Oleh: Moh. Ilyas
Di tengah krisis moral yang melanda, bangsa ini masih perlu bersyukur karena memiliki masyarakat yang tidak hanya berjiwa sosial, tetapi juga sangat religius. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah jemaah haji kita yang selalu meningkat dalam setiap tahunnya. Tentu situasi ini memberikan harapan besar bagi masyarakat kita untuk perbaikan Indonesia di masa yang akan datang.
Harapan perbaikan itu ada karena yang melakukannya tidak lagi terbatas pada orang-orang tertentu saja, seperti pejabat negara. Tetapi sudah hampir merata di kalangan masyarakat luas. Walaupun mungkin, pejabat negara lebih memilih melalui ONH Plus.
Meski demikian, harapan tersebut tidak serta merta langsung jadi. Ia akan terjadi manakala praktek haji yang dilaksanakan mampu menembus sekat-sekat sosial negeri ini. Artinya, ibadah haji tidak hanya menjadi sekedar “prosesi pulang-pergi Mekah-Indonesia,“ atau hanya ibadah, meminjam bahasa George Antonio (1965) dalam Muslim Civilization, yang hanya disikapi secara formal ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu membumikan pesan yang ada dalam tindakan haji ke dalam kehidupan sosial praksis. Dalam konteks ini yang dapat kita lihat adalah kesalehan sosial setelah melakukan ibadah tersebut.
Meluruskan Niat
Niat sejatinya perlu ditempatkan pada posisi yang paling utama dalam pelaksanaan haji, sebab, dari niat itulah nanti yang akan berpengaruh pada proses pelaksanaan haji nantinya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, maka bukan tidak mungkin seluruh aktifitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa, melainkan hanya tinggal kenangan lelah saja. Hal ini sudah barang tentu tidak pernah diharapkan oleh orang yang melakukan ibadah haji. Karenanya, meluruskan niat merupakan hal utama yang niscaya.
Selain itu, Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Di sinilah posisi niat akan terlihat. Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melainkan surga).
Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual di dalamnya yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.
Untuk Perbaikan Bangsa
Max Weber (1958) pernah mengatakan bahwa agamalah sebenarnya yang mempunyai andil dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.
Ini bukanlah semata-mata spekulasi Weber dalam melihat peran ritual-ritual keagamaan. Ia telah melihat bahwa dari ritual keagamaan itulah sebenarnya akan tercipta tindakan-tindakan yang penuh nilai. Di mana dari tindakan itulah kualitas kehidupan juga akan semakin tercipta. Begitupun dari ritual haji ini. Ratusan ribu jemaah haji asal Indonesia dalam setiap tahunnya tidak hanya diharapkan dapat melaksanakan haji belaka. Tetapi lebih dari itu, implementasi dari ritual haji yang mereka lakukan bisa diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya, pesan-pesan ritual-ritual ibadah haji seperti kejujuran, kesucian hati, amanah, wujud kesamaan di hadapan Allah yang menyebabkan semuanya bisa berdiri sejajar serta perwujudan kesalehan sosial dapat juga dibumikan di negeri ini. Barangkali dengan cara itulah bangsa ini akan bisa diselamatkan dari krisis-krisis moral yang sedang mendera, tidak ada lagi nantinya orang yang kebal hukum, karena dapat mempermainkan penegak-penegak hukum, pun juga tidak ada lagi ketidak-adilan, di mana yang mencuri hingga triliunan rupiah bebas melenggang, semantara yang hanya mencuri senilai dua ribu saja dijerat dalam bui. Wallahua’lam bi ash-shawab.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!