenuh dengan konflik itu. Kita ingin semua umat beragama dibangun atas kesadaran pluralitas yang tinggi, di mana kesetaraan, kesamaan, dan persamaan hak hidup tumbuh bersemai dalam aneka spektrum kehidupan umat beragama di tanah air.
Barangkali inilah inti-keinginan tokoh-tokoh pluralis seperti Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid (alm) untuk memaknai pluralitas secara substansial dan nyata di Indonesia. Mereka seolah-olah berpesan, "Kami menitipkan harga pluralitas keberagamaan itu tidak hanya dalam wacana dan diskusi. Kami menginginkan masyarakat Indonesia hidup bersama, aman, dan damai dalam makna pluralitas yang sebenarnya tanpa memandang dari agama mana mereka berasal.”
* Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Sosial Budaya. Kini sebagai Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI.
Mandela dan Pemimpin Indonesia
Oleh Moh. Ilyas
Masih ingatkah anda sosok Nelson Mandela? Seorang pemimpin dan guru bangsa kaliber dunia yang begitu humanis dan dielu-elukan banyak orang di dunia. Dari sosok ini kita seperti diingatkan lagi tentang pelajaran kepemimpinan yang begitu berharga.
Richard Stengel, penulis otobiografi Mandela “Long Walk to Freedom” dalam Majalah Time (edisi 21 Juli 2008) mencatat delapan pelajaran kepemimpinan yang diajarkan Mandela. Dari delapan pelajaran sang maestro, dua di antaranya masih sangat relevan untuk dijadikan referensi di tengah kondisi banyaknya pemimpin yang hanya terbuai dengan nikmatnya kekuasaan semata di Indonesia.
Pertama, lead from the front, but don't leave your base bahind (Memimpin dari depan, tetapi tidak meninggalkan basis di belakang), sebuah model kepemimpinan yang tidak mengambil untung sendiri, tetapi juga tetap care terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Model kepemimpinan ini begitu aktual dalam konteks Indonesia saat ini, di mana banyak pemimpin yang hanya memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya saja. Begitu mudahnya kita menyaksikan tipologi pemimpin yang lupa diri terhadap tugas dan amanah yang diembannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kondisi kepemimpinan ala Mandela bisa dikatakan sudah hilang dalam praktik kepemimpinan di tanah air. Padahal, dengan model kepemimpinannya, Mandela akan menjadi tokoh pemimpin yang – meminjam bahasa tangga kepemimpinan dalam buku ESQ karya Ary Ginanjar – merupakan pemimpin abadi. Ia tidak akan seperti pemimpin yang hanya berpengaruh sesaat, kemudian hilang ditelan zaman atau tinggal sedikit saja. Misalnya Winston Churchill, Leonid Breznev, Kaisar Hirohito, dan Yosef Broz Tito.
Mandela dengan keteladanan yang dicontohkannya di hadapan rakyatnya menjadikan dia sangat dekat dengan rakyat. Apalagi gagasannya dalam menghilangkan perbedaan yang disebabkan warna kulit yang telah menjadikan warga Afrika pecah belah. Mandela tidak didera ‘penyakit’ yang lazim menimpa seorang pemimpin yang cenderung melupakan essensi kepemimpinannya sebagai pembangun kesejahteraan rakyat. Bahkan, lebih jauh, ia seolah telah menebak bahwa hingga kapanpun, di antara “penyakit kronis” seorang pemimpin adalah meninggalkan rakyatnya di belakang, sehingga ia maju sendirian.
Lebih jauh, Mandela mengajarkan bahwa menjadi pemimpin sejatinya tidak hanya sekadar ingin mendapatkan privilege (baca: hak istimewa atau hak khusus) semata, tetapi lebih dari itu, pemimpin juga dituntut agar melihat sisi tanggung jawab dalam kepemimpinannya.
Penghianatan Publik
Fenomena yang hanya mengandalkan kenikmatan saja bagi seorang pemimpin dan melupakan tugas kepemimpinannya bisa disebut sebagai penghianatan publik. Fenomena tersebut juga akan mengubur panjang cita-cita dan tugas seorang pemimpin ideal yang biasa dikonotasikan dengan istilah“back to society”, yang melandasi misi dan visinya untuk bisa kembali ke masyarakat. Bahkan, istilah ini telah dilupakan dan terkesan hanya menjadi jargon belaka.
Kendatipun demikian, kampanye kesuksesan (baca: pencitraan) dalam menyejahterakan rakyat terus digalakkan. Seolah-olah, pemimpin di negeri ini tak mau disebut “gagal” atau “bohong” dalam melaksanakan tugasnya. Cara yang ditempuh misalnya dengan membuat catatan-catatan prestasi dan dipublikasikan di media. Praktek semacam ini hampir terlihat di semua tingkatan pemerintahan di Indonesia. Bupati/wali kota, termasuk gubernur mengklaim telah melakukan “ini” dan “itu” untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi ketika dilihat langsung ke lapangan, nyaris tak ada masyarakat puas dengan kinerja pemerintah.
Praktik ini juga terjadi di pusat. Berbagai kesuksesan dalam pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat diklaim oleh pemerintah. Tetapi justru pada saat yang bersamaan, rakyat yang kelaparan dan hidup dalam penderitaan masih menggunung. Sehingga tidak heran jika rakyat menganggap klaim pemerintah tersebut sebagai sebuah kebohongan.
Tradisi klaim ini potensial menciptakan pemimpin lupa diri. Dengan klaim kesuksesan - terutama melalui kepanjangan tangannya (baca: menteri dan pimpinan organisasi perangkat daerah) - pemimpin akhirnya tidak bisa melihat kekurangan dan kesulitan yang dialami rakyatnya secara jernih, terutama mengenai hal apapun yang mendesak diperbaiki.
Sikap-sikap yang hanya dilandasi dengan klaim, tanpa melihat kenyataan ini dapat dikatakan sebagai penghianatan terhadap publik. Sehingga integritas pemimpin kita masih sangat layak disoal, apalagi di tengah ketidakpercayaan publik. Viscount Slim, dalam Pemimpin Adi Luhung, Geneologi Kepemimpinan Kontemporer” (2006) menegaskan bahwa di antara hilangnya integritas seorang pemimpin adalah di saat rakyat sudah tidak lagi mempercayai kualitas kepemimpinan mereka.
Ketidakpercayaan itu tentu saja berawal dari hasil kinerja pemerintah yang tidak dirasakan oleh rakyat sendiri. Oleh karenanya, seorang pemimpin tidak hanya cukup dengan hanya klaim atau sekadar menerima laporan dan laporan saja. Ia mesti terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui apa saja yang menjadi keluhan dan kebutuhan rakyat.
Mabuk kekuasaan
Ajaran kepemimpinan kedua dari Mandela yang kontektual dengan Indonesia saat ini adalah “quitting is leading too”. Petuah ini mengingatkan agar kita tidak kemaruk kekuasaan. Pemimpin selalu introspektif dan tahu kapan waktunya berhenti (Lihat Alfian: Demokrasi Pilihlah Aku, 2009).
Menjadi pemimpin, yang selalu identik dengan "dilayani", bukan "melayani" rakyatnya sebagaimana mestinya, membuat mereka mabuk kekuasaan. Syahwat ingin menempati kursi empuk jabatan akhirnya tak terbendung, sehingga selalu dicarikan cara agar tetap bisa memimpin. Misalnya dengan mewariskan jabatannya kelak, setelah dua periode - sebagaimana aturan Undang-Undang yang membatasi masa jabatan pemimpin (presiden, gubernur, bupati/wali kota) - kepada anak, istri, atau bahkan menantu. Hal ini terjadi, karena paradigma pemimpin sebagai “The problem solver” dan pemimpin itu adalah pengayom, "pelayan", dan "tempat curhat" bagi rakyat telah hilang dininabobokkan kekuasaan dan kenimatan semata.
* Penulis adalah pemerhati sosial politik dan sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Masih ingatkah anda sosok Nelson Mandela? Seorang pemimpin dan guru bangsa kaliber dunia yang begitu humanis dan dielu-elukan banyak orang di dunia. Dari sosok ini kita seperti diingatkan lagi tentang pelajaran kepemimpinan yang begitu berharga.
Richard Stengel, penulis otobiografi Mandela “Long Walk to Freedom” dalam Majalah Time (edisi 21 Juli 2008) mencatat delapan pelajaran kepemimpinan yang diajarkan Mandela. Dari delapan pelajaran sang maestro, dua di antaranya masih sangat relevan untuk dijadikan referensi di tengah kondisi banyaknya pemimpin yang hanya terbuai dengan nikmatnya kekuasaan semata di Indonesia.
Pertama, lead from the front, but don't leave your base bahind (Memimpin dari depan, tetapi tidak meninggalkan basis di belakang), sebuah model kepemimpinan yang tidak mengambil untung sendiri, tetapi juga tetap care terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Model kepemimpinan ini begitu aktual dalam konteks Indonesia saat ini, di mana banyak pemimpin yang hanya memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya saja. Begitu mudahnya kita menyaksikan tipologi pemimpin yang lupa diri terhadap tugas dan amanah yang diembannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kondisi kepemimpinan ala Mandela bisa dikatakan sudah hilang dalam praktik kepemimpinan di tanah air. Padahal, dengan model kepemimpinannya, Mandela akan menjadi tokoh pemimpin yang – meminjam bahasa tangga kepemimpinan dalam buku ESQ karya Ary Ginanjar – merupakan pemimpin abadi. Ia tidak akan seperti pemimpin yang hanya berpengaruh sesaat, kemudian hilang ditelan zaman atau tinggal sedikit saja. Misalnya Winston Churchill, Leonid Breznev, Kaisar Hirohito, dan Yosef Broz Tito.
Mandela dengan keteladanan yang dicontohkannya di hadapan rakyatnya menjadikan dia sangat dekat dengan rakyat. Apalagi gagasannya dalam menghilangkan perbedaan yang disebabkan warna kulit yang telah menjadikan warga Afrika pecah belah. Mandela tidak didera ‘penyakit’ yang lazim menimpa seorang pemimpin yang cenderung melupakan essensi kepemimpinannya sebagai pembangun kesejahteraan rakyat. Bahkan, lebih jauh, ia seolah telah menebak bahwa hingga kapanpun, di antara “penyakit kronis” seorang pemimpin adalah meninggalkan rakyatnya di belakang, sehingga ia maju sendirian.
Lebih jauh, Mandela mengajarkan bahwa menjadi pemimpin sejatinya tidak hanya sekadar ingin mendapatkan privilege (baca: hak istimewa atau hak khusus) semata, tetapi lebih dari itu, pemimpin juga dituntut agar melihat sisi tanggung jawab dalam kepemimpinannya.
Penghianatan Publik
Fenomena yang hanya mengandalkan kenikmatan saja bagi seorang pemimpin dan melupakan tugas kepemimpinannya bisa disebut sebagai penghianatan publik. Fenomena tersebut juga akan mengubur panjang cita-cita dan tugas seorang pemimpin ideal yang biasa dikonotasikan dengan istilah“back to society”, yang melandasi misi dan visinya untuk bisa kembali ke masyarakat. Bahkan, istilah ini telah dilupakan dan terkesan hanya menjadi jargon belaka.
