Oleh Moh Ilyas
Judul ini memadukan dua tema antara pergaulan bebas hari ini dan hilangnya generasi Qurani. Sepintas, perpaduan dua tema ini agak terasa janggal, karena antara keduanya, pada saat tertentu memang tak semestinya dipadukan.
Namun, penulis memiliki alasan sederhana, kenapa dua tema ini dipadukan, karena keduanya sama-sama bermuara pada moral. Pergaulan bebas yang mulai merambah ke bumi Indonesia sejak sekitar satu dekade terakhir, tak dapat dinafikan karena runtuhnya nilai-nilai moral. Remaja, khususnya, yang terjerembab ke wilayah ini sudah tak peduli arti moralitas di balik tindakan mereka.
Begitupun hilangnya generasi Qurani (baca: generasi yang masih kukuh dengan teks-teks Alquran dan nilai-nilai di dalamnya). Generasi Qurani, saat ini sangatlah minim. Bahkan, di kalangan masyarakat yang mengaku 90 persen berpenduduk muslim pun, kaum tua dan kalangan remajanya blepotan untuk membaca Alquran. "Bagaimana mengerti, kalau tahu saja tidak bisa," begitu kata bijak yang sudah lazim diungkapkan.
Dalam hal pergaulan bebas, layak kiranya menyebutkan temuan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa hari kemarin. Lembaga tersebut setelah melakukan penelitian terhadap remaja di empat kota besar menemukan hasil yang betul-betul mengejutkan. Bagaimana tidak, hampir separuh dari seluruh remaja di kota tersebut pernah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Di Jabodetabek misalnya, BKKBN menemukan 50 persen remaja melakukan hubungan seks pra-nikah. Di Surabaya sebanyak 54 persen, di Medan 52 persen, dan di Bandung sebanyak 47 persen. Badan tersebut menilai, faktor tindakan ini disebabkan karena dekadensi moral yang begitu memengaruhi.
Hal ini sejalan dengan hilangnya generasi Qurani. Meskipun secara nasional belum diketahui angka statistiknya, namun di Jawa Barat menunjukkan angka yang sangat menyedihkan.
Menurut Guru Besar UIN Gunung Jati Bandung, Prof Dr Asep Saiful Muhtadi, hasil statistik di Jawa Barat menunjukkan, anak di usia Sekolah Dasar (SD) saja hanya sekitar 10 persen yang belajar Alquran. Padahal, usia yang paling bisa diharapkan untuk menimba ilmu agama, adalah di usia SD. Sebab, saat anak masuk usia SMP, apalagi SMA, kesempatan belajar agama pun, termasuk belajar membaca Alquran semakin kecil.
Meskipun penelitian ini hasil di Jawa Barat, namun kemungkinan besar juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Demikian ketika mengingat jumlah umat Islam di Jawa Barat yang mencapai hingga 90 persen. Logikanya, ketika wilayah yang berpenduduk hingga sebanyak itu saja seperti itu, apalagi yang di bawahnya.
Dikatakannya, kondisi tersebut juga diketahui dari banyaknya Jamaah Haji asal Jawa Barat yang hanya bisa membaca doa kalau menggunakan huruf latin. Jika untuk belajar membaca saja di usia SD hanya sekitar 10 persen, apalagi yang mau menghafalkan.
Perpaduan
Judul ini disatukan karena ada keterkaitan antara pergaulan bebas dan hilangnya semangat Qurani. Remaja ataupun pemuda, sangat mungkin melupakan kitab sucinya jika ia masuk dalam gerombolan pergaulan bebas.
Bagi mereka, tahu membaca Alquran mungkin masih terjadi. Tetapi memetik nilai-nilai dan mutiara agung dari Alquran sangatlah sulit terjadi. Sebab pergaulan bebas sarat dengan meninggalkannya. Artinya, jika seseorang masih menerapkan nilai-nilai Qurani dalam hidupnya, mustahil ia akan terperangkap dalam pergaulan bebas.
Barangkali bisa ditengok lebih jauh bagaimana peran remaja yang masuk pergaulan bebas dalam meruntuhkan nilai-nilai kitab suci mereka. Mereka tak sekadar menanggalkan baju Qurani, tetapi juga 'menodai'-nya. Dengan begitu, meskipun masih ada yang membaca Alquran - apalagi tidak ada - jika mereka tak menyentuh nilai-nilainya dalam pengamalan, maka sejatinya mereka sudah terhapus sebagai generasi Qurani.
Unisba Ciburial, Cimenyan, Bandung, 30/11/2010
Pukul 21.12 WIB
Tuesday, November 30, 2010
Monday, November 29, 2010
Jalan Tebing di Ujung Berita
Oleh Moh Ilyas
Awalnya, aku pikir lokasinya tak jauh sebelah Barat Daya Kota Cimahi. Karyawangai, Ciwaruga, itulah yang selalu kutanyakan kepada orang-orang sejak di sebuah masjid di Padalarang, Bandung Barat.
Ku ikuti semua saran orang-orang. Sejak di Padalarang, jarang sekali ada yang mengerti Desa Karyawangi. Tapi ketika aku bertanya Ciwaruga, banyak orang yang bisa menjawabnya. "Ooo masih jauh," kata salah seorang di pinggir jalan yang tak jauh dari Kantor Pemkot Cimahi.
Namun, rasa khawatir semakin menjadi-jadi dalam dadaku. Mengapa tidak, meski perjalanan sudah ke atas Kantor Pemkot Cimahi dan dekat Ciwaruga, nyaris tak ada satupun yang mengerti tentang nama Desa Karyawangi.
Sesampainya di dekat jalan menurun di Desa Sariwangi, Ciwaruga, dua orang pengatur jalan tiba-tiba memberitahuku. "O ya, The Peak itu ada, tapi jauh mas. Sekitar 5 kilometer lagi ke atas," jelasnya.
Spontan, hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Meski jalan bertebing dan membahayakan (licin dan rusak parah), aku teruskan saja mengegas motorku. Sekitar dua kilometer dari dua orang tadi, aku kembali bertanya. "Ooo jauh mas, lima kilometer terus ke atas," terangnya. "Kok masih sama dengan petunjuk orang tadi," tanyaku dalam hati.
Aku terus saja meyakinkan diriku kalau aku bisa sampai ke tempat yang ku kejar itu. Jalan gelap, rusak, dan sepi, membuat hatiku senang campur takut dan harap-harap cemas. Aku seorang diri yang melangkah di gelap malam, tanpa mengerti arah haluanku. Maklum, aku pertama kali melintasi jalan berliku itu.
Sekitar 10 menit kemudian, aku kembali bertanya. "Paling, dua kilo lagi," kata orang yang kutanya. Sementara jalan makin tidak bersahabat. Genangan air dan jalan rusak serta berlubang menemaniku hampir di sepanjang jalan. Jalan itu pun di tempat yang gelap dan sepi. Sementara di pinggir jalan merupakan tebing-tebing tinggi yang mengerikan.
"Kapan sampainya ini. Apa benar The Peak itu ada," tanyaku kian ragu. Sebab, sudah sekitar lima kilometer, sejak orang di pinggir jalan tadi memberitahu jarak dua kilometer. Aku terus saja berjalan pasrah sembari berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal negatif padaku.
Sementara sudah lebih dari 10 orang yang kutanya sejak di Padalarang. Namun, yang ku cari itu pun belum juga ku dapat. "Inilah susahnya mencari berita," emosiku mulai memanas. "Sungguh, jarak tempuh ini sudah begitu makan hati."
Beberapa menit kemudian, setelah tatapan mata secara tak sengaja melihat bacaan Strobery, hatiku pun mulai lega. Sebab sebelumnya salah seorang memberitahuku jika sudah ada strobery, pertigaan setelahnya belok kiri. Ternyata benar, di pertigaan sudah ada penunjuk arah bertuliskan The Peak.
