Oleh Moh Ilyas
“We are born to be our self, not other”
“Every thing I do is under my consideration”
Seperti biasa, malam pergantian tahun menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk merayakannya. Berbagai aneka hiburan disajikan secara meriah hampir di sudut-sudut kota, tak terkecuali Bandung sebagai kota yang kerap disebut 'Paris van Java'.
Di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat ini, malam tahun baru menjadi malam istimewa. Hampir semua remaja merayakannya dengan berbagai macam agenda, mulai dari hanya bersantai ria, bermain kembang api, dan meniup terompet, tak terkecuali pula anak-anak di usia dini yang masih tergolong bocah.
Tentu saja, kaum remaja - yang punya pasangan - memanfaatkannya dengan pasangan masing-masing. Mereka mencari titik-titik tertentu yang dianggap ideal sebagai tempat menghabiskan waktu menunggu malam pergantian tahun, misalnya seperti di Alun-Alun, Bandung Indah Plaza (BIP), Monumen Juang, Lembang, Tangkuban Perahu, dan tempat-tempat keramaian dan keindahan lainnya.
Ledakan kaum remaja, bahkan juga kaum tua yang ikut-ikutan, yang tumpah ruah, tak ayal membuat Bandung macet total. Misalnya di sepanjang Jalan Asia Afrika, Braga, Martadinata, Ahmad Yani, Sukajadi, Pasteur, Supratman, dan Setia Budi. "Hari-hari biasa saja sudah macet, apalagi sekarang," demikian ungkapan orang-orang Bandung kebanyakan.
Di Jakarta pun, pergantian tahun baru lebih tumpah lagi. Terlebih di titik-tempat wisata, seperti Ancol, Monas, Bundaran HI, dan Taman Mini. Bahkan, pengalaman saya malam akhir tahun 2009 lalu, untuk menempuh jarak sekitar dua kilometer di kawasan Kramat Jati menuju TMII, membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Semua kendaraan macet total, termasuk kendaraan roda dua, yang biasanya tak separah roda empat. Tapi saat itu, tak ada pengecualian, semuanya macet total. Seingat saya mulai dari fly over di Kalibata, depan Giant hingga Pasar Kramat Jati. Ternyata seorang teman saat itu yang kebetulan ke Monas dan Bundaran HI juga sama, macet total.
Nah, inilah dinamika tahun baru. Sebuah pergantian tahun yang identik dengan pesta ria, foya-foya, riang gembira, santai ria, hingga bermacet ria.
Lantas apa orientasi semua itu? Saya pikir jawabannya satu kata, kepuasan. Mereka melakukan semua itu hanya demi mencapai kepuasaan. Meski ia sangatlah sesaat, namun ia mampu menghipnotis jutaan umat manusia melakukannya.
Apakah itu adalah fenomena memburu kepuasan yang salah kaprah? Barangkali ya. Sebab, mereka melakukannya cenderung tidak berdasarkan pada asumsi individu yang tulus, tetapi pada asumsi ikut-ikutan. Dengan kata lain, mereka berlomba-lomba menunggu pergantian tahun itu karena terlena terhadap apa yang dilakukan orang lain.
Andaikata banyak individu tidak melakukannya, barangkali yang lain juga tidak seperti itu. Dengan begitu, saya mencoba secara ekstrim menegaskan bahwa tumpah ruah perayaan malam tahun baru ini hanyalah sekadar ikut-ikutan belaka. Ini artinya, masih terlalu banyak orang yang tidak memiliki kemerdekaan individu. Mereka melakukan, karena orang lain juga melakukannya.
Walaupun saya pribadi ingin mengungkapkan bahwa ‘taklid’ semacam itu tidak selamanya buruk. Hanya saja, kemerdekaan individu yang selalu melandasi tindakannya dengan pertimbangan individu secara matang akan jauh lebih berharga daripada hanya terlena terhadap lingkungannya.
Maribaya, Lembang,
Bandung, 31/12/2010
Pukul 22.59 WIB
Friday, December 31, 2010
Noda-noda Demokrasi
Moh Ilyas
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terkaget-kaget. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap bagian demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun ini saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke MK. Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan ranjau tersendiri dalam catatan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Betapa tidak, pemilukada yang diorientasikan dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses perjalanannya. Akibatnya, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Andai coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemilihan yang dilakukan secara langsung, namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi di Indonesia.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Padahal, kalau kita kembali menengok dari jendela tentang demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi.
Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi di Indonesia. Sehingga pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, dan Kota Manado.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
Lembang Bandung, 31/12/2010
Pukul 20.40 WIB
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terkaget-kaget. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap bagian demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun ini saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke MK. Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan ranjau tersendiri dalam catatan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Betapa tidak, pemilukada yang diorientasikan dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses perjalanannya. Akibatnya, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Andai coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemilihan yang dilakukan secara langsung, namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi di Indonesia.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Padahal, kalau kita kembali menengok dari jendela tentang demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi.
Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi di Indonesia. Sehingga pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, dan Kota Manado.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
Lembang Bandung, 31/12/2010
Pukul 20.40 WIB
Tekad Hidup
(Refleksi Perjalanan Kp Melayu-Kp Rambutan)
Mobil-mobil angkot itu menumpuk di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tak kurang dari 100 angkot ngetem di tempat itu. Sementara para sopir tampak berebutan mengejar dan mencari penumpang.
Di Jalan Mayjen Sutoyo, sebelum Halte Busway BKN, sebuah mobil taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan, di traffic light (TL), mobil itu hendak memaksa berbelok, padahal lampu belokan masih berwarna merah. Akibatnya, busway yang saya tumpangi nyaris membentur kepala mobil itu.
Di depan Terminal Kramat Jati, beberapa wajah pedagang terlihat sedih. Tak ada satupun pembeli yang menghampiri dagangan yang mereka jajakan. Begitupun para pedagang di pertokoan sepanjang Jalan Raya Bogor. Mereka tampak menunggu pembeli yang nyaris tak terlihat satupun.
Wajah-wajah mereka sebenarnya bukanlah wajah tanpa harapan. Mata mereka berbinar, tanda bahwa harapan itu masih begitu tinggi. Tekad hidup mereka sepertinya menjadi lintasan semangat yang tak menyulutkan langkah-langkah mereka untuk melanjutkan hidup secara ideal.
Begitupula dengan sopir-sopir angkot dan taksi itu. Mereka sejatinya takut akan rasa lelah, apalagi marabahaya. Tetapi rasa takut itu seperti mereka hapus sendiri dari lembaran kehidupan mereka, sebab will to life (baca: tekad hidup) yang mereka miliki tak dapat membendung rasa takut itu.
Tidak hanya di tempat itu saja, di depan RS Harapan Bunda, Kramat Jati, beberapa orang tampak keluar masuk silih berganti. Sebagian mereka ada yang terlihat hanya mengantarkan kerabat dekat atau teman sejawatnya. Ada pula yang datang berobat sendiri ke RS tersebut.
Sementara hampir di sepanjang jalan antara Kampung Melayu-Kramat Jati, kendaraan roda dua selalu berebutan. Mereka seperti dalam kontes motor (road race) yang merebut posisi terdepan. Hampir tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Inilah gaya kompetisi di Ibu Kota.
Semua ini menjadi sesuatu yang menarik diamati, baik dengan cara pandang kehidupan Jakarta yang kompetitif maupun tingginya tekad hidup warga Ibu Kota. Sulit dipercaya, bahwa mereka melakukan semua itu hanya karena alasan yang tidak begitu berarti.
Saya menerjemahkan semua ini sebagai sikap ksatria mereka yang memiliki tekad hidup. Sikap pantang menyerah - seperti juga ditampilkan laga Final Timnas Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno tadi malam - ini, tampak jelas merona di wajah mereka.
Mereka memaknai masa depan sebagai alat untuk bergerak dan berikhtiar. Tanpa keinginan untuk hidup lebih baik, bahkan ideal, sudah pasti mereka tak akan melakukan semua ini. Mungkin dalam pikiran mereka tertanam petuah Nabi, 'Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya'. Sehingga semangat pantang menyerah itu sungguh luar biasa terjadi pada mereka.
Terminal Kp Rambutan, 30/12/2010
Pukul 10.35 WIB
Mobil-mobil angkot itu menumpuk di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tak kurang dari 100 angkot ngetem di tempat itu. Sementara para sopir tampak berebutan mengejar dan mencari penumpang.
Di Jalan Mayjen Sutoyo, sebelum Halte Busway BKN, sebuah mobil taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan, di traffic light (TL), mobil itu hendak memaksa berbelok, padahal lampu belokan masih berwarna merah. Akibatnya, busway yang saya tumpangi nyaris membentur kepala mobil itu.
Di depan Terminal Kramat Jati, beberapa wajah pedagang terlihat sedih. Tak ada satupun pembeli yang menghampiri dagangan yang mereka jajakan. Begitupun para pedagang di pertokoan sepanjang Jalan Raya Bogor. Mereka tampak menunggu pembeli yang nyaris tak terlihat satupun.
Wajah-wajah mereka sebenarnya bukanlah wajah tanpa harapan. Mata mereka berbinar, tanda bahwa harapan itu masih begitu tinggi. Tekad hidup mereka sepertinya menjadi lintasan semangat yang tak menyulutkan langkah-langkah mereka untuk melanjutkan hidup secara ideal.
Begitupula dengan sopir-sopir angkot dan taksi itu. Mereka sejatinya takut akan rasa lelah, apalagi marabahaya. Tetapi rasa takut itu seperti mereka hapus sendiri dari lembaran kehidupan mereka, sebab will to life (baca: tekad hidup) yang mereka miliki tak dapat membendung rasa takut itu.
Tidak hanya di tempat itu saja, di depan RS Harapan Bunda, Kramat Jati, beberapa orang tampak keluar masuk silih berganti. Sebagian mereka ada yang terlihat hanya mengantarkan kerabat dekat atau teman sejawatnya. Ada pula yang datang berobat sendiri ke RS tersebut.