Kendatipun demikian, kampanye kesuksesan (baca: pencitraan) dalam menyejahterakan rakyat terus digalakkan. Seolah-olah, pemimpin di negeri ini tak mau disebut “gagal” atau “bohong” dalam melaksanakan tugasnya. Cara yang ditempuh misalnya dengan membuat catatan-catatan prestasi dan dipublikasikan di media. Praktek semacam ini hampir terlihat di semua tingkatan pemerintahan di Indonesia. Bupati/wali kota, termasuk gubernur mengklaim telah melakukan “ini” dan “itu” untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi ketika dilihat langsung ke lapangan, nyaris tak ada masyarakat puas dengan kinerja pemerintah.
Praktik ini juga terjadi di pusat. Berbagai kesuksesan dalam pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat diklaim oleh pemerintah. Tetapi justru pada saat yang bersamaan, rakyat yang kelaparan dan hidup dalam penderitaan masih menggunung. Sehingga tidak heran jika rakyat menganggap klaim pemerintah tersebut sebagai sebuah kebohongan.
Tradisi klaim ini potensial menciptakan pemimpin lupa diri. Dengan klaim kesuksesan - terutama melalui kepanjangan tangannya (baca: menteri dan pimpinan organisasi perangkat daerah) - pemimpin akhirnya tidak bisa melihat kekurangan dan kesulitan yang dialami rakyatnya secara jernih, terutama mengenai hal apapun yang mendesak diperbaiki.
Sikap-sikap yang hanya dilandasi dengan klaim, tanpa melihat kenyataan ini dapat dikatakan sebagai penghianatan terhadap publik. Sehingga integritas pemimpin kita masih sangat layak disoal, apalagi di tengah ketidakpercayaan publik. Viscount Slim, dalam Pemimpin Adi Luhung, Geneologi Kepemimpinan Kontemporer” (2006) menegaskan bahwa di antara hilangnya integritas seorang pemimpin adalah di saat rakyat sudah tidak lagi mempercayai kualitas kepemimpinan mereka.
Ketidakpercayaan itu tentu saja berawal dari hasil kinerja pemerintah yang tidak dirasakan oleh rakyat sendiri. Oleh karenanya, seorang pemimpin tidak hanya cukup dengan hanya klaim atau sekadar menerima laporan dan laporan saja. Ia mesti terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui apa saja yang menjadi keluhan dan kebutuhan rakyat.
Mabuk kekuasaan
Ajaran kepemimpinan kedua dari Mandela yang kontektual dengan Indonesia saat ini adalah “quitting is leading too”. Petuah ini mengingatkan agar kita tidak kemaruk kekuasaan. Pemimpin selalu introspektif dan tahu kapan waktunya berhenti (Lihat Alfian: Demokrasi Pilihlah Aku, 2009).
Menjadi pemimpin, yang selalu identik dengan "dilayani", bukan "melayani" rakyatnya sebagaimana mestinya, membuat mereka mabuk kekuasaan. Syahwat ingin menempati kursi empuk jabatan akhirnya tak terbendung, sehingga selalu dicarikan cara agar tetap bisa memimpin. Misalnya dengan mewariskan jabatannya kelak, setelah dua periode - sebagaimana aturan Undang-Undang yang membatasi masa jabatan pemimpin (presiden, gubernur, bupati/wali kota) - kepada anak, istri, atau bahkan menantu. Hal ini terjadi, karena paradigma pemimpin sebagai “The problem solver” dan pemimpin itu adalah pengayom, "pelayan", dan "tempat curhat" bagi rakyat telah hilang dininabobokkan kekuasaan dan kenimatan semata.
* Penulis adalah pemerhati sosial politik dan sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Naturalisasi Penegak Hukum, Mungkinkah?
Oleh Moh. Ilyas*
Sejak Piala AFF akhir 2010 lalu, kata “naturalisasi” cukup akrab di telinga kita. Hal itu disebabkan pemain-pemain naturalisasi mampu mewarnai permainan Timnas kita secara luar biasa. Bahkan bisa dikatakan, pemain naturalisasi pulalah yang mengantarkan Indonesia ke Final Piala AFF.
Sejak saat itu tersebutlah nama-nama semisal Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim. Gonzales pemain naturalisasi dari Uruguay, sedangkan Irfan Bachdim pemain naturalisasi dari Belanda. Di lapangan hijau, keduanya tampil secara memukau, bahkan gol Gonzales dua kali berturut-turut menembus gawang Filipina hingga Indonesia dapat berlaga ke babak final.
Tak ayal, nama Gonzales pun melesat pesat menjadi semacam “artis baru” di tanah air. Begitu pula dengan Bachdim. Pemain bernomor punggung 17 ini langsung menyedot perhatian. Bahkan, karena ketampanannya pula, hampir semua perempuan di negeri ini terpikat padanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan panjang lebar membahas mengenai sepak bola. Saya hanya hendak mengingatkan bahwa alangkah bagusnya permainan Timnas kita berkat datangnya pemain naturalisasi. Seandainya dalam masalah lain, semisal penegakan hukum di negeri ini ada "penegak hukum naturalisasi", mungkin juga menjadi solusi bagi kebuntuan penegakan hukum di Indonesia.
Penegak hukum naturalisasi itu didatangkan secara sengaja dari negara-negara yang memiliki catatan baik dalam penegakan hukum, misalnya Cina dan Singapura. Di kedua negara ini, skandal korupsi nyaris tidak ada, keadilan ditegakkan secara merata. Begitupun dengan penghianatan terhadap hukum yang jarang sekali ditemukan.
Sementara di negeri ini, ada semacam frustasi dan ketidakpercayaan publik yang begitu parah terhadap hukum. Pasalnya penegak hukum dianggap menyimpan sejuta persoalan dan tak kunjung mampu menjawab masalah-masalah hukum yang mendera bangsa ini. Bahkan, penegak hukum terkesan lembek - untuk tidak mengatakan tak berdaya - memberantas kasus-kasus semisal korupsi dan mafia perpajakan.
Wajar jika lembaga-lembaga penegak hukum, semisal Kejaksaan Agung dan Polri sudah tak lagi dipercaya. Hal itu menyusul beberapa kasus yang justru melibatkan penyidik dari kepolisian, pengacara, hakim, hingga jaksa. Misalnya munculnya beberapa terdakwa, seperti AKP Sri Sumartini dan Kompol Arafat Enanie, yang merupakan penyidik perkara Gayus, Haposan Hutagalung, mantan Pengacara Gayus dan Muhtadi Asnun (Ketua Majelis Hakim yang ketika itu menyidangkan perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang).
Bahkan secara perlahan, penegakan hukum dalam menangani seorang Gayus saja semakin terlihat aneh dan penuh permainan. Betapa tidak, meski ia berada di balik jeruji besi di Rutan Mako Brimob Depok, ia bisa mendekam di penjara sejak April 2010 lalu, ia sudah keluar-masuk sel sebanyak 65 kali. Hal itu dilakukannya dengan menyuap penjaga rutan. Sungguh, penegak hukum kita begitu lemah dan takluk dengan “fulus” Si Gayus.
Lelucon, Tapi Mungkin
Sepintas, gagasan perlunya mendatangkan penegak hukum naturalisasi di Indonesia memang lelucon dan bahkan gila. Hanya jika ini dikaji lebih jauh bukan tidak mungkin dapat menjadi alternatif di tengah penegakan hukum yang begitu semrawut dan terkesan mengalami kebuntuan. Barangkali, “cara gila” ini ampuh diterapkan di “negeri gila” ini.
Gagasan ini juga lahir karena melihat lembaga-lembaga penegak hukum terkesan “tak punya ghirah” tinggi lagi untuk menegakkan hukum. Fenomena ini dapat diketahui dari lambannya penegakan hukum di Indonesia. Untuk sekadar menyebut contoh, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji akan mengusut tuntas masalah kaburnya Gayus Tambunan dari penjara dalam jangka waktu 10 hari. Namun, sudah hampir dua bulan, masalah tersebut tak kunjung usai diusut.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung dan KPK seperti kehilangan “daya gedornya” untuk memberantas skandal hukum. Dua lembaga ini seperti semakin kehilangan identitasnya sebagai penegak hukum. Bahkan, KPK yang selama ini dipandang tegas dalam memberantas korupsi sudah tidak lagi terlihat, terutama pasca-ditahannya mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Mungkin, pimpinan KPK – meminjam bahasa mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla – sedang shock setelah dikriminalisasi.
Bergantung Kemauan Presiden
Mengapa penegak hukum naturalisasi layak didatangkan dari Cina? Sebab Cina telah menampilkan sebuah sikap tegas terhadap para koruptor. Bahkan, Presiden China Hu Jintao bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut.
Dalam buku “The China Business Handbook” dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Tidak hanya itu, Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.
Oleh karenanya, ke depan pemberantasan korupsi sangat tergantung pada ketegasan dan kemauan Presiden SBY. Jika SBY mau, maka mendatangkan penegak hukum naturalisasi ini mungkin terjadi atau paling tidak, Indonesia dapat mengadopsi cara Cina dalam memberantas korupsi. Tapi sayang, hingga kini kemauan SBY dalam memberantas korupsi masih dipertanyakan. Bahkan terkesan SBY masih sebatas “bermimpi” untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Sejak Piala AFF akhir 2010 lalu, kata “naturalisasi” cukup akrab di telinga kita. Hal itu disebabkan pemain-pemain naturalisasi mampu mewarnai permainan Timnas kita secara luar biasa. Bahkan bisa dikatakan, pemain naturalisasi pulalah yang mengantarkan Indonesia ke Final Piala AFF.
Sejak saat itu tersebutlah nama-nama semisal Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim. Gonzales pemain naturalisasi dari Uruguay, sedangkan Irfan Bachdim pemain naturalisasi dari Belanda. Di lapangan hijau, keduanya tampil secara memukau, bahkan gol Gonzales dua kali berturut-turut menembus gawang Filipina hingga Indonesia dapat berlaga ke babak final.
Tak ayal, nama Gonzales pun melesat pesat menjadi semacam “artis baru” di tanah air. Begitu pula dengan Bachdim. Pemain bernomor punggung 17 ini langsung menyedot perhatian. Bahkan, karena ketampanannya pula, hampir semua perempuan di negeri ini terpikat padanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan panjang lebar membahas mengenai sepak bola. Saya hanya hendak mengingatkan bahwa alangkah bagusnya permainan Timnas kita berkat datangnya pemain naturalisasi. Seandainya dalam masalah lain, semisal penegakan hukum di negeri ini ada "penegak hukum naturalisasi", mungkin juga menjadi solusi bagi kebuntuan penegakan hukum di Indonesia.
Penegak hukum naturalisasi itu didatangkan secara sengaja dari negara-negara yang memiliki catatan baik dalam penegakan hukum, misalnya Cina dan Singapura. Di kedua negara ini, skandal korupsi nyaris tidak ada, keadilan ditegakkan secara merata. Begitupun dengan penghianatan terhadap hukum yang jarang sekali ditemukan.
Sementara di negeri ini, ada semacam frustasi dan ketidakpercayaan publik yang begitu parah terhadap hukum. Pasalnya penegak hukum dianggap menyimpan sejuta persoalan dan tak kunjung mampu menjawab masalah-masalah hukum yang mendera bangsa ini. Bahkan, penegak hukum terkesan lembek - untuk tidak mengatakan tak berdaya - memberantas kasus-kasus semisal korupsi dan mafia perpajakan.
Wajar jika lembaga-lembaga penegak hukum, semisal Kejaksaan Agung dan Polri sudah tak lagi dipercaya. Hal itu menyusul beberapa kasus yang justru melibatkan penyidik dari kepolisian, pengacara, hakim, hingga jaksa. Misalnya munculnya beberapa terdakwa, seperti AKP Sri Sumartini dan Kompol Arafat Enanie, yang merupakan penyidik perkara Gayus, Haposan Hutagalung, mantan Pengacara Gayus dan Muhtadi Asnun (Ketua Majelis Hakim yang ketika itu menyidangkan perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang).