Areal The Peak sangatlah luas. Bahkan, meskipun aku sudah melewati pintu gerbangnya, aku masih belum terlalu yakin benarnya tempat itu. Sebab di dalam areal masih terlihat seperti jalan umum, gelap, namun aspal jalannya jauh lebih baik. Keraguan ini pudar setelah seorang setengah baya memberitahuku tempat seremonial The Peak. Ku menanjaki sekitar 500 meter, baru terlihat bacaan www.thepeakresortdining.com. Di situlah The Peak itu berada dengan lelampuan yang agak buram serta suasana hawa begitu dingin hingga membuat tubuhku menggigil.
Sekitar dua jam, acara diskusi dengan pihak Jamsostek, selaku pengundang berlangsung. Setelah dinner, sembari menyantap soto dan beberapa potong snack, diskusi menghangat. Namun, beberapa saat kemudian, perdebatan dalam diskusi kembali mendingin, nyaris seperti dinginnya suasana malam itu.
The Peak Resort Dining, 26/11/2010
Pukul 22.30 WIB
Awalnya, aku pikir lokasinya tak jauh sebelah Barat Daya Kota Cimahi. Karyawangai, Ciwaruga, itulah yang selalu kutanyakan kepada orang-orang sejak di sebuah masjid di Padalarang, Bandung Barat.
Ku ikuti semua saran orang-orang. Sejak di Padalarang, jarang sekali ada yang mengerti Desa Karyawangi. Tapi ketika aku bertanya Ciwaruga, banyak orang yang bisa menjawabnya. "Ooo masih jauh," kata salah seorang di pinggir jalan yang tak jauh dari Kantor Pemkot Cimahi.
Namun, rasa khawatir semakin menjadi-jadi dalam dadaku. Mengapa tidak, meski perjalanan sudah ke atas Kantor Pemkot Cimahi dan dekat Ciwaruga, nyaris tak ada satupun yang mengerti tentang nama Desa Karyawangi.
Sesampainya di dekat jalan menurun di Desa Sariwangi, Ciwaruga, dua orang pengatur jalan tiba-tiba memberitahuku. "O ya, The Peak itu ada, tapi jauh mas. Sekitar 5 kilometer lagi ke atas," jelasnya.
Spontan, hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Meski jalan bertebing dan membahayakan (licin dan rusak parah), aku teruskan saja mengegas motorku. Sekitar dua kilometer dari dua orang tadi, aku kembali bertanya. "Ooo jauh mas, lima kilometer terus ke atas," terangnya. "Kok masih sama dengan petunjuk orang tadi," tanyaku dalam hati.
Aku terus saja meyakinkan diriku kalau aku bisa sampai ke tempat yang ku kejar itu. Jalan gelap, rusak, dan sepi, membuat hatiku senang campur takut dan harap-harap cemas. Aku seorang diri yang melangkah di gelap malam, tanpa mengerti arah haluanku. Maklum, aku pertama kali melintasi jalan berliku itu.
Sekitar 10 menit kemudian, aku kembali bertanya. "Paling, dua kilo lagi," kata orang yang kutanya. Sementara jalan makin tidak bersahabat. Genangan air dan jalan rusak serta berlubang menemaniku hampir di sepanjang jalan. Jalan itu pun di tempat yang gelap dan sepi. Sementara di pinggir jalan merupakan tebing-tebing tinggi yang mengerikan.
"Kapan sampainya ini. Apa benar The Peak itu ada," tanyaku kian ragu. Sebab, sudah sekitar lima kilometer, sejak orang di pinggir jalan tadi memberitahu jarak dua kilometer. Aku terus saja berjalan pasrah sembari berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal negatif padaku.
Sementara sudah lebih dari 10 orang yang kutanya sejak di Padalarang. Namun, yang ku cari itu pun belum juga ku dapat. "Inilah susahnya mencari berita," emosiku mulai memanas. "Sungguh, jarak tempuh ini sudah begitu makan hati."
Beberapa menit kemudian, setelah tatapan mata secara tak sengaja melihat bacaan Strobery, hatiku pun mulai lega. Sebab sebelumnya salah seorang memberitahuku jika sudah ada strobery, pertigaan setelahnya belok kiri. Ternyata benar, di pertigaan sudah ada penunjuk arah bertuliskan The Peak.
Areal The Peak sangatlah luas. Bahkan, meskipun aku sudah melewati pintu gerbangnya, aku masih belum terlalu yakin benarnya tempat itu. Sebab di dalam areal masih terlihat seperti jalan umum, gelap, namun aspal jalannya jauh lebih baik. Keraguan ini pudar setelah seorang setengah baya memberitahuku tempat seremonial The Peak. Ku menanjaki sekitar 500 meter, baru terlihat bacaan www.thepeakresortdining.com. Di situlah The Peak itu berada dengan lelampuan yang agak buram serta suasana hawa begitu dingin hingga membuat tubuhku menggigil.
Sekitar dua jam, acara diskusi dengan pihak Jamsostek, selaku pengundang berlangsung. Setelah dinner, sembari menyantap soto dan beberapa potong snack, diskusi menghangat. Namun, beberapa saat kemudian, perdebatan dalam diskusi kembali mendingin, nyaris seperti dinginnya suasana malam itu.
The Peak Resort Dining, 26/11/2010
Pukul 22.30 WIB
Kongres HMI dan Kemenangan Politik Uang
Oleh Moh Ilyas
Pagelaran akbar, yakni Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 27 telah resmi ditutup pada Ahad (14/11) lalu. Namun, konstalasi politik HMI dua tahunan itu masih menyisakan duka mendalam dalam benak publik, terutama kader-kadernya. Mengapa demikian?
Duka tersebut, bukanlah duka HMI yang selama ini kerap dikenal dekat dengan kekuasaan, atau bukanlah duka HMI, yang dalam mengungkapkan aspirasinya masih cenderung menggunakan pendekatan otot. Duka organisasi mahasiswa kelahiran 5 Februari 1947 ini, karena aspek intelektual lambat laun telah dikelupas secara sengaja oleh kader-kader dan alumninya sendiri.
Pengelupasan aspek intelektual ini sangat kentara terlihat dalam arena Kongres di Graha Insan Cita Depok, tiga pekan lalu itu. Saat itu, sedari awal, nyaris tak ada satupun kandidat yang memproklamirkan gagasannya baik dalam kerangka keislaman, kebangsaan, maupun ke-HMI-an. Kalaupun ada, adalah wacana yang lebih dekat dikatakan sebagai ajang kampanye di beberapa media.
Bahkan dari 12 kandidat yang merebut kursi Ketua Umum PB HMI, penulis hanya menjumpai satu kandidat saja yang - serius - menawarkan ide-ide segar melalui karya, berupa buku. Walaupun, bukan satu-satunya tolak ukur, tapi dari karya dan gagasan itulah, tradisi intelektual di HMI masih bisa terlihat. Namun jika kenyataannya demikian, sungguh, HMI telah berada di ambang akhir intelektual.
Ini jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres HMI sebelumnya yang selalu bertaburan gagasan dan karya. "Biasanya kalau kongres, kandidat beradu visi-misi dan gagasan di buku, sekarang kok cuma ada satu buku ya," tanya salah seorang pengembira kongres, sembari memegang buku 'Manifesto Politik HMI', karya Ahmad Nasir Siregar, salah seorang kandidat.
Pertanyaan kader yang masih level pengembira itu barangkali tidak berpengaruh pada suara kandidat. Sebab, ia memang tidak memiliki hak suara. Namun, pertanyaannya yang begitu tulus betul-betul menandakan menurunnya tradisi intelektual di tubuh organisasi ini.
Ruang intelektual dan khazanah pemikiran biasanya selalu mewarnai konstalasi Kongres HMI. Bahkan, jika diingat sejarah panjangnya, organisasi ini melahirkan “mini ideologinya” (NDP) saat Kongres di Malang 1966. Begitupun dalam konstalasi politiknya, aspek intelektual selalu dikedepankan.
Masih ingat mundurnya Ekky Syahruddin (alm) dari pencalonannya sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1969? Alasan yang dikemukakannya pada saat itu, karena dia menghormati intelektual Cak Nur. Saat itu, Cak Nur juga menjadi salah satu kandidat. Sehingga Guru Bangsa ini terpilih kembali memimpin HMI untuk yang kedua kalinya.
Sikap Ekky ini bila kita coba pahami lebih jauh muncul karena ia memiliki kesadaran individu, bahwa untuk memimpin HMI diperlukan sosok intelektual yang memiliki kapasitas kuat dan kepribadian yang unggul. Barangkali saat itu, Ekky berpikir bahwa Cak Nur secara kapasitas melebihi dirinya, sehingga ia dengan berani mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, jika ia terus maju, juga memiliki peluang untuk terpilih, tapi ia tak melakukannya.
Namun, apakah ada saat ini Ekky-Ekky yang lain? Kalau menilik pada penilaian beberapa kader HMI sendiri, mereka cenderung pesimis dengan mengatakan, banyak kandidat yang memaksakan maju merebut kursi Ketua Umum PB HMI, meskipun kapasitas mereka jauh di bawah standar. Di sini para kandidat ‘picisan’ itu menunjukkan bahwa ambiusitas jauh mengalahkan kesadaran akan kapasitas dirinya.
Politik Uang
Detik-detik menjelang pemilihan Ketua Umum, beredar short message service (SMS) ke beberapa pimpinan cabang bahwa jika memilih Si A akan mengantongi Rp 30 juta. Ada pula SMS yang menawarkan Rp 90 juta untuk satu cabang.
Pesan pendek yang beredar ke pimpinan cabang itu diyakini kebenarannya. Sebab tidak kurang dari empat jam, beberapa cabang yang awalnya mendukung kandidat lain tiba-tiba merangsek masuk ke Si A. Wal-hasil Si A betul-betul memperoleh suara yang mengagetkan. Sehingga puncaknya, ia pun dinobatkan sebagai pemenang.
Alih-alih, muncul beberapa kekecewaan di sebagian kader. "Berarti kongres ini kemenangan yang ber-uang", "Ini juga kemenangan elit dong", dan ada pula yang kecewa dengan mengatakan, "Kongres kali ini menjadi awal tragedi, bahwa untuk memimpin HMI bukanlah kapasitas yang diperlukan, tapi cukup uang dan dukungan elit".
Legitimasi Kongres ke 27 itupun menjadi legitimasi pengukuhan bahwa uang sebagai pemenangnya. Masalah intelektual yang bertebaran di media massa atau di beberapa buku tak menjadi prasyarat memimpin organisasi yang pernah melahirkan tokoh sekaliber Cak Nur ini. HMI telah menjadi semacam partai politik yang mengajarkan diaspora money politic dalam merengkuh kekuasaan di dalamnya. Ia pun kian jauh dari harapan sebagai Laboratorium Intelektual.
Jika proses demokratisasinya adalah uang, maka pemimpinnya pun juga uang. Hal ini seperti diungkapkan Ilmuwan Politik dan Teori Komunikasi Amerika, Harold D Laswell, "Aku memilih anda bukan karena anda hebat dan layak jadi pemimpin, tetapi karena anda membeli suaraku."
Laswell seperti hendak menegaskan bahwa kapasitas seorang pemimpin bisa hilang hanya gara-gara uang. Sebab, kontestan yang memilihnya tidak lagi memilih karena logika kepantasan, tetapi lebih pada logika uang. Dengan begitu, logika uang ini menerobos pintu-pintu idealisme dan karakter kepemimpinan.
Kalau semua yang berbicara berujung pada uang, maka ujung jawabannya pun, tak bisa dipungkiri, pastilah uang. Maka, jika ini benar, bagaimanakah nasib HMI di masa yang akan datang. Masihkah HMI menjadi tempat menempa dan berkader, sementara kapasitas intelektual sudah tak laku lagi di dalamnya? Atau, jangan-jangan HMI ada, namun seperti tiada (wujuuduhu ka adamihi)? Wallahu a'lam.
Taman Pramuka, Bandung, 29 Nopember 2010
Pukul 23.27 WIB
Pagelaran akbar, yakni Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 27 telah resmi ditutup pada Ahad (14/11) lalu. Namun, konstalasi politik HMI dua tahunan itu masih menyisakan duka mendalam dalam benak publik, terutama kader-kadernya. Mengapa demikian?
Duka tersebut, bukanlah duka HMI yang selama ini kerap dikenal dekat dengan kekuasaan, atau bukanlah duka HMI, yang dalam mengungkapkan aspirasinya masih cenderung menggunakan pendekatan otot. Duka organisasi mahasiswa kelahiran 5 Februari 1947 ini, karena aspek intelektual lambat laun telah dikelupas secara sengaja oleh kader-kader dan alumninya sendiri.
Pengelupasan aspek intelektual ini sangat kentara terlihat dalam arena Kongres di Graha Insan Cita Depok, tiga pekan lalu itu. Saat itu, sedari awal, nyaris tak ada satupun kandidat yang memproklamirkan gagasannya baik dalam kerangka keislaman, kebangsaan, maupun ke-HMI-an. Kalaupun ada, adalah wacana yang lebih dekat dikatakan sebagai ajang kampanye di beberapa media.
Bahkan dari 12 kandidat yang merebut kursi Ketua Umum PB HMI, penulis hanya menjumpai satu kandidat saja yang - serius - menawarkan ide-ide segar melalui karya, berupa buku. Walaupun, bukan satu-satunya tolak ukur, tapi dari karya dan gagasan itulah, tradisi intelektual di HMI masih bisa terlihat. Namun jika kenyataannya demikian, sungguh, HMI telah berada di ambang akhir intelektual.
Ini jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres HMI sebelumnya yang selalu bertaburan gagasan dan karya. "Biasanya kalau kongres, kandidat beradu visi-misi dan gagasan di buku, sekarang kok cuma ada satu buku ya," tanya salah seorang pengembira kongres, sembari memegang buku 'Manifesto Politik HMI', karya Ahmad Nasir Siregar, salah seorang kandidat.
Pertanyaan kader yang masih level pengembira itu barangkali tidak berpengaruh pada suara kandidat. Sebab, ia memang tidak memiliki hak suara. Namun, pertanyaannya yang begitu tulus betul-betul menandakan menurunnya tradisi intelektual di tubuh organisasi ini.
Ruang intelektual dan khazanah pemikiran biasanya selalu mewarnai konstalasi Kongres HMI. Bahkan, jika diingat sejarah panjangnya, organisasi ini melahirkan “mini ideologinya” (NDP) saat Kongres di Malang 1966. Begitupun dalam konstalasi politiknya, aspek intelektual selalu dikedepankan.
Masih ingat mundurnya Ekky Syahruddin (alm) dari pencalonannya sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1969? Alasan yang dikemukakannya pada saat itu, karena dia menghormati intelektual Cak Nur. Saat itu, Cak Nur juga menjadi salah satu kandidat. Sehingga Guru Bangsa ini terpilih kembali memimpin HMI untuk yang kedua kalinya.
Sikap Ekky ini bila kita coba pahami lebih jauh muncul karena ia memiliki kesadaran individu, bahwa untuk memimpin HMI diperlukan sosok intelektual yang memiliki kapasitas kuat dan kepribadian yang unggul. Barangkali saat itu, Ekky berpikir bahwa Cak Nur secara kapasitas melebihi dirinya, sehingga ia dengan berani mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, jika ia terus maju, juga memiliki peluang untuk terpilih, tapi ia tak melakukannya.
Namun, apakah ada saat ini Ekky-Ekky yang lain? Kalau menilik pada penilaian beberapa kader HMI sendiri, mereka cenderung pesimis dengan mengatakan, banyak kandidat yang memaksakan maju merebut kursi Ketua Umum PB HMI, meskipun kapasitas mereka jauh di bawah standar. Di sini para kandidat ‘picisan’ itu menunjukkan bahwa ambiusitas jauh mengalahkan kesadaran akan kapasitas dirinya.