Bahkan secara perlahan, penegakan hukum dalam menangani seorang Gayus saja semakin terlihat aneh dan penuh permainan. Betapa tidak, meski ia berada di balik jeruji besi di Rutan Mako Brimob Depok, ia bisa mendekam di penjara sejak April 2010 lalu, ia sudah keluar-masuk sel sebanyak 65 kali. Hal itu dilakukannya dengan menyuap penjaga rutan. Sungguh, penegak hukum kita begitu lemah dan takluk dengan “fulus” Si Gayus.
Lelucon, Tapi Mungkin
Sepintas, gagasan perlunya mendatangkan penegak hukum naturalisasi di Indonesia memang lelucon dan bahkan gila. Hanya jika ini dikaji lebih jauh bukan tidak mungkin dapat menjadi alternatif di tengah penegakan hukum yang begitu semrawut dan terkesan mengalami kebuntuan. Barangkali, “cara gila” ini ampuh diterapkan di “negeri gila” ini.
Gagasan ini juga lahir karena melihat lembaga-lembaga penegak hukum terkesan “tak punya ghirah” tinggi lagi untuk menegakkan hukum. Fenomena ini dapat diketahui dari lambannya penegakan hukum di Indonesia. Untuk sekadar menyebut contoh, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji akan mengusut tuntas masalah kaburnya Gayus Tambunan dari penjara dalam jangka waktu 10 hari. Namun, sudah hampir dua bulan, masalah tersebut tak kunjung usai diusut.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung dan KPK seperti kehilangan “daya gedornya” untuk memberantas skandal hukum. Dua lembaga ini seperti semakin kehilangan identitasnya sebagai penegak hukum. Bahkan, KPK yang selama ini dipandang tegas dalam memberantas korupsi sudah tidak lagi terlihat, terutama pasca-ditahannya mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Mungkin, pimpinan KPK – meminjam bahasa mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla – sedang shock setelah dikriminalisasi.
Bergantung Kemauan Presiden
Mengapa penegak hukum naturalisasi layak didatangkan dari Cina? Sebab Cina telah menampilkan sebuah sikap tegas terhadap para koruptor. Bahkan, Presiden China Hu Jintao bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut.
Dalam buku “The China Business Handbook” dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Tidak hanya itu, Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.
Oleh karenanya, ke depan pemberantasan korupsi sangat tergantung pada ketegasan dan kemauan Presiden SBY. Jika SBY mau, maka mendatangkan penegak hukum naturalisasi ini mungkin terjadi atau paling tidak, Indonesia dapat mengadopsi cara Cina dalam memberantas korupsi. Tapi sayang, hingga kini kemauan SBY dalam memberantas korupsi masih dipertanyakan. Bahkan terkesan SBY masih sebatas “bermimpi” untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Gayusisme dan Ayinisme
Oleh Moh. Ilyas*
Siapa yang tak kenal Gayus Halomoan Tambunan dan Ayin alias Artalyta Suryani? Nama mereka tak henti-hentinya mengisi pemberitaan media massa terkait kasus skandal hukum yang menjerat mereka. Energi masyarakat Indonesia seperti terkuras oleh dua fenomena Gayusisme dan Ayinisme ini.
Gayusisme merujuk pada fenomena Gayus dan kroni-kroninya yang beraksi mempermaikan penegakan hukum di Indonesia. Melalui kekuatan finansialnya, ia telah melunakkan aparat hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, hingga polisi. Sedangkan Ayinisme merujuk pada penyuap kelas kakap yang juga mempermainkan penegak hukum. Namun, permainan Ayin ini boleh dibilang lebih halus dibanding Gayus yang sarkastik.
Gayus ramai disebut-sebut karena 'kecerdikannya' menggadang-gadang masyarakat Indonesia dan penegak hukum kita mulai dari skandalnya menjadi mafia pajak hingga penyuapan terhadap aparat hukum. Ulah Gayus kian tercium setelah dalam tiga bulan terakhir ia diketahui menyuap penjaga Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan berhasil 'melenggang kangkung' mulai ke Bali hingga ke Makau dan Singapura.
Usut demi usut, ternyata ulah Gayus kian tercium lebih jauh. Rupanya Gayus tidak sendirian memainkan lakon ini. Dengan dibantu oknum petugas rutan sendiri dan beberapa petugas imigrasi, aksinya dalam membuat paspor asli tapi palsu, yaitu menggunakan paspor atas nama Sony Laksono berjalan mulus. Apalagi setelah ia menggelontorkan miliaran rupiah dalam proses pembuatan paspor tersebut.
Belum selesai fenomena Gayusisme, kini kita kembali dikaget dengan fenomena Ayinisme, yaitu sebuah peristiwa yang merujuk pada “kejanggalan” hukum terhadap seorang tahanan yang juga dapat menikmati “surga” tahanan. Jika Gayus bebas keluar-masuk penjara “semau gue”, Ayin bisa mendapatkan hak-hak keistimewaan, meski hal itu sebenarnya merupakan sebuah keganjilan.
Bila nama Gayus melambung sejak skandalnya menjadi mafia pajak terungkap 2010 lalu, nama Ayin melangit sejak penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan untuk menghentikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Nasional Indonesia milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Tapi ia mendapatkan keringanan ketika Mahkamah Agung mengurangi hukumannya menjadi empat setengah tahun. Sedangkan jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap sekitar Rp 6 miliar diganjar 20 tahun penjara.
Setelah sekitar satu tahun penahanan, nama Ayin kembali mencuat dan menghiasi pemberitaan di media karena ulahnya di dalam penjara. Ia mendapatkan tempat istimewa saat “nyantri” di LP Pondok Bambu Jakarta Timur yang tidak didapatkan penghuni LP lainnya. Bahkan, penjara tak ubahnya seperti istana bagi Ayin karena dilengkapi aneka macam fasilitas, seperti AC, lemari es, televisi, dan sebagainya.
Setelah itu, namanya sempat menghilang sejak satu tahun terakhir, terutama setelah tempat tinggalnya dipindah ke LP Perempuan Tangerang Januari 2010 lalu. Namun, lagi-lagi muncul kejanggalan. Kini, pengusaha yang disebut George Adi Condro dalam “Gurita Cikeas”-nya, dekat dengan Ani Yudhoyono itu kembali menghebohkan publik. Betapa tidak, di LP Perempuan Tangerang, dalam setahun ia mendapat dua kali remisi, sehingga hukumannya berkurang tiga bulan 20 hari.
Bahkan akhir Januari ini, ia dikabarkan dapat menghirup udara bebas bersyarat karena sudah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa terpidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM berat, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu jika yang bersangkutan berkelakuan baik selama ditahan dan mendapat pertimbangan dari Ditjen Pemasyarakatan.
Anehnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kelakuan Ayin di dalam penjara justru telah mencoreng hukum. Dengan kecerdikannya – tentu juga dengan fulusnya – ia mendapatkan fasilitas mewah saat di LP Pondok Bambu. Apakah ini dianggap berkelakuan baik? Inilah “negeri para bedebah”, meminjam bahasa puisinya Adi Masardi. Hukum kita menjadi hukum “pesanan”, “jualan”, dan “kongkalikong”.
Lukai Rasa Keadilan
Andai saja kasus “surga” Ayin saat di LP Pondok Bambu diusut tuntas dan disidangkan, bisa saja hukumannya ditambah, bukannya mendapatkan remisi seperti yang telah terjadi. Mengapa semua ini terjadi? Inilah kejanggalan dari kasus Ayin. Tiba-tiba, ia telah “didaulat” menjadi pemuka pendidikan umum di LP Tangerang. Apakah ini skenario untuk mempercepat kebebasannya? Atau apakah dua remisi itu juga skenario?
Terlepas dari apakah ini skenario atau bukan, namun yang jelas perlakuan terhadap Gayus Tambunan dan Artalyta Suryani itu telah menciderai hukum kita dan telah melukai rasa keadilan publik. Publik sudah barang tentu sakit hati dengan kondisi ini. Mereka akan berpikir bahwa keadilan dan hukum tak lebih dari “barang-barang dagangan” yang bisa diperjual-belikan sesuai harga tawaran. Tawaran yang lebih tinggi akan menjadi prioritas.
Tak ayal, kepercayaan publik pun menjadi taruhannya. Saat ini, publik sudah tidak lagi percaya terhadap hukum di negeri ini, sebab hukum sudah kalah pada uang. Bahkan lebih jauh, hukum seolah hanya pajangan dan retorika pasal-pasal saja yang berada di bawah cengkeraman kekuasaan dan uang. Sehingga, negara ini mestinya sudah tidak layak disebut Negara Hukum, tetapi “Negara Uang”. Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka.
Ketidakadilan yang terjadi karena ulah uang ini sudah merusak segala tatanan sosial, hukum, politik, dan budaya. Padahal, meminjam ungkapan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “Ketidak-adilan itu di manapun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana.” Sampai kapan ketidakadilan yang dapat ditukar dengan uang di negeri ini bisa berakhir? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
Siapa yang tak kenal Gayus Halomoan Tambunan dan Ayin alias Artalyta Suryani? Nama mereka tak henti-hentinya mengisi pemberitaan media massa terkait kasus skandal hukum yang menjerat mereka. Energi masyarakat Indonesia seperti terkuras oleh dua fenomena Gayusisme dan Ayinisme ini.
Gayusisme merujuk pada fenomena Gayus dan kroni-kroninya yang beraksi mempermaikan penegakan hukum di Indonesia. Melalui kekuatan finansialnya, ia telah melunakkan aparat hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, hingga polisi. Sedangkan Ayinisme merujuk pada penyuap kelas kakap yang juga mempermainkan penegak hukum. Namun, permainan Ayin ini boleh dibilang lebih halus dibanding Gayus yang sarkastik.
Gayus ramai disebut-sebut karena 'kecerdikannya' menggadang-gadang masyarakat Indonesia dan penegak hukum kita mulai dari skandalnya menjadi mafia pajak hingga penyuapan terhadap aparat hukum. Ulah Gayus kian tercium setelah dalam tiga bulan terakhir ia diketahui menyuap penjaga Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan berhasil 'melenggang kangkung' mulai ke Bali hingga ke Makau dan Singapura.
Usut demi usut, ternyata ulah Gayus kian tercium lebih jauh. Rupanya Gayus tidak sendirian memainkan lakon ini. Dengan dibantu oknum petugas rutan sendiri dan beberapa petugas imigrasi, aksinya dalam membuat paspor asli tapi palsu, yaitu menggunakan paspor atas nama Sony Laksono berjalan mulus. Apalagi setelah ia menggelontorkan miliaran rupiah dalam proses pembuatan paspor tersebut.
Belum selesai fenomena Gayusisme, kini kita kembali dikaget dengan fenomena Ayinisme, yaitu sebuah peristiwa yang merujuk pada “kejanggalan” hukum terhadap seorang tahanan yang juga dapat menikmati “surga” tahanan. Jika Gayus bebas keluar-masuk penjara “semau gue”, Ayin bisa mendapatkan hak-hak keistimewaan, meski hal itu sebenarnya merupakan sebuah keganjilan.