Politik Uang
Detik-detik menjelang pemilihan Ketua Umum, beredar short message service (SMS) ke beberapa pimpinan cabang bahwa jika memilih Si A akan mengantongi Rp 30 juta. Ada pula SMS yang menawarkan Rp 90 juta untuk satu cabang.
Pesan pendek yang beredar ke pimpinan cabang itu diyakini kebenarannya. Sebab tidak kurang dari empat jam, beberapa cabang yang awalnya mendukung kandidat lain tiba-tiba merangsek masuk ke Si A. Wal-hasil Si A betul-betul memperoleh suara yang mengagetkan. Sehingga puncaknya, ia pun dinobatkan sebagai pemenang.
Alih-alih, muncul beberapa kekecewaan di sebagian kader. "Berarti kongres ini kemenangan yang ber-uang", "Ini juga kemenangan elit dong", dan ada pula yang kecewa dengan mengatakan, "Kongres kali ini menjadi awal tragedi, bahwa untuk memimpin HMI bukanlah kapasitas yang diperlukan, tapi cukup uang dan dukungan elit".
Legitimasi Kongres ke 27 itupun menjadi legitimasi pengukuhan bahwa uang sebagai pemenangnya. Masalah intelektual yang bertebaran di media massa atau di beberapa buku tak menjadi prasyarat memimpin organisasi yang pernah melahirkan tokoh sekaliber Cak Nur ini. HMI telah menjadi semacam partai politik yang mengajarkan diaspora money politic dalam merengkuh kekuasaan di dalamnya. Ia pun kian jauh dari harapan sebagai Laboratorium Intelektual.
Jika proses demokratisasinya adalah uang, maka pemimpinnya pun juga uang. Hal ini seperti diungkapkan Ilmuwan Politik dan Teori Komunikasi Amerika, Harold D Laswell, "Aku memilih anda bukan karena anda hebat dan layak jadi pemimpin, tetapi karena anda membeli suaraku."
Laswell seperti hendak menegaskan bahwa kapasitas seorang pemimpin bisa hilang hanya gara-gara uang. Sebab, kontestan yang memilihnya tidak lagi memilih karena logika kepantasan, tetapi lebih pada logika uang. Dengan begitu, logika uang ini menerobos pintu-pintu idealisme dan karakter kepemimpinan.
Kalau semua yang berbicara berujung pada uang, maka ujung jawabannya pun, tak bisa dipungkiri, pastilah uang. Maka, jika ini benar, bagaimanakah nasib HMI di masa yang akan datang. Masihkah HMI menjadi tempat menempa dan berkader, sementara kapasitas intelektual sudah tak laku lagi di dalamnya? Atau, jangan-jangan HMI ada, namun seperti tiada (wujuuduhu ka adamihi)? Wallahu a'lam.
Taman Pramuka, Bandung, 29 Nopember 2010
Pukul 23.27 WIB
Thursday, November 25, 2010
Inkonsistensi yang Mengelabui
Oleh Moh Ilyas
Pertemuan, diskusi, dan perdebatanku dengan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rahmat) kemarin malam membuatku berpikir lagi tentang sikap dan kemauanku. Aku makin ingin memelajari sikap inkonsisten yang kerap mengelabui hidupku. Bagaimana tidak, aku yang sudah sejak lama bermimpi berkelana secara intelektual berhadap-hadapan dengan seorang yang sudah jauh melangkah dalam perkelanaan pemikiran dan intelektual seperti Kang Jalal.
Sesampainya di rumahnya, Jln Kampus II, yang tak jauh dari Kiara Condong, Bandung, perasaanku dihantui rasa takut. Takut akan perbedaan pemikiran antara aku dan dia. Aku, kata orang-orang, dekat ke Muhammadiyah dan NU, sementara dia dekat dengan Syiah, sebuah aliran yang 'fanatik' dalam memuliakan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah, seperti Ali RA dan Fatimah Az-Zahra).
Ku tatap setiap sudut rumahnya, ku tatap kalimat-kalimat al-Qur'an yang terpampang dalam bantuk lukisan di dinding. Di sampingnya, sebuah lukisan Asmaul Husna dengan warna keemas-emasan. Di sisi lainnya, tumpukan buku dan kitab teratur di sebuah rak buku. Sebuah pemandangan yang justru memancing ketertarikan hasrat intelektualku. "Dia betul-betul serius berkarir di dunia pemikiran," gumamku. "Untuk pintar, harus punya buku sebanyak ini," kembali hatiku ‘digugat’ dengan tanya-tanya seputar intelektualisme.
Namun, pikiranku kian berkecamuk dengan perihal pendirian. Aku seolah didakwa oleh hatiku sendiri. "Kenapa kau tak serius menekuni bidang ini", "Kenapa kau seringkali gonta-ganti arah hidupmu", "Bukankah kau pernah berpikir untuk menjadi salah satu pemikir muslim?" Berpuluh-puluh pertanyaan menggoda pikiranku, saat ku sedang asyik menunggu kehadiran Kang Jalal.
Aku bertanya-tanya, apakah kondisi ini disebabkan karena aku memang tak berpendirian atau karena hidupku terlanjur ku pasrahkan pada alam?
Aku tak tahu secara pasti bagaimana menjawabnya. Namun, menurutku, sikap inkonsistensi, terutama dalam menancapkan orientasi sangat perlu dihindari. Dengan kata lain, sudah saatnya aku menghibahkan segenap pikiranku secara fokus pada hal-hal terhormat untuk ku jalani. Apakah itu karir intelektual, karir politik, atau menjadi usahawan yang sukses? Semuanya sama-sama baik, jika dijalani secara lurus.
Setidaknya, aku harus pasti menemukan apa yang sungguh berarti dalam hidupku. Sok intelektual wae... Tak perlu aku ingat-ingat perkataan Kang Jalal, "Aku tidak berjalan di politik, sehingga jaringanku tak sekuat dia," ujarnya saat aku bercerita tentang KH Muchtar Adam, salah seorang sahabatnya, yang kini sedang menggerakkan perpaduan sains dan Al-Qur'an di PP Babussalam, Dago Atas, Cimenyan, Bandung.
Sepertinya aku masih sedang dikelabui sikap inkonsistensi. Aku harus merubah semua ini? Aku tidak boleh diam dan pasrah menerimanya sebagai sebuah 'kutukan' takdir yang mengaturku, "Akulah yang mesti mengatur takdir dan jalan hidupku. Tuhan, ku mohon, restu-Mu menyertaiku."
Martadinata, 126, Bandung, 25/11/2010
Pukul 21.26 WIB
Pertemuan, diskusi, dan perdebatanku dengan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rahmat) kemarin malam membuatku berpikir lagi tentang sikap dan kemauanku. Aku makin ingin memelajari sikap inkonsisten yang kerap mengelabui hidupku. Bagaimana tidak, aku yang sudah sejak lama bermimpi berkelana secara intelektual berhadap-hadapan dengan seorang yang sudah jauh melangkah dalam perkelanaan pemikiran dan intelektual seperti Kang Jalal.
Sesampainya di rumahnya, Jln Kampus II, yang tak jauh dari Kiara Condong, Bandung, perasaanku dihantui rasa takut. Takut akan perbedaan pemikiran antara aku dan dia. Aku, kata orang-orang, dekat ke Muhammadiyah dan NU, sementara dia dekat dengan Syiah, sebuah aliran yang 'fanatik' dalam memuliakan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah, seperti Ali RA dan Fatimah Az-Zahra).
Ku tatap setiap sudut rumahnya, ku tatap kalimat-kalimat al-Qur'an yang terpampang dalam bantuk lukisan di dinding. Di sampingnya, sebuah lukisan Asmaul Husna dengan warna keemas-emasan. Di sisi lainnya, tumpukan buku dan kitab teratur di sebuah rak buku. Sebuah pemandangan yang justru memancing ketertarikan hasrat intelektualku. "Dia betul-betul serius berkarir di dunia pemikiran," gumamku. "Untuk pintar, harus punya buku sebanyak ini," kembali hatiku ‘digugat’ dengan tanya-tanya seputar intelektualisme.
Namun, pikiranku kian berkecamuk dengan perihal pendirian. Aku seolah didakwa oleh hatiku sendiri. "Kenapa kau tak serius menekuni bidang ini", "Kenapa kau seringkali gonta-ganti arah hidupmu", "Bukankah kau pernah berpikir untuk menjadi salah satu pemikir muslim?" Berpuluh-puluh pertanyaan menggoda pikiranku, saat ku sedang asyik menunggu kehadiran Kang Jalal.
Aku bertanya-tanya, apakah kondisi ini disebabkan karena aku memang tak berpendirian atau karena hidupku terlanjur ku pasrahkan pada alam?
Aku tak tahu secara pasti bagaimana menjawabnya. Namun, menurutku, sikap inkonsistensi, terutama dalam menancapkan orientasi sangat perlu dihindari. Dengan kata lain, sudah saatnya aku menghibahkan segenap pikiranku secara fokus pada hal-hal terhormat untuk ku jalani. Apakah itu karir intelektual, karir politik, atau menjadi usahawan yang sukses? Semuanya sama-sama baik, jika dijalani secara lurus.
Setidaknya, aku harus pasti menemukan apa yang sungguh berarti dalam hidupku. Sok intelektual wae... Tak perlu aku ingat-ingat perkataan Kang Jalal, "Aku tidak berjalan di politik, sehingga jaringanku tak sekuat dia," ujarnya saat aku bercerita tentang KH Muchtar Adam, salah seorang sahabatnya, yang kini sedang menggerakkan perpaduan sains dan Al-Qur'an di PP Babussalam, Dago Atas, Cimenyan, Bandung.
Sepertinya aku masih sedang dikelabui sikap inkonsistensi. Aku harus merubah semua ini? Aku tidak boleh diam dan pasrah menerimanya sebagai sebuah 'kutukan' takdir yang mengaturku, "Akulah yang mesti mengatur takdir dan jalan hidupku. Tuhan, ku mohon, restu-Mu menyertaiku."
Martadinata, 126, Bandung, 25/11/2010
Pukul 21.26 WIB
Tuesday, November 23, 2010
Berat Versus Kaya
Oleh Moh Ilyas
Sekitar jam 01.00 dini hari, salah satu rekan media pada bagian sirkulasi mengeluh. Suaranya melemah, rendah, tak seperti biasanya yang selalu tegar penuh semangat dan terkadang bernada gurau. Saat itu ia mengatakan, "Ah, kerjaannku sekarang makin berat karena harus menambah satu wilayah."
Mendengar perkataan itu, spontan aku menanggapinya, "Berarti oplah koran bertambah?", "Ya, tapi ya berat," jawabnya menimpali. Secara semi gurau disertai tawa, aku kembali menanggapi, "Ternyata berat dan kaya itu berdampingan ya?". "Berarti kalau aku ingin kaya, aku tidak boleh hanya jadi wartawan, sebab kerjanya santai. Aku harus jadi Pemred," aku melanjutkan gumamku.
Namun, jawabanku itu seolah tak mampu memancing semangatnya. Bahkan kali ini, ia semakin melemah. "Apa karena keluhannya tak aku tanggapi positif," muncul rasa was-was dalam pikiranku.
Selang beberapa menit, sembari kulangkahkan kaki ke kamar kecil, aku berpikir bahwa apa yang kukatakan dalam dialog tadi tidaklah salah. Mungkin hanya karena persepsi yang berbeda saja tentang teks diskusi itu.
Menurutku, hidup memang penuh keseimbangan. Semakin tinggi tingkat usaha kita, semakin besar pula hasil yang akan kita dapat. Ini bersesuaian dengan firman Tuhan dalam Kitab-Nya Surat Al-Qaariah, "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahuu. Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahuu."
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia dengan balasan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, sekecil apapun usaha kita, akan ada artinya. Ini juga sepadan dengan salah satu maqaalah atau kaidah fiqhiyah, "Maa katsura fi'lan, katsura fadhlan (Sesuatu yang pekerjaannya banyak, maka keutamaannya juga banyak)".
Dua landasan ini menegaskan sebuah ajaran kepada kita bahwa kekayaan memang mesti ditempuh dengan usaha yang lebih berat. Walaupun makna berat di sini berbeda-beda pemahamannya. Bagi kalangan top position di perusahaan besar, mungkin pekerjaan beratnya hanya berpikir bagaimana menumbuh kembangkan perusahaannya. Bagi pemilik dan investor media, ia selalu berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan rating medianya.
Bahkan, cara instan pun untuk cepat kaya, seperti melakukan korupsi dan nepotisme sebenarnya juga pekerjaan berat. Mereka memang terlihat tidak bekerja berat dan melelahkan. Hanya mungkin dengan telepon sana-sini, lobi khusus, atau negosiasi, mereka sudah bisa mengantongi miliaran uang bahkan triliunan uang.
Namun, jangan katakan mereka sedang bekerja ringan. Mereka memang tak seperti petani, pengamen, dan kuli bangunan yang bekerja dengan otot. Tapi mereka sedang mempertaruhkan harga dirinya, bahkan keluarganya. Ini jauh lebih berat dibanding sekadar otot.
Oleh karenanya, untuk menjadi kaya tanpa melakukan sesuatu yang berat, terasa hampir mustahil. Tentu ini hanyalah tesis biasa yang bisa mentah dengan adanya miracle Tuhan.
Jln RE Martadinata 126, Bandung, 24 Nopember 2010
Pukul 01.41 WIB
Sekitar jam 01.00 dini hari, salah satu rekan media pada bagian sirkulasi mengeluh. Suaranya melemah, rendah, tak seperti biasanya yang selalu tegar penuh semangat dan terkadang bernada gurau. Saat itu ia mengatakan, "Ah, kerjaannku sekarang makin berat karena harus menambah satu wilayah."
Mendengar perkataan itu, spontan aku menanggapinya, "Berarti oplah koran bertambah?", "Ya, tapi ya berat," jawabnya menimpali. Secara semi gurau disertai tawa, aku kembali menanggapi, "Ternyata berat dan kaya itu berdampingan ya?". "Berarti kalau aku ingin kaya, aku tidak boleh hanya jadi wartawan, sebab kerjanya santai. Aku harus jadi Pemred," aku melanjutkan gumamku.
Namun, jawabanku itu seolah tak mampu memancing semangatnya. Bahkan kali ini, ia semakin melemah. "Apa karena keluhannya tak aku tanggapi positif," muncul rasa was-was dalam pikiranku.
Selang beberapa menit, sembari kulangkahkan kaki ke kamar kecil, aku berpikir bahwa apa yang kukatakan dalam dialog tadi tidaklah salah. Mungkin hanya karena persepsi yang berbeda saja tentang teks diskusi itu.
Menurutku, hidup memang penuh keseimbangan. Semakin tinggi tingkat usaha kita, semakin besar pula hasil yang akan kita dapat. Ini bersesuaian dengan firman Tuhan dalam Kitab-Nya Surat Al-Qaariah, "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahuu. Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahuu."
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia dengan balasan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, sekecil apapun usaha kita, akan ada artinya. Ini juga sepadan dengan salah satu maqaalah atau kaidah fiqhiyah, "Maa katsura fi'lan, katsura fadhlan (Sesuatu yang pekerjaannya banyak, maka keutamaannya juga banyak)".
Dua landasan ini menegaskan sebuah ajaran kepada kita bahwa kekayaan memang mesti ditempuh dengan usaha yang lebih berat. Walaupun makna berat di sini berbeda-beda pemahamannya. Bagi kalangan top position di perusahaan besar, mungkin pekerjaan beratnya hanya berpikir bagaimana menumbuh kembangkan perusahaannya. Bagi pemilik dan investor media, ia selalu berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan rating medianya.