Bila nama Gayus melambung sejak skandalnya menjadi mafia pajak terungkap 2010 lalu, nama Ayin melangit sejak penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan untuk menghentikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Nasional Indonesia milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Tapi ia mendapatkan keringanan ketika Mahkamah Agung mengurangi hukumannya menjadi empat setengah tahun. Sedangkan jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap sekitar Rp 6 miliar diganjar 20 tahun penjara.
Setelah sekitar satu tahun penahanan, nama Ayin kembali mencuat dan menghiasi pemberitaan di media karena ulahnya di dalam penjara. Ia mendapatkan tempat istimewa saat “nyantri” di LP Pondok Bambu Jakarta Timur yang tidak didapatkan penghuni LP lainnya. Bahkan, penjara tak ubahnya seperti istana bagi Ayin karena dilengkapi aneka macam fasilitas, seperti AC, lemari es, televisi, dan sebagainya.
Setelah itu, namanya sempat menghilang sejak satu tahun terakhir, terutama setelah tempat tinggalnya dipindah ke LP Perempuan Tangerang Januari 2010 lalu. Namun, lagi-lagi muncul kejanggalan. Kini, pengusaha yang disebut George Adi Condro dalam “Gurita Cikeas”-nya, dekat dengan Ani Yudhoyono itu kembali menghebohkan publik. Betapa tidak, di LP Perempuan Tangerang, dalam setahun ia mendapat dua kali remisi, sehingga hukumannya berkurang tiga bulan 20 hari.
Bahkan akhir Januari ini, ia dikabarkan dapat menghirup udara bebas bersyarat karena sudah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa terpidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM berat, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu jika yang bersangkutan berkelakuan baik selama ditahan dan mendapat pertimbangan dari Ditjen Pemasyarakatan.
Anehnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kelakuan Ayin di dalam penjara justru telah mencoreng hukum. Dengan kecerdikannya – tentu juga dengan fulusnya – ia mendapatkan fasilitas mewah saat di LP Pondok Bambu. Apakah ini dianggap berkelakuan baik? Inilah “negeri para bedebah”, meminjam bahasa puisinya Adi Masardi. Hukum kita menjadi hukum “pesanan”, “jualan”, dan “kongkalikong”.
Lukai Rasa Keadilan
Andai saja kasus “surga” Ayin saat di LP Pondok Bambu diusut tuntas dan disidangkan, bisa saja hukumannya ditambah, bukannya mendapatkan remisi seperti yang telah terjadi. Mengapa semua ini terjadi? Inilah kejanggalan dari kasus Ayin. Tiba-tiba, ia telah “didaulat” menjadi pemuka pendidikan umum di LP Tangerang. Apakah ini skenario untuk mempercepat kebebasannya? Atau apakah dua remisi itu juga skenario?
Terlepas dari apakah ini skenario atau bukan, namun yang jelas perlakuan terhadap Gayus Tambunan dan Artalyta Suryani itu telah menciderai hukum kita dan telah melukai rasa keadilan publik. Publik sudah barang tentu sakit hati dengan kondisi ini. Mereka akan berpikir bahwa keadilan dan hukum tak lebih dari “barang-barang dagangan” yang bisa diperjual-belikan sesuai harga tawaran. Tawaran yang lebih tinggi akan menjadi prioritas.
Tak ayal, kepercayaan publik pun menjadi taruhannya. Saat ini, publik sudah tidak lagi percaya terhadap hukum di negeri ini, sebab hukum sudah kalah pada uang. Bahkan lebih jauh, hukum seolah hanya pajangan dan retorika pasal-pasal saja yang berada di bawah cengkeraman kekuasaan dan uang. Sehingga, negara ini mestinya sudah tidak layak disebut Negara Hukum, tetapi “Negara Uang”. Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka.
Ketidakadilan yang terjadi karena ulah uang ini sudah merusak segala tatanan sosial, hukum, politik, dan budaya. Padahal, meminjam ungkapan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “Ketidak-adilan itu di manapun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana.” Sampai kapan ketidakadilan yang dapat ditukar dengan uang di negeri ini bisa berakhir? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
Republik Dinasti
Oleh Moh. Ilyas*
Dalam sebuah diskusi bersama Lingkar Meridian di bilangan Bendungan Hilir Jakarta Pusat beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa Indonesia masih merupakan Republik Dinasti. Indonesia seperti dikemukakan Nuril M Nasir, salah satu pembicara perwakilan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), memiliki banyak elemen yang masih mempertahankan identitas Republik Dinasti ini. Misalnya partai politik dan pejabat tinggi mulai dari bupati, wali kota, hingga presiden.
Beberapa partai politik, kata dia, menyimpan tradisi ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang "Harus keturunan Soekarno" dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang "harus keturunan Abdurrahman Wahid", seperti Muktamar PKB di Surabaya beberapa waktu lalu yang memilih Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenni Wahid sebagai Ketua Umum PKB.
Partai-partai lain pun tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal serupa. Demokrat misalnya, yang menggembor-gemborkan restu Susilo Bambang Yudhoyono selaku pendirinya, meskipun terpilihnya Anas Urbaningrum pada Kongres di Bandung tahun lalu mematahkan wacana ini. Begitu juga dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang "mesti atas restu Amien Rais".
Sedangkan di level kekuasaan, mendapatkan model dinasti ini tidaklah sulit. Di tingkat kabupaten/kota misalnya tampilnya para istri menggantikan suami, seperti Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro sebagai Bupati Kendal; Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); Titik menjadi Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah menggantikan suaminya Bambang Riyanto; dan Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.
Tidak hanya istri menggantikan suami. Fenomena anak menggantikan ayahnya juga terjadi di negeri ini, seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat. Bahkan, ada juga menantu yang menggantikan mertuanya, yakni Dadang M Naser menggantikan Obar Sobarna sebagai Bupati Bandung.
Dalam pemerintahan tingkat provinsi pun banyak gubernur yang juga membangun politik dinasti. Misalnya Gubernur Atut Chosiyah di Banten, Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dan Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan.
Bahkan, wacana teranyar yang mengemuka bahwa nama Kristiani Herawati (Ani Yudhoyono) mulai disebut-sebut sebagai calon Presiden RI ke-7 menggantikan SBY yang tak lain adalah suaminya, pada Pemilu 2014 mendatang.
Alternatif mewariskan kekuasaan pada keluarga ini, karena adanya aturan yang membatasi kepemimpinan di negeri ini, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain, aturan ini dicarikan celah dengan mencari pengganti dari kalangan keluarganya. Namun setidaknya hal ini membuat jalan demokrasi di semakin mulus.
Memang, keinginan-keinginan mempertahankan kekuasaan melalui pintu keluarga ini sepintas seperti tidak ada masalah. Tetapi jika dikaji lebih dalam, justru keinginan-keinginan itu dapat menghambat laju demokrasi di Indonesia. Dengan begitu, mestinya praktik semacam ini tidak perlu terjadi di negeri yang belum satu dekade menjalankan demokrasi secara langsung ini.
Menurut penulis, ada banyak alasan mengapa fenomena ini terjadi. Di samping karena memang nikmatnya kekuasaan, bisa saja juga ada faktor lain. Misalnya agar kekuasaan tidak berpindah ke luar dari keluarga. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan untuk menyelamatkan “skandal-skandal hukum” yang diperbuat penguasa sebelumnya. Sebab, dengan membangun politik dinasti inilah persoalan-persoalan hukum mudah “diamankan”.
Lebih parah lagi, kekuasaan ini bisa dibuat sebagai alat pemelihara korupsi. Dengan kekuasaan, di samping praktik korupsi yang dilakukan keluarganya tidak diungkap bisa pula justru mudah berkembang ke praktik korupsi yang lainnya. Bukankah sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut melahirkan korupsi secara absolut pula) telah terlihat jelas di negeri ini?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah. Artinya, semuanya berasal dari satu keluarga. Dengan kata lain, pemerintahan yang dilandaskan pada kekuasaan dinasti juga dapat disebut sebagai “Republik Keluarga”.
Model politik dinasti ini merupakan sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang. Maka, di dalam dinasti sejatinya tidak ada politik, karena peran publik (polis) sama sekali tidak dipertimbangkan. Sehingga secara substantif, dinasti adalah musuh demokrasi.
Fenomena politik dinasti ini memang masih banyak mewarnai demokrasi modern. Padahal, mestinya perkaderan dalam perpolitikan ini dilakukan dengan cara mempersiapkan melalui sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang wajar, sehingga arus perpolitikan bisa berjalan lebih wajar dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis, misalnya Amerika Serikat dan India.
Di era demokrasi modern ini, kita tidak ingin Indonesia disuguhkan dengan model-model kekuasaan dinasti seperti yang pernah terjadi di Cina sejak zaman kuno, misalnya kerajaan yang terus turun temurun mulai dari Dinasti Xia (2100 SM-1600 SM), Dinasti Shang (1600 SM-1046 SM), dan Dinasti Zhou (1046 SM–256 SM). Hal itu berlanjut hingga zaman kekaisaran mulai dari Dinasti Qin (221 SM–206 SM), Dinasti Han (206 SM–220), hingga Dinasti Ming (1368–1644) dan Dinasti Qing (1644–1911).
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta
Dalam sebuah diskusi bersama Lingkar Meridian di bilangan Bendungan Hilir Jakarta Pusat beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa Indonesia masih merupakan Republik Dinasti. Indonesia seperti dikemukakan Nuril M Nasir, salah satu pembicara perwakilan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), memiliki banyak elemen yang masih mempertahankan identitas Republik Dinasti ini. Misalnya partai politik dan pejabat tinggi mulai dari bupati, wali kota, hingga presiden.
Beberapa partai politik, kata dia, menyimpan tradisi ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang "Harus keturunan Soekarno" dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang "harus keturunan Abdurrahman Wahid", seperti Muktamar PKB di Surabaya beberapa waktu lalu yang memilih Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenni Wahid sebagai Ketua Umum PKB.
Partai-partai lain pun tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal serupa. Demokrat misalnya, yang menggembor-gemborkan restu Susilo Bambang Yudhoyono selaku pendirinya, meskipun terpilihnya Anas Urbaningrum pada Kongres di Bandung tahun lalu mematahkan wacana ini. Begitu juga dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang "mesti atas restu Amien Rais".
Sedangkan di level kekuasaan, mendapatkan model dinasti ini tidaklah sulit. Di tingkat kabupaten/kota misalnya tampilnya para istri menggantikan suami, seperti Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro sebagai Bupati Kendal; Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); Titik menjadi Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah menggantikan suaminya Bambang Riyanto; dan Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.
Tidak hanya istri menggantikan suami. Fenomena anak menggantikan ayahnya juga terjadi di negeri ini, seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat. Bahkan, ada juga menantu yang menggantikan mertuanya, yakni Dadang M Naser menggantikan Obar Sobarna sebagai Bupati Bandung.
Dalam pemerintahan tingkat provinsi pun banyak gubernur yang juga membangun politik dinasti. Misalnya Gubernur Atut Chosiyah di Banten, Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dan Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan.
Bahkan, wacana teranyar yang mengemuka bahwa nama Kristiani Herawati (Ani Yudhoyono) mulai disebut-sebut sebagai calon Presiden RI ke-7 menggantikan SBY yang tak lain adalah suaminya, pada Pemilu 2014 mendatang.
Alternatif mewariskan kekuasaan pada keluarga ini, karena adanya aturan yang membatasi kepemimpinan di negeri ini, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain, aturan ini dicarikan celah dengan mencari pengganti dari kalangan keluarganya. Namun setidaknya hal ini membuat jalan demokrasi di semakin mulus.
Memang, keinginan-keinginan mempertahankan kekuasaan melalui pintu keluarga ini sepintas seperti tidak ada masalah. Tetapi jika dikaji lebih dalam, justru keinginan-keinginan itu dapat menghambat laju demokrasi di Indonesia. Dengan begitu, mestinya praktik semacam ini tidak perlu terjadi di negeri yang belum satu dekade menjalankan demokrasi secara langsung ini.
Menurut penulis, ada banyak alasan mengapa fenomena ini terjadi. Di samping karena memang nikmatnya kekuasaan, bisa saja juga ada faktor lain. Misalnya agar kekuasaan tidak berpindah ke luar dari keluarga. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan untuk menyelamatkan “skandal-skandal hukum” yang diperbuat penguasa sebelumnya. Sebab, dengan membangun politik dinasti inilah persoalan-persoalan hukum mudah “diamankan”.
Lebih parah lagi, kekuasaan ini bisa dibuat sebagai alat pemelihara korupsi. Dengan kekuasaan, di samping praktik korupsi yang dilakukan keluarganya tidak diungkap bisa pula justru mudah berkembang ke praktik korupsi yang lainnya. Bukankah sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut melahirkan korupsi secara absolut pula) telah terlihat jelas di negeri ini?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah. Artinya, semuanya berasal dari satu keluarga. Dengan kata lain, pemerintahan yang dilandaskan pada kekuasaan dinasti juga dapat disebut sebagai “Republik Keluarga”.
Model politik dinasti ini merupakan sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang. Maka, di dalam dinasti sejatinya tidak ada politik, karena peran publik (polis) sama sekali tidak dipertimbangkan. Sehingga secara substantif, dinasti adalah musuh demokrasi.
Fenomena politik dinasti ini memang masih banyak mewarnai demokrasi modern. Padahal, mestinya perkaderan dalam perpolitikan ini dilakukan dengan cara mempersiapkan melalui sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang wajar, sehingga arus perpolitikan bisa berjalan lebih wajar dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis, misalnya Amerika Serikat dan India.
Di era demokrasi modern ini, kita tidak ingin Indonesia disuguhkan dengan model-model kekuasaan dinasti seperti yang pernah terjadi di Cina sejak zaman kuno, misalnya kerajaan yang terus turun temurun mulai dari Dinasti Xia (2100 SM-1600 SM), Dinasti Shang (1600 SM-1046 SM), dan Dinasti Zhou (1046 SM–256 SM). Hal itu berlanjut hingga zaman kekaisaran mulai dari Dinasti Qin (221 SM–206 SM), Dinasti Han (206 SM–220), hingga Dinasti Ming (1368–1644) dan Dinasti Qing (1644–1911).
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta
Noda-Noda Demokrasi
Oleh: Moh. Ilyas*
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terhenyak. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap mengikuti tata cara demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun 2010 saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan noda dalam praktik demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Akibatnya pemilukada yang diorientasikan agar dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses pelaksanaannya. Sehingga, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Banyaknya pelanggaran Pemilukada ini kian mengukuhkan identitas demokrasi kita yang masih labil dan sekadar formalitas dalam peralihan kepemimpinan. Ia tak ubahnya sebagai ajang kompetisi kekuatan mengatur strategi dalam berpolitik dan memanfaatkan kekuatan finansial sebagai modalnya. Dengan kata lain, jika punya strategi – tak peduli dilarang ataupun tidak, ia dapat memenangkan kompetisi itu. Wal-hasil Pemilukada semacam itupun menjadi tak berkualitas dan tak menghasilkan pemimpin yang betul-betul mengerti tentang permasalahan rakyatnya.
Coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemimpin hasil pemilihan secara langsung namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi kita hingga saat ini.
Padahal, kalau kita kembali menengok jendela demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi. Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi kita. Justru, semakin berkembang teori-teori itu, semakin meningkat pelanggaran dan penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Dari sini jelas bahwa Pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, ‘War of Position’ disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, Kota Manado, Kota Waringin Barat, dan Kabupaten Lamongan.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
* Penulis adalah Sekjen Bakornas LAPMI dan Direktur Qolam Institute Jakarta
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terhenyak. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap mengikuti tata cara demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun 2010 saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan noda dalam praktik demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Akibatnya pemilukada yang diorientasikan agar dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses pelaksanaannya. Sehingga, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Banyaknya pelanggaran Pemilukada ini kian mengukuhkan identitas demokrasi kita yang masih labil dan sekadar formalitas dalam peralihan kepemimpinan. Ia tak ubahnya sebagai ajang kompetisi kekuatan mengatur strategi dalam berpolitik dan memanfaatkan kekuatan finansial sebagai modalnya. Dengan kata lain, jika punya strategi – tak peduli dilarang ataupun tidak, ia dapat memenangkan kompetisi itu. Wal-hasil Pemilukada semacam itupun menjadi tak berkualitas dan tak menghasilkan pemimpin yang betul-betul mengerti tentang permasalahan rakyatnya.
Coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemimpin hasil pemilihan secara langsung namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi kita hingga saat ini.
Padahal, kalau kita kembali menengok jendela demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi. Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi kita. Justru, semakin berkembang teori-teori itu, semakin meningkat pelanggaran dan penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Dari sini jelas bahwa Pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, ‘War of Position’ disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, Kota Manado, Kota Waringin Barat, dan Kabupaten Lamongan.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
* Penulis adalah Sekjen Bakornas LAPMI dan Direktur Qolam Institute Jakarta
Lucunya Negeri Ini
Oleh Moh. Ilyas*
Film spektakuler, 'Alangkah Lucunya Negeri Ini' seperti terus relevan dan menemukan titik-titik kebenarannya jika disesuaikan dengan fenomena akhir-akhir ini. Dalam film besutan Dedy Miswar ini, ditayangkan fenomena sekitar 20 bocah yang menjadi pencopet. Mereka merupakan anak telantar dan hidup di lingkungan kumuh dengan komando seorang pemimpin copet.
Keadaan ini terus terjadi, hingga akhirnya muncullah Muluk (Reza Rahardian), 'Sang Penyelamat' yang berusaha mengubah "tradisi hitam" menjadi "tradisi putih" dalam bentuk pemberdayaan terhadap anak-anak yang berprofesi sebagai pencopet itu. Dengan berbagai bimbingan, termasuk bimbingan sholat, agama dan jiwa patriotisme, watak anak-anak itu berubah. Bahkan, sudah ada yang berhasil diubah dari seorang pencopet menjadi pedagang asongan.
Namun, namanya saja 'negeri lucu', anak-anak yang menjadi pengasong itu harus dikejar-kejar Satpol PP karena aktivitas mereka dianggap mengganggu lalu lintas. Akhirnya, gara-gara ingin melanggengkan pekerjaan halal ini, Sang Penyelamat tadi terpaksa menyerahkan dirinya ke petugas Satpol PP, agar mereka tidak menangkap anak-anak tersebut. Dia seperti berpikir, begitu susahnya mendapatkan pekerjaan, bahkan yang halal pun terpaksa berurusan dengan negara.
Fenomena negeri yang lucu, sebagaimana digambarkan dalam film ini hanyalah 'secuil' dari seabrek masalah yang terjadi di Indonesia. Bahkan, ia telah mewujud menjadi fenomena gunung es yang menunjukkan betapa lucunya negeri ini. Tengok saja, bagaimana pemberantasan masalah skandal hukum yang tak pernah usai dan fenomena skandal mafia yang terus mengebiri.
Indonesia, sebenarnya bukanlah negeri yang lucu. Hanya karena banyaknya persoalan yang dianggap 'nyeleneh' di negeri ini dan tidak kunjung diselesaikan secara tuntas, maka sebutan itupun seperti layak disandangkan bagi negeri ini.
Di antara beberapa kisah lucu yang menggoyang negeri ini, misalnya soal kaburnya Gayus Halomoan Tambunan dari Rutan Mako Brimob Depok. Bahkan, hasil temuan menyatakan bahwa Gayus sudah 'kabur' dengan jalan kongkalikong dari penjara tidak kurang dari 68 kali. Ini menunjukkan betapa hukum di negeri ini begitu mudahnya dipermainkan dan diobok-obok oleh Sang Mafia Pajak itu.
Baru-baru ini, setelah berulah dan tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis di Bali, permainannya pun semakin terungkap. Hal itu setelah ada salah seorang pelapor yang pernah melihat orang yang mirip Gayus pergi ke Makau dan Kuala Lumpur. Strategi Gayus ke luar negeri ini memang tidak menggunakan nama Gayus, tetapi sesuai identitas paspornya menggunakan nama Sony Laksono. Padahal, semua sudah tahu bahwa Gayus sedang bertapa di balik jeruji besi.
Kendati kasus ini menggegerkan publik dan penegakan hukum serta membuat Presiden SBY gerah dan meminta agar kepolisian mengusut secara tuntas, namun hingga kini pihak kepolisian belum mengungkapnya secara tuntas. Padahal saat itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, sebagaimana diakui Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto sudah berjanji untuk mengusutnya dalam waktu 10 hari. Namun, hingga kini janji itu tak kunjung ditepati.
Keanehan lainnya yang semakin menguatkan julukan Indonesia sebagai negeri yang lucu adalah masih terus berlanjutnya upaya "pembungkaman" terhadap orang-orang yang kritis dalam menegakkan hukum. Untuk sekadar menyebut contoh misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga penegak hukum yang concern memberantas kasus korupsi ini ternyata mulai melemah, terutama setelah kasus kriminalisasi dua pimpinannya, Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah. Padahal, seperti disinyalir banyak kalangan bahwa kriminalisasi ini bertujuan menghentikan daya kritis dan ketegasan KPK dalam memberantas korupsi di tanah air.
Syahdan, ditangkapnya Antasari Azhar pun, yang saat itu sedang memimpin KPK dengan tuduhan pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnaen juga merupakan 'konspirasi' upaya melemahkan sepak terjang KPK. Maklum, di bawah kendali Antasari, KPK banyak menyebloskan pejabat tinggi negara ke penjara.
Yang terbaru adalah gemparnya isu penyuapan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam isu yang hingga kini masih dalam penyelidikan tersebut, disebutkan adanya salah satu hakim konstitusi yang menerima suap dari salah seorang calon Bupati yang bersengketa soal Pemilukada di MK. Menanggapi hal ini, sebagian publik mensinyalir adanya upaya pelemahan terhadap MK, mengingat lembaga ini, terutama di bawah pimpinan Mahfud MD sangat kritis dan berwibawa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Jika dugaan-dugaan adanya upaya pelemahan itu benar, sungguh tak bisa dipercaya bahwa negeri ini masih dalam kendali orang-orang yang punya kepentingan pribadi. Penegakan hukum secara benar dan tegas pun dicarikan cara agar bisa lemah. Hal-hal yang ‘lurus’ dipolitisir dan dibuatkan permainan agar terkesan ‘bengkok’. Benang kusut inilah yang kian mempertegas bahwa negeri ini memang lucu.
Anehnya, beberapa kasus yang mendera di atas selalu berujung pada seputar uang. Seolah-olah ujung tombak penegakan masalah di negeri ini bukanlah hukum, tetapi uang. Tiga peristiwa di atas mempertontonkan kepada kita bahwa uang telah bisa membeli segalanya. Aparat kepolisian seakan takluk kepada kekuatan uang. Dengan begitu, uang juga telah menyulap negeri ini menjadi negeri yang lucu dan menampilkan lelucon dan jenaka yang menurunkan marwah bangsa ini.
Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka. Karenanya, tidak heran jika banyak bermunculan singkatan-singkatan plesetan tentang nama aparat negara di masyarakat. Misalnya, “polisi” (perkara orang lain itu sumber income), “hakim” (hubungi aku kalau ingin menang), “jaksa” (jajaki aku kalau sesuai anggaran), dan masih banyak yang lainnya.
Maka pertanyaannya kemudian, apalah arti status negara kita sebagai “Negara Hukum” jika dalam praktiknya, hukum hanya menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan? Hendak dikemanakan masa depan negeri ini jikalau setiap masalah hanya bisa dijawab dan dipecahkan dengan uang? Tentu sebagai warga yang merindukan negeri ini berkeadilan dengan keberadaan rakyatnya yang makmur sentosa menggapai kesejahteraan, kita tidak ingin negeri ini menjadi negeri yang (selalu) lucu yang, di antaranya, ditandai dengan fenomena suara uang yang terus mendera.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
Film spektakuler, 'Alangkah Lucunya Negeri Ini' seperti terus relevan dan menemukan titik-titik kebenarannya jika disesuaikan dengan fenomena akhir-akhir ini. Dalam film besutan Dedy Miswar ini, ditayangkan fenomena sekitar 20 bocah yang menjadi pencopet. Mereka merupakan anak telantar dan hidup di lingkungan kumuh dengan komando seorang pemimpin copet.
Keadaan ini terus terjadi, hingga akhirnya muncullah Muluk (Reza Rahardian), 'Sang Penyelamat' yang berusaha mengubah "tradisi hitam" menjadi "tradisi putih" dalam bentuk pemberdayaan terhadap anak-anak yang berprofesi sebagai pencopet itu. Dengan berbagai bimbingan, termasuk bimbingan sholat, agama dan jiwa patriotisme, watak anak-anak itu berubah. Bahkan, sudah ada yang berhasil diubah dari seorang pencopet menjadi pedagang asongan.
Namun, namanya saja 'negeri lucu', anak-anak yang menjadi pengasong itu harus dikejar-kejar Satpol PP karena aktivitas mereka dianggap mengganggu lalu lintas. Akhirnya, gara-gara ingin melanggengkan pekerjaan halal ini, Sang Penyelamat tadi terpaksa menyerahkan dirinya ke petugas Satpol PP, agar mereka tidak menangkap anak-anak tersebut. Dia seperti berpikir, begitu susahnya mendapatkan pekerjaan, bahkan yang halal pun terpaksa berurusan dengan negara.
Fenomena negeri yang lucu, sebagaimana digambarkan dalam film ini hanyalah 'secuil' dari seabrek masalah yang terjadi di Indonesia. Bahkan, ia telah mewujud menjadi fenomena gunung es yang menunjukkan betapa lucunya negeri ini. Tengok saja, bagaimana pemberantasan masalah skandal hukum yang tak pernah usai dan fenomena skandal mafia yang terus mengebiri.
Indonesia, sebenarnya bukanlah negeri yang lucu. Hanya karena banyaknya persoalan yang dianggap 'nyeleneh' di negeri ini dan tidak kunjung diselesaikan secara tuntas, maka sebutan itupun seperti layak disandangkan bagi negeri ini.
Di antara beberapa kisah lucu yang menggoyang negeri ini, misalnya soal kaburnya Gayus Halomoan Tambunan dari Rutan Mako Brimob Depok. Bahkan, hasil temuan menyatakan bahwa Gayus sudah 'kabur' dengan jalan kongkalikong dari penjara tidak kurang dari 68 kali. Ini menunjukkan betapa hukum di negeri ini begitu mudahnya dipermainkan dan diobok-obok oleh Sang Mafia Pajak itu.
Baru-baru ini, setelah berulah dan tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis di Bali, permainannya pun semakin terungkap. Hal itu setelah ada salah seorang pelapor yang pernah melihat orang yang mirip Gayus pergi ke Makau dan Kuala Lumpur. Strategi Gayus ke luar negeri ini memang tidak menggunakan nama Gayus, tetapi sesuai identitas paspornya menggunakan nama Sony Laksono. Padahal, semua sudah tahu bahwa Gayus sedang bertapa di balik jeruji besi.
Kendati kasus ini menggegerkan publik dan penegakan hukum serta membuat Presiden SBY gerah dan meminta agar kepolisian mengusut secara tuntas, namun hingga kini pihak kepolisian belum mengungkapnya secara tuntas. Padahal saat itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, sebagaimana diakui Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto sudah berjanji untuk mengusutnya dalam waktu 10 hari. Namun, hingga kini janji itu tak kunjung ditepati.
Keanehan lainnya yang semakin menguatkan julukan Indonesia sebagai negeri yang lucu adalah masih terus berlanjutnya upaya "pembungkaman" terhadap orang-orang yang kritis dalam menegakkan hukum. Untuk sekadar menyebut contoh misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga penegak hukum yang concern memberantas kasus korupsi ini ternyata mulai melemah, terutama setelah kasus kriminalisasi dua pimpinannya, Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah. Padahal, seperti disinyalir banyak kalangan bahwa kriminalisasi ini bertujuan menghentikan daya kritis dan ketegasan KPK dalam memberantas korupsi di tanah air.
Syahdan, ditangkapnya Antasari Azhar pun, yang saat itu sedang memimpin KPK dengan tuduhan pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnaen juga merupakan 'konspirasi' upaya melemahkan sepak terjang KPK. Maklum, di bawah kendali Antasari, KPK banyak menyebloskan pejabat tinggi negara ke penjara.
Yang terbaru adalah gemparnya isu penyuapan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam isu yang hingga kini masih dalam penyelidikan tersebut, disebutkan adanya salah satu hakim konstitusi yang menerima suap dari salah seorang calon Bupati yang bersengketa soal Pemilukada di MK. Menanggapi hal ini, sebagian publik mensinyalir adanya upaya pelemahan terhadap MK, mengingat lembaga ini, terutama di bawah pimpinan Mahfud MD sangat kritis dan berwibawa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Jika dugaan-dugaan adanya upaya pelemahan itu benar, sungguh tak bisa dipercaya bahwa negeri ini masih dalam kendali orang-orang yang punya kepentingan pribadi. Penegakan hukum secara benar dan tegas pun dicarikan cara agar bisa lemah. Hal-hal yang ‘lurus’ dipolitisir dan dibuatkan permainan agar terkesan ‘bengkok’. Benang kusut inilah yang kian mempertegas bahwa negeri ini memang lucu.
Anehnya, beberapa kasus yang mendera di atas selalu berujung pada seputar uang. Seolah-olah ujung tombak penegakan masalah di negeri ini bukanlah hukum, tetapi uang. Tiga peristiwa di atas mempertontonkan kepada kita bahwa uang telah bisa membeli segalanya. Aparat kepolisian seakan takluk kepada kekuatan uang. Dengan begitu, uang juga telah menyulap negeri ini menjadi negeri yang lucu dan menampilkan lelucon dan jenaka yang menurunkan marwah bangsa ini.
Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka. Karenanya, tidak heran jika banyak bermunculan singkatan-singkatan plesetan tentang nama aparat negara di masyarakat. Misalnya, “polisi” (perkara orang lain itu sumber income), “hakim” (hubungi aku kalau ingin menang), “jaksa” (jajaki aku kalau sesuai anggaran), dan masih banyak yang lainnya.
Maka pertanyaannya kemudian, apalah arti status negara kita sebagai “Negara Hukum” jika dalam praktiknya, hukum hanya menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan? Hendak dikemanakan masa depan negeri ini jikalau setiap masalah hanya bisa dijawab dan dipecahkan dengan uang? Tentu sebagai warga yang merindukan negeri ini berkeadilan dengan keberadaan rakyatnya yang makmur sentosa menggapai kesejahteraan, kita tidak ingin negeri ini menjadi negeri yang (selalu) lucu yang, di antaranya, ditandai dengan fenomena suara uang yang terus mendera.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
Indonesia di Bawah Pusaran Konflik
Oleh Moh. Ilyas*
Tahun 2010 lalu tampaknya menjadi tahun bergumulnya berbagai persoalan dan konflik di negeri ini, mulai dari konflik kekuasaan hingga konflik sosial. Keduanya merambah di bumi pertiwi ini begitu cepat dan seperti telah didesain, alias terjadi bukan secara kebetulan.
Untuk fenomena konflik kekuasaan misalnya, dimulai sejak meledaknya mega-skandal Bank Century pada 2009 lalu. Kasus yang merugikan negara hingga 6,7 triliun ini terus menuai kritik, intrik, dan kecurigaan masyarakat luas terhadap penguasa yang diduga kuat terlibat di dalamnya hingga saat ini, sebagaimana dikuak George Adi Condro dalam buku kontroversialnya, "Gurita Cikeas (2009)". Apalagi pemeran-pemeran utamanya memang berada di lingkar kekuasaan sekelas Wakil Presiden dan Menteri Keuangan.
Belum selesai, kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK juga muncul mencoreng penguasa. Lagi-lagi, konflik kekuasaan tersebut tak terhindarkan dari wajah penguasa yang diduga - meskipun tidak secara langsung - berada di balik fenomena itu. Bahkan nama 'SBY' sempat disebut-sebut dalam isi rekaman Anggodo yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Tak berhenti di situ saja, fenomena makelar kasus, makelar pajak, hingga fenomena rekening gendut kepolisian juga mencoreng wajah pengambil kebijakan di negeri ini.
Namun, adakah yang sudah selesai dari sekian banyak masalah itu? Nyaris tak ada yang tuntas penyelesaiannya. Apalagi di tengah kondisi institusi Polri dan Kejaksaan Agung yang kehilangan kredibilitasnya di mata publik. Dua institusi itu dianggap mengubur persoalan internal mereka secara massal, tetapi berusaha mengungkap masalah ekternal, meskipun dalam kasus-kasus di atas bisa dibilang tak berhasil mengusutnya.
Bahkan untuk kasus Gayus HP. Tambunan yang terjerat kasus mafia perpajakan, pihak kepolisian banyak yang 'kepergok' bermain belakang dengan Gayus. Di antaranya dengan menerima suap agar tidak membongkar rekening Gayus dan memberikan keleluasaan bagi Gayus untuk keluar masuk kamar tahanan di Rutan Mako Brimob Depok.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun yang selama ini selalu mendapatkan support dari masyarakat, belakangan mulai dicurigai 'takut' mengotak-atik wilayah penguasa. Orang-orang KPK, terlebih pimpinannya -meminjam bahasa Jusuf Kalla- saat ini sudah shock, sehingga tak berani lagi menyentuh pelanggaran kalangan penguasa. Dari sinilah mata-rantai konflik kekuasaan terus berkelindan.
Sementara di sisi lain, konflik sosial seperti mengikuti rentetan konflik kekuasaan. Ia terus mengebiri keamanan negeri ini. Bahkan, konflik sosial ini cenderung membuka 'luka lama' Indonesia, yaitu luka akibat persoalan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang telah relatif mereda dalam beberapa tahun terakhir. Dalam artian, konflik yang terjadi belakangan, banyak kembali disebabkan faktor SARA.
Untuk sekadar menyebutkan beberapa kasus, di antaranya bentrokan antar-kelompok massa akibat tewasnya seorang anggota salah satu ormas di Cengkareng dan Kosambi, Jakarta Barat 30 Mei lalu. Peristiwa itu menewaskan 1 orang. Selain itu, bentrokan antar-etnis di Tarakan Kalimantan Timur pada 26-29 September yang menewaskan 5 orang, dan penusukan jemaah HKBP di Bekasi September lalu.