Bahkan, cara instan pun untuk cepat kaya, seperti melakukan korupsi dan nepotisme sebenarnya juga pekerjaan berat. Mereka memang terlihat tidak bekerja berat dan melelahkan. Hanya mungkin dengan telepon sana-sini, lobi khusus, atau negosiasi, mereka sudah bisa mengantongi miliaran uang bahkan triliunan uang.
Namun, jangan katakan mereka sedang bekerja ringan. Mereka memang tak seperti petani, pengamen, dan kuli bangunan yang bekerja dengan otot. Tapi mereka sedang mempertaruhkan harga dirinya, bahkan keluarganya. Ini jauh lebih berat dibanding sekadar otot.
Oleh karenanya, untuk menjadi kaya tanpa melakukan sesuatu yang berat, terasa hampir mustahil. Tentu ini hanyalah tesis biasa yang bisa mentah dengan adanya miracle Tuhan.
Jln RE Martadinata 126, Bandung, 24 Nopember 2010
Pukul 01.41 WIB
Sunday, November 21, 2010
Membaca yang tak Terbaca
Oleh Moh. Ilyas
Maksud dari judul ini barangkali menggelitik sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi, jangan salah persepsi dan punya anggapan bahwa penulis sedang bermain-main dengan judul ini. Penulis sama sekali tidak sedang dalam posisi demikian. Penulis hanya ingin belajar membaca sesuatu yang tak terbaca.
Dalam beberapa literatur teologi (Kitab Tauhid) dijelaskan bahwa setiap benda (jirm) memiliki tempat. Ia bisa bergerak ke manapun ia suka, baik karena kekuatan dari dalam dirinya maupun dari luar. Ia juga bisa dibaca, dimengerti, bahkan dipahami. Dengan begitu, ia pasti memiliki nama, walaupun nama itu baru muncul setelah beberapa orang menciptakannya sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah mobil. Di masa Nabi, barangkali kendaraan jenis ini belumlah ada, sehingga nama “Mobil” saat itu tidak dikonotasikan sebagai kendaraan yang kita pahami hari ini. Saat itu untuk merujuk kendaraan, digunakanlah sebutan keledai, unta, dan sebagainya.
Bagaimana dengan hal-hal ghaib? Masihkah ia bisa dibaca, sementara kita tidak pernah melihat apalagi memahaminya. Ia memang memiliki nama, tapi laksana tak bernama, sebab kita tak pernah tahu kebenarannya secara aqli dan rasionalitas empirik. Kita mungkin bisa membacanya secara naluri dan insting, tetapi ia pun takkan pernah terbaca. Wal-hasil, sesuatu yang kita anggap “aksi membaca”, sebenarnya hanyalah tindakan memrediksi.
Untuk sekadar menyebut contoh seperti Iblis, Hari Akhirat, Malaikat, mati, dan bahkan Tuhan. Semua ini memiliki nama, namun tak pernah terbaca. Jika kita membaca tentang kematian, dengan tetek bengek gambaran-gambarannya, bacaan itu hanya menjadi prediksi – kalau bukan imajinasi. Membaca sesuatu yang tak pernah kita jumpai mengantarkan pemahaman kita akan relativisme berpikir. Bisa saja, apa yang tergambar dalam benak kita benar, bisa pula tidak.
Begitu pun dengan Tuhan. Jika kita muslim, Tuhan kita disebut Allah, walaupun nama “Allah” sendiri masih kontroversial antara yang menyebutnya sebagai nama dan sebagai zat. Kalaupun ia nama, apakah kemudian kita bisa membacanya. Membaca Allah, seperti tidak membaca apa-apa. Sebab, Allah memang takkan pernah terbaca. Jika ia terbaca, sudah barang tentu ia bukanlah Allah. Jadi jika kita mengaku mengenalnya, maka sebenarnya kita sedang berbohong dengan pengakuan itu, sebab, yang mengenal Allah, hanyalah Allah sendiri. Prinsip ini juga pernah dikemukakan seorang sufi dan teolog Ibn al-Araby.
Namun yang pasti, setiap sesuatu selain Allah disebut makhluk. Setiap makhluk disebut alam. Setiap alam memiliki posisi dan tempat sendiri-sendiri. Meskipun begitu, tak semua makhluk itu terbaca.
Lantas bagaimana kita memahaminya? Bacalah sebagaimana Tuhan memerintahkanmu. Lalu bagaimana cara membacanya? Gunakanlah ilmu pengetahuan, sebab hanya itulah yang bisa memerdekakan manusia dan mengubah khayalan-khayalan akan sesuatu yang dipikirkan manusia. Kendatipun demikian, hasil akhir ilmu pengetahuan, belum tentu hasilnya kebenaran dari hasil bacaan, karena bacaan yang sebenarnya terjadi, jika kita segenap panca indra, hati, dan sanubari menyatu untuk mengenalnya. Wallahua’lam bisshawab.
Kantor Republika Biro Jabar,
Jln RE Martadinata 126, Bandung,
15 Dzulhijjah 1431 H/21 Nopember 2010 M
Pukul 22.29 WIB
Maksud dari judul ini barangkali menggelitik sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi, jangan salah persepsi dan punya anggapan bahwa penulis sedang bermain-main dengan judul ini. Penulis sama sekali tidak sedang dalam posisi demikian. Penulis hanya ingin belajar membaca sesuatu yang tak terbaca.
Dalam beberapa literatur teologi (Kitab Tauhid) dijelaskan bahwa setiap benda (jirm) memiliki tempat. Ia bisa bergerak ke manapun ia suka, baik karena kekuatan dari dalam dirinya maupun dari luar. Ia juga bisa dibaca, dimengerti, bahkan dipahami. Dengan begitu, ia pasti memiliki nama, walaupun nama itu baru muncul setelah beberapa orang menciptakannya sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah mobil. Di masa Nabi, barangkali kendaraan jenis ini belumlah ada, sehingga nama “Mobil” saat itu tidak dikonotasikan sebagai kendaraan yang kita pahami hari ini. Saat itu untuk merujuk kendaraan, digunakanlah sebutan keledai, unta, dan sebagainya.
Bagaimana dengan hal-hal ghaib? Masihkah ia bisa dibaca, sementara kita tidak pernah melihat apalagi memahaminya. Ia memang memiliki nama, tapi laksana tak bernama, sebab kita tak pernah tahu kebenarannya secara aqli dan rasionalitas empirik. Kita mungkin bisa membacanya secara naluri dan insting, tetapi ia pun takkan pernah terbaca. Wal-hasil, sesuatu yang kita anggap “aksi membaca”, sebenarnya hanyalah tindakan memrediksi.
Untuk sekadar menyebut contoh seperti Iblis, Hari Akhirat, Malaikat, mati, dan bahkan Tuhan. Semua ini memiliki nama, namun tak pernah terbaca. Jika kita membaca tentang kematian, dengan tetek bengek gambaran-gambarannya, bacaan itu hanya menjadi prediksi – kalau bukan imajinasi. Membaca sesuatu yang tak pernah kita jumpai mengantarkan pemahaman kita akan relativisme berpikir. Bisa saja, apa yang tergambar dalam benak kita benar, bisa pula tidak.
Begitu pun dengan Tuhan. Jika kita muslim, Tuhan kita disebut Allah, walaupun nama “Allah” sendiri masih kontroversial antara yang menyebutnya sebagai nama dan sebagai zat. Kalaupun ia nama, apakah kemudian kita bisa membacanya. Membaca Allah, seperti tidak membaca apa-apa. Sebab, Allah memang takkan pernah terbaca. Jika ia terbaca, sudah barang tentu ia bukanlah Allah. Jadi jika kita mengaku mengenalnya, maka sebenarnya kita sedang berbohong dengan pengakuan itu, sebab, yang mengenal Allah, hanyalah Allah sendiri. Prinsip ini juga pernah dikemukakan seorang sufi dan teolog Ibn al-Araby.
Namun yang pasti, setiap sesuatu selain Allah disebut makhluk. Setiap makhluk disebut alam. Setiap alam memiliki posisi dan tempat sendiri-sendiri. Meskipun begitu, tak semua makhluk itu terbaca.
Lantas bagaimana kita memahaminya? Bacalah sebagaimana Tuhan memerintahkanmu. Lalu bagaimana cara membacanya? Gunakanlah ilmu pengetahuan, sebab hanya itulah yang bisa memerdekakan manusia dan mengubah khayalan-khayalan akan sesuatu yang dipikirkan manusia. Kendatipun demikian, hasil akhir ilmu pengetahuan, belum tentu hasilnya kebenaran dari hasil bacaan, karena bacaan yang sebenarnya terjadi, jika kita segenap panca indra, hati, dan sanubari menyatu untuk mengenalnya. Wallahua’lam bisshawab.
Kantor Republika Biro Jabar,
Jln RE Martadinata 126, Bandung,
15 Dzulhijjah 1431 H/21 Nopember 2010 M
Pukul 22.29 WIB
Pertaruhan HMI di Abad Informasi
Oleh: Moh. Ilyas*
Abad 21, abad penentuan. Begitulah kiranya kita memaknai abad ini. Dikatakan penentuan, karena fenomena-fenomena hidup yang sebelumnya 'asing dan tabu', saat ini dua kata itu nyaris hilang total. Tak ada lagi bahasa tabu. Ya, inilah abad keterbukaan itu.
Selain itu disebut penentuan, karena individu-individu yang ada di jagad ini seolah sudah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan informasi. Semua masyarakat yang bercokol sudah melek informasi, sehingga mindset mereka pun menjadi information oriented.
Inilah era yang menandai lahirnya global village (desa global) yang kemudian mengantarkan istilah globalisasi. Era global ini adalah proses masuknya sebuah negara ke ruang lingkup dunia, sehingga sekat-sekat atau tapal batas antar negara akan semakin kabur. Di sinilah asal muassal era kemajuan informasi itu.
Kemajuan teknologi informasi ini ibarat ledakan bom yang siap meluluhlantakkan peradaban manusia dan mengarahkannya atau meminjam bahasa Collin Cherry, seorang ilmuwan kognitif Inggris (1914–1979) dengan istilah explosion (letusan). Istilah ini muncul karena kuatnya pengaruh informasi terhadap pembentukan dan perubahan karakter manusia.
Menurutnya, di antara dampaknya adalah semakin tingginya peradaban atau justru hancurnya peradaban. Ia juga menandai lahirnya masyarakat modern sebagai dampak industrialisasi dan teknologisasi yang merupakan masyarakat dengan struktur kehidupan yang dinamis-kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Tak ketinggalan juga HMI. Organisasi mahasiswa di usianya yang ke 63 tahun ini terbawa juga oleh derasnya informasi. Hal ini tidak lepas dari kian canggihnya komunikasi sebagai bagian dari dampak kuatnya informasi itu sendiri.
Dengan kata lain, HMI sebagai social sphere (ruang sosial) tidak mungkin memisahkan diri dari sosialnya. Bagi HMI, lepas dari nilai-nilai sosial adalah suatu kemuspraan yang justu menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali di sinilah relevansi pandangan seorang pakar komunikasi, B. Aubrey Fisher yang mengatakan, "Tidak ada persoalan sosial yang tidak melibatkan komunikasi."
Dari sini pula kemudian terlukiskan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang ubiquitous atau serba hadir. Artinya, di wilayah sosial manapun komunikasi senantiasa diperlukan, termasuk juga di HMI.
Pertaruhan HMI
Tentu saja keterlibatan HMI melalui diskursus komunikasi dan informasi dalam konteks sosialnya ini bukan tanpa beban. Di pundaknya terdapat ribuan beban yang mesti dipikul. Itu semua, jika organisasi besutan Lafran Pane ini tidak ingin tenggelam dalam lautan ketidakpastian, bahkan kebinasaan.
Beban-beban itu merupakan konsekuensi logis dari kian melejitnya teknologi informasi. Untuk sekadar menyebut contoh dari beban itu ialah beban sejarah. HMI tak bisa lepas dari dinamika sejarah yang dilaluinya. Sejarah itu, tentu akan menjadi beban bagi HMI hari ini, jika tak dapat melampaui sejarahnya sendiri. Artinya, tempo dulu, saat HMI baru didirikan atau saat menginjak masa remaja pada tahun 60 sampai 80-an, ia mampu menemukan sekaligus menciptakan masa kejayaannya.
Saat itu, HMI lahir sebagai punggawa besar yang mengawal bangsa ini, mulai dari hantaman kolonial Belanda hingga turut berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan bisa dikatakan, jargon 'Islam Yes, Partai Islam No' yang dikemukakan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid sebagai tokoh HMI) juga mendesakralisasi agama yang sering dicampuradukkan dengan partai politik. Dalam konteks ini, ia sepertinya ingin menghilangkan politisasi agama.
Tak ayal, kala itu kejayaan HMI cenderung lahir dari pemikiran - yang jauh dari kemajuan teknologi. Belum ada yang namanya facebook, twitter, friendster, dan bahkan portal-portal berita online di negeri ini. Tetapi, mengapa justru kejayaan bisa digapai jauh lebih besar dibanding hari ini?
Padahal jika dibandingkan, kekayaan informasi yang begitu dahsyat, khazanah pengetahuan, dan hasil-hasil risat dunia saat ini terhampar luas di dunia maya. Tak perlu kita ke USA untuk menyaksikan aktivitas Presiden Obama pada saat berlangsung. Tak perlu juga kita ke Iran untuk mengetahui pidato-pidato perlawanan dan keberanian Ahmadinejad dalam mengemukakan perlawanan terhadap Barat pada saat yang bersamaan.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan adanya teknologi informasi. Menolak ataupun menggugatnya juga sudah bukan pilihan yang tepat dan tak ada artinya dilakukan. Mungkin lebih tepat kita mengikuti pepatah Cina, "Lebih baik menyalakan satu lilin dari pada mengutuk kegelapan."
Alternatif yang bisa ditempuh HMI bukanlah melawan arus teknologi informasi. Tetapi, kita bisa memanfaatkannya sebagai new power (kekuatan baru) untuk me-redesign kejayaan HMI. Dan, sebenarnya untuk menciptakan power, teknologi informasi inilah tempatnya.
Tidak salah jika kemudian Ziauddin Sardar, menegaskan bahwa informasi merupakan kekuasaan. Tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masyarakat yang terbelakang serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.
Jika pertanyaan yang kita ajukan, mengapa di era yang sudah serba canggih ini justru HMI seperti kalut dalam kejumudan? atau pertanyaan lainnya, mengapa HMI tak dapat melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali, Azzumardi Azyra, dan Amien Rais dalam bidang pemikiran Islam saat ini? Apakah saat ini wacana intelektualisme sudah tidak lagi menarik di kalangan kader? Apakah kecanggihan informasi saat ini justru menjungkir-balikkan kader HMI itu sendiri?
Inilah kondisi yang mestinya dikaji dan dijawab dalam rumpun komunitas Hijau-Hitam saat ini. Tampaknya ada yang salah dengan cara kader HMI menyambut dan bersosialisasi dengan kemajuan itu.
HMI bisa dikatakan terjebak pada romantisme dan budaya instan yang diusung kemajuan teknologi. Akibatnya, Intellectual Sphere (ruang intelektual), yang tempo dulu hidup di HMI, hari ini sudah sangat jarang didapat. Saat ini sulit ditemukan model-model forum diskusi seperti 'limited Groupnya' Ahmad Wahib, Johan Effendi, dan Dawam Raharjo, atau 'KKA'-nya Cak Nur di Paramadina.
Hari ini forum diskusi itu sudah beralih ke dunia maya, berganti dengan bahasa chatting. Keuletan membaca, mengkaji, dan meneliti telah tergantikan oleh fenomena chatting, browsing, dan downloading. Ghirah inteletual pun memudar dengan sendirinya.