Konflik sosial lainnya yang juga turut meramaikan pemberitaan media massa adalah bentrokan di Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bentrokan tersebut juga bermuara pada persoalan antar-golongan.
Mengapa Terjadi?
Menjawab pertanyaan ini memang tidaklah mudah, karena kasus yang mendera memang relatif subjektif dan individual. Namun, pada sisi tertentu motif dasar konflik-konflik tersebut cenderung tidak jauh dari adanya kepentingan.
Sebut saja konflik kekuasaan. Asal muasal jenis konflik yang merusak stabilitas bangsa dan negara ini selalu dimulai dari kesenjangan politik tertentu dan hasrat kekuasaan yang begitu menggebu. Penguasa terkadang buta dan mengorbankan kepentingan rakyatnya jika kekuasaannya diusik-usik. Bahkan kriminalisasi dua pimpinan KPK yang menyedot perhatian publik itu banyak disinyalir sebagai upaya pelemahan terhadap KPK karena mulai berani menguak masalah-masalah di lingkar kekuasaan.
Sementara untuk konflik-konflik sosial di antara penyebabnya karena tidak adanya figur yang layak diteladani. Figur-figur utama juga terjerembab masuk ke wilayah kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Sementara penguasa berintrik dan berkonflik setiap hari dan DPR hanya ribut merebut jatah-jatah kekuasaan dan mendiskusikan studi banding (baca: pelesiran) ke luar negeri.
Kondisi ini secara tidak langsung membuat rakyat bingung melihat figur-figur yang mestinya ditiru. Rakyat sudah shock melihat para pemimpin mereka yang jauh meninggalkan mereka demi kepentingan individu atau kelompok pemimpin itu sendiri. Sehingga sangat mungkin bahwa konflik sosial yang banyak terjadi dianggap sebagai tumpuan perasaan kekecewaan terhadap tindakan-tindakan pemimpin mereka.
Kesadaran Pluralitas
Menerjemahkan kesadaran ini sejatinya tidak hanya bermuara pada masalah kemajemukan dalam ras dan agama, seperti yang selama ini dipahami. Tetapi lebih jauh, kesadaran pluralitas juga perlu diterjemahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara, yakni juga bersentuhan dengan masalah konflik kekuasaan.
Kita tentu sadar bahwa motif dasar terjadinya konflik kekuasaan tidak lepas dari adanya bahasa ke-aku-an dari seseorang. Ia merasa, hanya dirinya saja atau kelompoknya saja yang berhak atas sesuatu tertentu. Dengan paradigma berpikir semacam itu, ia mencoba menghilangkan dan mengabaikan dimensi sosial yang mengajarkan adanya kesamaan hak dan rasa keadilan yang berakibat adanya konflik.
Dengan menghargai pluralitas, bahasa ke-aku-an ini bisa dihilangkan pada 2011 ini dan tahun-tahun mendatang, di mana seseorang tidak akan lagi hanya berpikir tentang kepentingannya saja, tetapi juga kepentingan orang lain. Kepentingan pribadi merupakan sesuatu yang wajar. Hanya saja, ketika itu melanggar kepentingan orang lain, termasuk publik, maka ia tak dapat dipaksakan. Inilah ajaran pluralitas yang berimplikasi secara langsung terhadap terwujudnya kesamaan dan persamaan satu sama lain.
* Penulis Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta
Tahun 2010 lalu tampaknya menjadi tahun bergumulnya berbagai persoalan dan konflik di negeri ini, mulai dari konflik kekuasaan hingga konflik sosial. Keduanya merambah di bumi pertiwi ini begitu cepat dan seperti telah didesain, alias terjadi bukan secara kebetulan.
Untuk fenomena konflik kekuasaan misalnya, dimulai sejak meledaknya mega-skandal Bank Century pada 2009 lalu. Kasus yang merugikan negara hingga 6,7 triliun ini terus menuai kritik, intrik, dan kecurigaan masyarakat luas terhadap penguasa yang diduga kuat terlibat di dalamnya hingga saat ini, sebagaimana dikuak George Adi Condro dalam buku kontroversialnya, "Gurita Cikeas (2009)". Apalagi pemeran-pemeran utamanya memang berada di lingkar kekuasaan sekelas Wakil Presiden dan Menteri Keuangan.
Belum selesai, kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK juga muncul mencoreng penguasa. Lagi-lagi, konflik kekuasaan tersebut tak terhindarkan dari wajah penguasa yang diduga - meskipun tidak secara langsung - berada di balik fenomena itu. Bahkan nama 'SBY' sempat disebut-sebut dalam isi rekaman Anggodo yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Tak berhenti di situ saja, fenomena makelar kasus, makelar pajak, hingga fenomena rekening gendut kepolisian juga mencoreng wajah pengambil kebijakan di negeri ini.
Namun, adakah yang sudah selesai dari sekian banyak masalah itu? Nyaris tak ada yang tuntas penyelesaiannya. Apalagi di tengah kondisi institusi Polri dan Kejaksaan Agung yang kehilangan kredibilitasnya di mata publik. Dua institusi itu dianggap mengubur persoalan internal mereka secara massal, tetapi berusaha mengungkap masalah ekternal, meskipun dalam kasus-kasus di atas bisa dibilang tak berhasil mengusutnya.
Bahkan untuk kasus Gayus HP. Tambunan yang terjerat kasus mafia perpajakan, pihak kepolisian banyak yang 'kepergok' bermain belakang dengan Gayus. Di antaranya dengan menerima suap agar tidak membongkar rekening Gayus dan memberikan keleluasaan bagi Gayus untuk keluar masuk kamar tahanan di Rutan Mako Brimob Depok.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun yang selama ini selalu mendapatkan support dari masyarakat, belakangan mulai dicurigai 'takut' mengotak-atik wilayah penguasa. Orang-orang KPK, terlebih pimpinannya -meminjam bahasa Jusuf Kalla- saat ini sudah shock, sehingga tak berani lagi menyentuh pelanggaran kalangan penguasa. Dari sinilah mata-rantai konflik kekuasaan terus berkelindan.
Sementara di sisi lain, konflik sosial seperti mengikuti rentetan konflik kekuasaan. Ia terus mengebiri keamanan negeri ini. Bahkan, konflik sosial ini cenderung membuka 'luka lama' Indonesia, yaitu luka akibat persoalan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang telah relatif mereda dalam beberapa tahun terakhir. Dalam artian, konflik yang terjadi belakangan, banyak kembali disebabkan faktor SARA.
Untuk sekadar menyebutkan beberapa kasus, di antaranya bentrokan antar-kelompok massa akibat tewasnya seorang anggota salah satu ormas di Cengkareng dan Kosambi, Jakarta Barat 30 Mei lalu. Peristiwa itu menewaskan 1 orang. Selain itu, bentrokan antar-etnis di Tarakan Kalimantan Timur pada 26-29 September yang menewaskan 5 orang, dan penusukan jemaah HKBP di Bekasi September lalu.
Konflik sosial lainnya yang juga turut meramaikan pemberitaan media massa adalah bentrokan di Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bentrokan tersebut juga bermuara pada persoalan antar-golongan.
Mengapa Terjadi?
Menjawab pertanyaan ini memang tidaklah mudah, karena kasus yang mendera memang relatif subjektif dan individual. Namun, pada sisi tertentu motif dasar konflik-konflik tersebut cenderung tidak jauh dari adanya kepentingan.
Sebut saja konflik kekuasaan. Asal muasal jenis konflik yang merusak stabilitas bangsa dan negara ini selalu dimulai dari kesenjangan politik tertentu dan hasrat kekuasaan yang begitu menggebu. Penguasa terkadang buta dan mengorbankan kepentingan rakyatnya jika kekuasaannya diusik-usik. Bahkan kriminalisasi dua pimpinan KPK yang menyedot perhatian publik itu banyak disinyalir sebagai upaya pelemahan terhadap KPK karena mulai berani menguak masalah-masalah di lingkar kekuasaan.
Sementara untuk konflik-konflik sosial di antara penyebabnya karena tidak adanya figur yang layak diteladani. Figur-figur utama juga terjerembab masuk ke wilayah kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Sementara penguasa berintrik dan berkonflik setiap hari dan DPR hanya ribut merebut jatah-jatah kekuasaan dan mendiskusikan studi banding (baca: pelesiran) ke luar negeri.
Kondisi ini secara tidak langsung membuat rakyat bingung melihat figur-figur yang mestinya ditiru. Rakyat sudah shock melihat para pemimpin mereka yang jauh meninggalkan mereka demi kepentingan individu atau kelompok pemimpin itu sendiri. Sehingga sangat mungkin bahwa konflik sosial yang banyak terjadi dianggap sebagai tumpuan perasaan kekecewaan terhadap tindakan-tindakan pemimpin mereka.
Kesadaran Pluralitas
Menerjemahkan kesadaran ini sejatinya tidak hanya bermuara pada masalah kemajemukan dalam ras dan agama, seperti yang selama ini dipahami. Tetapi lebih jauh, kesadaran pluralitas juga perlu diterjemahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara, yakni juga bersentuhan dengan masalah konflik kekuasaan.
Kita tentu sadar bahwa motif dasar terjadinya konflik kekuasaan tidak lepas dari adanya bahasa ke-aku-an dari seseorang. Ia merasa, hanya dirinya saja atau kelompoknya saja yang berhak atas sesuatu tertentu. Dengan paradigma berpikir semacam itu, ia mencoba menghilangkan dan mengabaikan dimensi sosial yang mengajarkan adanya kesamaan hak dan rasa keadilan yang berakibat adanya konflik.
Dengan menghargai pluralitas, bahasa ke-aku-an ini bisa dihilangkan pada 2011 ini dan tahun-tahun mendatang, di mana seseorang tidak akan lagi hanya berpikir tentang kepentingannya saja, tetapi juga kepentingan orang lain. Kepentingan pribadi merupakan sesuatu yang wajar. Hanya saja, ketika itu melanggar kepentingan orang lain, termasuk publik, maka ia tak dapat dipaksakan. Inilah ajaran pluralitas yang berimplikasi secara langsung terhadap terwujudnya kesamaan dan persamaan satu sama lain.
* Penulis Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta
Mitos Pemimpin Bersih
Oleh Moh. Ilyas*
Hingga beberapa tahun ke depan, menemukan pemimpin bersih di Indonesia sepertinya masih sekadar utopia. Alasannya karena budaya dalam kepemimpinan di negeri ini seolah tak peduli dengan identitas diri seorang pemimpin, apakah ia pemimpin bersih apa kotor. Bahkan, impian pemimpin bersih di tanah air tampaknya hanya menjadi sebuah mitos.
Mengapa demikian? Karena calon kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa masih dibolehkan ikut pemilukada dan bahkan dilantik sebagai wali kota. Hal ini di antaranya seperti terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, di mana Jefferson Rumajar masih dilantik sebagai Wali Kota Tomohon baru-baru ini untuk periode kedua, padahal statusnya sudah terdakwa.
Jefferson saat ini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas dakwaan tindak pidana korupsi dana APBD Kota Tomohon tahun 2006-2008 senilai Rp 3,4 miliar. Ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Namun, anehnya Jefferson masih dilantik dan bahkan menyusun pimpinan SKPD di Kota Tomohon.
Fenomena Jefferson, memang bukanlah yang pertama di Indonesia. Tidak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, namun masih dapat melenggang bebas, bahkan saat mereka kembali mencalonkan sebagai kepala daerah, mereka terpilih kembali.
Lihat saja pada tahun 2010 saja, sebagaimana catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), tidak kurang dari 10 kepala daerah yang kembali terpilih, meskipun mereka terganjal kasus korupsi. Anehnya, pemerintah tetap melantik. Seharusnya kalau memang berkomitmen, polda maupun kejaksaan harusnya percepat prosesnya sehingga saat menjabat tidak ada persoalan.
Kesepuluh kepala daerah yang terlibat korupsi dan terpilih lagi itu adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, Bupati Jember Djalal, Wakil Bupati Kusen Andalas, Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, serta Wali Kota Tomohon Jefferson Rumanjar (Tribunnews Pekanbaru, 20/12/2010).
Data ini begitu mengagetkan kita, karena fenomena ini menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam warna perpolitikan kita. Demokrasi sepertinya sudah begitu tumpul dalam mengantarkan pemimpin bersih. Pemilukada yang diharapkan melahirkan pemimpin bersih justru yang terjadi adalah sebaliknya dan mengantarkan koruptor sebagai kepala daerah.
Kita tentu saja bisa berspekulasi tentang hasil ini. Bisa saja masyarakat memilih tidak berdasar pada nuraninya atau hanya sekadar popularitas semata, atau bisa juga mereka memilih karena kuatnya mesin politik, sehingga mereka “buta” dalam melihat calon yang dipilihnya secara jelas. Bahkan, bukan tidak mungkin, pilihan ini bentuk kepolosan masyarakat yang sudah banyak dirasuki ‘kesenangan-kesenangan sesaat’ berupa uang dan sebagainya. Hal ini karena sangat terlihat menggejala sejak Pemilu Legislatif 2009 lalu, sampai ada salah seorang caleg berujar, “Yang ada di pikiran masyarakat saat ini hanyalah ongkos doang.”
Jika faktanya demikian, maka identitas demokrasi yang melandasi dirinya sebagai demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) sudah tidak lagi natural dan sudah ternodai. Bahkan, suara rakyat yang selalu didengungkan sebagai suara tuhan (vox populi vox dei) hanya menjadi adagium yang perlu didiskusikan lagi. Sebab, tidak selamanya suara terbanyak yang menjadi acuan kemenangan adalah yang terbaik, bisa jadi ia malah sebaliknya.
Sehingga tidak perlu heran jika pemimpin yang dihasilkannya pun tidak lebih baik dari pemilihan yang tidak langsung dipilih oleh rakyat, semisal dipilih DPRD. Bukankah konsekuensi pemilukada yang korup hanya akan menghasilkan pemimpin yang korup, dan bukankah pemimpin yang korup juga akan menghasilkan produk dan kebijakan yang korup pula? Jika ini terjadi, tentu masyarakat tak ubahnya hanya sebagai “sapi perahan” yang diberi kehidupan sesaat, namun dikubur bertahun-tahun.
Tentu saja persoalan ini terjadi bukan karena kesalahan KPU yang membiarkan calon koruptor sekalipun ikut pemilukada atau Mendagri yang mengeluarkan surat keputusan (SK). Ujung dari persoalan ini karena tidak adanya undang-undang yang mengaturnya. Bahkan, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tak melarang seorang terdakwa atau tersangka, kasus apa pun untuk dilantik menjadi kepala daerah.
Hilangnya Keteladanan
Fenomena kepemimpinan yang "kotor" ini menunjukkan bahwa pemimpin di negeri ini masih jauh panggang dari yang namanya keteladanan. Mereka, meminjam ungkapan kebijaksanaan Ary Ginanjar (2001) belum berhasil memimpin dirinya sendiri, sehingga tidak akan pernah berhasil memimpin orang lain.
Kira-kira kepemimpinan di Indonesia bisa kita gambarkan: Menjadi pemimpin di negeri ini adalah rebutan. Tetapi ketika mereka betul-betul diamanahkan kepemimpinan itu, mereka lupa amanah yang diembannya. Mereka berbuat seenaknya saja dan meninggalkan rakyat yang telah mempercayai. Mereka mengkhianati kepercayaan rakyatnya sendiri.
Dengan begitu, kesejahteraan rakyat terabaikan, karena yang mereka pikirkan bukan lagi tetapi perutnya sendiri dan kelompoknya saja. Inilah cermin pemimpin di Indonesia saat ini. Mereka telah menampilkan sebuah personifikasi kacang yang lupa akan kulitnya.
Mestinya para pemimpin di negeri ini meniru Umar Ibn Khattab, ketika rakyat lapar dia merasakan pertama kali, ketika rakyat kenyang dia merasakannya yang terakhir. Inilah keteladanan yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Mereka memimpin bukan hanya sekadar ingin mendapatkan previlage, tetapi mereka mesti siap dengan tanggung jawab kepemimpinannya.
Keteladanan ini sebagai salah satu wujud bahwa seorang pemimpin harus berjiwa bersih dan tidak terkotori oleh syahwat kekuasaan yang melampaui batas. Mereka juga mampu memimpin dengan menggunakan – meminjam bahasa Achmad Syafi’i Maarif – “mata batin” dan “mata konstitusi” sebagaimana didengungkan manta Presiden AS, Abraham Lincoln.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.
Hingga beberapa tahun ke depan, menemukan pemimpin bersih di Indonesia sepertinya masih sekadar utopia. Alasannya karena budaya dalam kepemimpinan di negeri ini seolah tak peduli dengan identitas diri seorang pemimpin, apakah ia pemimpin bersih apa kotor. Bahkan, impian pemimpin bersih di tanah air tampaknya hanya menjadi sebuah mitos.
Mengapa demikian? Karena calon kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa masih dibolehkan ikut pemilukada dan bahkan dilantik sebagai wali kota. Hal ini di antaranya seperti terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, di mana Jefferson Rumajar masih dilantik sebagai Wali Kota Tomohon baru-baru ini untuk periode kedua, padahal statusnya sudah terdakwa.
Jefferson saat ini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas dakwaan tindak pidana korupsi dana APBD Kota Tomohon tahun 2006-2008 senilai Rp 3,4 miliar. Ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Namun, anehnya Jefferson masih dilantik dan bahkan menyusun pimpinan SKPD di Kota Tomohon.
Fenomena Jefferson, memang bukanlah yang pertama di Indonesia. Tidak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, namun masih dapat melenggang bebas, bahkan saat mereka kembali mencalonkan sebagai kepala daerah, mereka terpilih kembali.
Lihat saja pada tahun 2010 saja, sebagaimana catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), tidak kurang dari 10 kepala daerah yang kembali terpilih, meskipun mereka terganjal kasus korupsi. Anehnya, pemerintah tetap melantik. Seharusnya kalau memang berkomitmen, polda maupun kejaksaan harusnya percepat prosesnya sehingga saat menjabat tidak ada persoalan.
Kesepuluh kepala daerah yang terlibat korupsi dan terpilih lagi itu adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, Bupati Jember Djalal, Wakil Bupati Kusen Andalas, Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, serta Wali Kota Tomohon Jefferson Rumanjar (Tribunnews Pekanbaru, 20/12/2010).
Data ini begitu mengagetkan kita, karena fenomena ini menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam warna perpolitikan kita. Demokrasi sepertinya sudah begitu tumpul dalam mengantarkan pemimpin bersih. Pemilukada yang diharapkan melahirkan pemimpin bersih justru yang terjadi adalah sebaliknya dan mengantarkan koruptor sebagai kepala daerah.
Kita tentu saja bisa berspekulasi tentang hasil ini. Bisa saja masyarakat memilih tidak berdasar pada nuraninya atau hanya sekadar popularitas semata, atau bisa juga mereka memilih karena kuatnya mesin politik, sehingga mereka “buta” dalam melihat calon yang dipilihnya secara jelas. Bahkan, bukan tidak mungkin, pilihan ini bentuk kepolosan masyarakat yang sudah banyak dirasuki ‘kesenangan-kesenangan sesaat’ berupa uang dan sebagainya. Hal ini karena sangat terlihat menggejala sejak Pemilu Legislatif 2009 lalu, sampai ada salah seorang caleg berujar, “Yang ada di pikiran masyarakat saat ini hanyalah ongkos doang.”
Jika faktanya demikian, maka identitas demokrasi yang melandasi dirinya sebagai demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) sudah tidak lagi natural dan sudah ternodai. Bahkan, suara rakyat yang selalu didengungkan sebagai suara tuhan (vox populi vox dei) hanya menjadi adagium yang perlu didiskusikan lagi. Sebab, tidak selamanya suara terbanyak yang menjadi acuan kemenangan adalah yang terbaik, bisa jadi ia malah sebaliknya.
Sehingga tidak perlu heran jika pemimpin yang dihasilkannya pun tidak lebih baik dari pemilihan yang tidak langsung dipilih oleh rakyat, semisal dipilih DPRD. Bukankah konsekuensi pemilukada yang korup hanya akan menghasilkan pemimpin yang korup, dan bukankah pemimpin yang korup juga akan menghasilkan produk dan kebijakan yang korup pula? Jika ini terjadi, tentu masyarakat tak ubahnya hanya sebagai “sapi perahan” yang diberi kehidupan sesaat, namun dikubur bertahun-tahun.
Tentu saja persoalan ini terjadi bukan karena kesalahan KPU yang membiarkan calon koruptor sekalipun ikut pemilukada atau Mendagri yang mengeluarkan surat keputusan (SK). Ujung dari persoalan ini karena tidak adanya undang-undang yang mengaturnya. Bahkan, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tak melarang seorang terdakwa atau tersangka, kasus apa pun untuk dilantik menjadi kepala daerah.
Hilangnya Keteladanan
Fenomena kepemimpinan yang "kotor" ini menunjukkan bahwa pemimpin di negeri ini masih jauh panggang dari yang namanya keteladanan. Mereka, meminjam ungkapan kebijaksanaan Ary Ginanjar (2001) belum berhasil memimpin dirinya sendiri, sehingga tidak akan pernah berhasil memimpin orang lain.
Kira-kira kepemimpinan di Indonesia bisa kita gambarkan: Menjadi pemimpin di negeri ini adalah rebutan. Tetapi ketika mereka betul-betul diamanahkan kepemimpinan itu, mereka lupa amanah yang diembannya. Mereka berbuat seenaknya saja dan meninggalkan rakyat yang telah mempercayai. Mereka mengkhianati kepercayaan rakyatnya sendiri.
Dengan begitu, kesejahteraan rakyat terabaikan, karena yang mereka pikirkan bukan lagi tetapi perutnya sendiri dan kelompoknya saja. Inilah cermin pemimpin di Indonesia saat ini. Mereka telah menampilkan sebuah personifikasi kacang yang lupa akan kulitnya.
Mestinya para pemimpin di negeri ini meniru Umar Ibn Khattab, ketika rakyat lapar dia merasakan pertama kali, ketika rakyat kenyang dia merasakannya yang terakhir. Inilah keteladanan yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Mereka memimpin bukan hanya sekadar ingin mendapatkan previlage, tetapi mereka mesti siap dengan tanggung jawab kepemimpinannya.
Keteladanan ini sebagai salah satu wujud bahwa seorang pemimpin harus berjiwa bersih dan tidak terkotori oleh syahwat kekuasaan yang melampaui batas. Mereka juga mampu memimpin dengan menggunakan – meminjam bahasa Achmad Syafi’i Maarif – “mata batin” dan “mata konstitusi” sebagaimana didengungkan manta Presiden AS, Abraham Lincoln.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)