Tempo dulu, untuk menghasilkan karya penelitian diperlukan kajian yang mendalam dari kompilasi khazanah-khazanah ilmu pengetahuan. Tapi saat ini, sangat instan. Hanya dengan mengklik search engine di internet, kita sudah tinggal memilih dan mendownload-nya. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi HMI di abad melek informasi ini. Jika tidak, kejayaan HMI hanya akan menjadi sejarah yang layak dimuseumkan atau ia hanya akan menjadi menara gading yang takkan pernah tersentuh oleh kader-kader HMI itu sendiri.
* Penulis, Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
Abad 21, abad penentuan. Begitulah kiranya kita memaknai abad ini. Dikatakan penentuan, karena fenomena-fenomena hidup yang sebelumnya 'asing dan tabu', saat ini dua kata itu nyaris hilang total. Tak ada lagi bahasa tabu. Ya, inilah abad keterbukaan itu.
Selain itu disebut penentuan, karena individu-individu yang ada di jagad ini seolah sudah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan informasi. Semua masyarakat yang bercokol sudah melek informasi, sehingga mindset mereka pun menjadi information oriented.
Inilah era yang menandai lahirnya global village (desa global) yang kemudian mengantarkan istilah globalisasi. Era global ini adalah proses masuknya sebuah negara ke ruang lingkup dunia, sehingga sekat-sekat atau tapal batas antar negara akan semakin kabur. Di sinilah asal muassal era kemajuan informasi itu.
Kemajuan teknologi informasi ini ibarat ledakan bom yang siap meluluhlantakkan peradaban manusia dan mengarahkannya atau meminjam bahasa Collin Cherry, seorang ilmuwan kognitif Inggris (1914–1979) dengan istilah explosion (letusan). Istilah ini muncul karena kuatnya pengaruh informasi terhadap pembentukan dan perubahan karakter manusia.
Menurutnya, di antara dampaknya adalah semakin tingginya peradaban atau justru hancurnya peradaban. Ia juga menandai lahirnya masyarakat modern sebagai dampak industrialisasi dan teknologisasi yang merupakan masyarakat dengan struktur kehidupan yang dinamis-kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Tak ketinggalan juga HMI. Organisasi mahasiswa di usianya yang ke 63 tahun ini terbawa juga oleh derasnya informasi. Hal ini tidak lepas dari kian canggihnya komunikasi sebagai bagian dari dampak kuatnya informasi itu sendiri.
Dengan kata lain, HMI sebagai social sphere (ruang sosial) tidak mungkin memisahkan diri dari sosialnya. Bagi HMI, lepas dari nilai-nilai sosial adalah suatu kemuspraan yang justu menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali di sinilah relevansi pandangan seorang pakar komunikasi, B. Aubrey Fisher yang mengatakan, "Tidak ada persoalan sosial yang tidak melibatkan komunikasi."
Dari sini pula kemudian terlukiskan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang ubiquitous atau serba hadir. Artinya, di wilayah sosial manapun komunikasi senantiasa diperlukan, termasuk juga di HMI.
Pertaruhan HMI
Tentu saja keterlibatan HMI melalui diskursus komunikasi dan informasi dalam konteks sosialnya ini bukan tanpa beban. Di pundaknya terdapat ribuan beban yang mesti dipikul. Itu semua, jika organisasi besutan Lafran Pane ini tidak ingin tenggelam dalam lautan ketidakpastian, bahkan kebinasaan.
Beban-beban itu merupakan konsekuensi logis dari kian melejitnya teknologi informasi. Untuk sekadar menyebut contoh dari beban itu ialah beban sejarah. HMI tak bisa lepas dari dinamika sejarah yang dilaluinya. Sejarah itu, tentu akan menjadi beban bagi HMI hari ini, jika tak dapat melampaui sejarahnya sendiri. Artinya, tempo dulu, saat HMI baru didirikan atau saat menginjak masa remaja pada tahun 60 sampai 80-an, ia mampu menemukan sekaligus menciptakan masa kejayaannya.
Saat itu, HMI lahir sebagai punggawa besar yang mengawal bangsa ini, mulai dari hantaman kolonial Belanda hingga turut berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan bisa dikatakan, jargon 'Islam Yes, Partai Islam No' yang dikemukakan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid sebagai tokoh HMI) juga mendesakralisasi agama yang sering dicampuradukkan dengan partai politik. Dalam konteks ini, ia sepertinya ingin menghilangkan politisasi agama.
Tak ayal, kala itu kejayaan HMI cenderung lahir dari pemikiran - yang jauh dari kemajuan teknologi. Belum ada yang namanya facebook, twitter, friendster, dan bahkan portal-portal berita online di negeri ini. Tetapi, mengapa justru kejayaan bisa digapai jauh lebih besar dibanding hari ini?
Padahal jika dibandingkan, kekayaan informasi yang begitu dahsyat, khazanah pengetahuan, dan hasil-hasil risat dunia saat ini terhampar luas di dunia maya. Tak perlu kita ke USA untuk menyaksikan aktivitas Presiden Obama pada saat berlangsung. Tak perlu juga kita ke Iran untuk mengetahui pidato-pidato perlawanan dan keberanian Ahmadinejad dalam mengemukakan perlawanan terhadap Barat pada saat yang bersamaan.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan adanya teknologi informasi. Menolak ataupun menggugatnya juga sudah bukan pilihan yang tepat dan tak ada artinya dilakukan. Mungkin lebih tepat kita mengikuti pepatah Cina, "Lebih baik menyalakan satu lilin dari pada mengutuk kegelapan."
Alternatif yang bisa ditempuh HMI bukanlah melawan arus teknologi informasi. Tetapi, kita bisa memanfaatkannya sebagai new power (kekuatan baru) untuk me-redesign kejayaan HMI. Dan, sebenarnya untuk menciptakan power, teknologi informasi inilah tempatnya.
Tidak salah jika kemudian Ziauddin Sardar, menegaskan bahwa informasi merupakan kekuasaan. Tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masyarakat yang terbelakang serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.
Jika pertanyaan yang kita ajukan, mengapa di era yang sudah serba canggih ini justru HMI seperti kalut dalam kejumudan? atau pertanyaan lainnya, mengapa HMI tak dapat melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali, Azzumardi Azyra, dan Amien Rais dalam bidang pemikiran Islam saat ini? Apakah saat ini wacana intelektualisme sudah tidak lagi menarik di kalangan kader? Apakah kecanggihan informasi saat ini justru menjungkir-balikkan kader HMI itu sendiri?
Inilah kondisi yang mestinya dikaji dan dijawab dalam rumpun komunitas Hijau-Hitam saat ini. Tampaknya ada yang salah dengan cara kader HMI menyambut dan bersosialisasi dengan kemajuan itu.
HMI bisa dikatakan terjebak pada romantisme dan budaya instan yang diusung kemajuan teknologi. Akibatnya, Intellectual Sphere (ruang intelektual), yang tempo dulu hidup di HMI, hari ini sudah sangat jarang didapat. Saat ini sulit ditemukan model-model forum diskusi seperti 'limited Groupnya' Ahmad Wahib, Johan Effendi, dan Dawam Raharjo, atau 'KKA'-nya Cak Nur di Paramadina.
Hari ini forum diskusi itu sudah beralih ke dunia maya, berganti dengan bahasa chatting. Keuletan membaca, mengkaji, dan meneliti telah tergantikan oleh fenomena chatting, browsing, dan downloading. Ghirah inteletual pun memudar dengan sendirinya.
Tempo dulu, untuk menghasilkan karya penelitian diperlukan kajian yang mendalam dari kompilasi khazanah-khazanah ilmu pengetahuan. Tapi saat ini, sangat instan. Hanya dengan mengklik search engine di internet, kita sudah tinggal memilih dan mendownload-nya. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi HMI di abad melek informasi ini. Jika tidak, kejayaan HMI hanya akan menjadi sejarah yang layak dimuseumkan atau ia hanya akan menjadi menara gading yang takkan pernah tersentuh oleh kader-kader HMI itu sendiri.
* Penulis, Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
Subscribe to:
Posts (Atom)