Sementara hampir di sepanjang jalan antara Kampung Melayu-Kramat Jati, kendaraan roda dua selalu berebutan. Mereka seperti dalam kontes motor (road race) yang merebut posisi terdepan. Hampir tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Inilah gaya kompetisi di Ibu Kota.
Semua ini menjadi sesuatu yang menarik diamati, baik dengan cara pandang kehidupan Jakarta yang kompetitif maupun tingginya tekad hidup warga Ibu Kota. Sulit dipercaya, bahwa mereka melakukan semua itu hanya karena alasan yang tidak begitu berarti.
Saya menerjemahkan semua ini sebagai sikap ksatria mereka yang memiliki tekad hidup. Sikap pantang menyerah - seperti juga ditampilkan laga Final Timnas Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno tadi malam - ini, tampak jelas merona di wajah mereka.
Mereka memaknai masa depan sebagai alat untuk bergerak dan berikhtiar. Tanpa keinginan untuk hidup lebih baik, bahkan ideal, sudah pasti mereka tak akan melakukan semua ini. Mungkin dalam pikiran mereka tertanam petuah Nabi, 'Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya'. Sehingga semangat pantang menyerah itu sungguh luar biasa terjadi pada mereka.
Terminal Kp Rambutan, 30/12/2010
Pukul 10.35 WIB
Friday, December 24, 2010
Bola dan Nasionalisme
Oleh Moh Ilyas
Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli lalu, kini jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat itu. Mereka bergegap gempita menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan olahraga kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Bahkan mereka berani menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengantre demi mendapatkan selembar tiket masuk.
Bedanya, jika Piala Dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing negara kelas kakap dalam percaturan sepakbola sejagat, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia "satu suara" dan tidak alasan untuk pecah. Sebab tim yang berlaga atraktif dan memesona adalah kesebalasan Timnas Indonesia sendiri.
Dalam perhelatan semifinal Indonesia-Filipina Babak kedua misalnya, ribuan manusia berani mengantre mulai sekitar pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 di tempat pembelian tiket GBK. Tak hanya itu, di Terminal Bus Akap Kampung Rambutan, salah seorang penumpang bus Jakarta-Bandung memaksa turun dan menggagalkan tumpangannya demi menyaksikan laga Timnas. Alasannya karena di bus yang dia tumpangi tak tersedia televisi.
Ahad (26/12) ini, penggila bola Tanah Air akan kembali memfokuskan perhatiannya pada final AFF antara Indonesia-Malaysia. Meski babak pertama tak digelar di kandang sendiri, namun tentu saja hati masyarakat Indonesia akan 'dag dig dug' menunggunya. Bahkan sejak beberapa hari sebelum pertandingan.
Kondisi semacam itu tak rumit dijumpai. Misalnya, banyaknya masyarakat yang menyaksikan langsung latihan Timnas menjelang laga final. "Saat ini, latihan saja menarik ditonton orang-orang," kata salah seorang pemerhati bola. Belum lagi Talk Show, Diskusi, hingga Humor yang menampilkan tayangan bola, baik melalui pengamat, pelatih, maupun pemainnya secara langsung.
Bahkan simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu 'Garuda di Dadaku' membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia di semua usia bisa dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut sejak dalam babak penyisihan AFF. Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal.
Tidak Semata Gila Bola
Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.
Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalisme. Barangkali tidak sedikit orang yang - mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepakbola, tapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.
Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme kita. Kita tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaan kita diusik dan diganggu. Kita juga tidak ingin darah harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi 'direndahkan' bangsa lain.
Sepakbola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepakbola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan salah satu piranti membangun masa depan bangsa.
Sekadar imsal, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat pendduknya dan negara terbesar kelima setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat, sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluasa 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan itu? Tentu saja tidak.
Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepakbolaannya. Barangkali jika kita bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, 'Apa yang anda ketahui tentang Brazil?' Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, 'Brazil adalah negara hebat dalam sepakbola'.
Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna, sebagaimana kualitas sepakbola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu ditutupi dengan kualitas olahraga yang memiliki peminat terbesar itu.
Inilah fenomena sepakbola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan seterusnya juga bisa menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tak sehebat sepakbola.
Rasa nasionalisme masyarakat kita tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi, terutama ketika mengambil variabel sepakbola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari ke depan saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Kita menunggu Timnas juara.
Inkonsistensi Nasionalisme
Lagu-lagu simbol nasionalisme, seperti 'Garuda di Dadaku' boleh jadi menggema di semua sudut negeri ini. Tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan atau ungkapan melalui lisan, tetapi ia menyeruak masuk menjadi perasaan hati.
Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati kita, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak mungkin terjadi.
Sementara, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.
Wacana nasionalisme menjadi usang ketika kita memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).
Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum kita. Jika kita mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepakbola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan memberanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepakbola ini.
Terminal Leuwi Panjang,
IZI Learning Center Jln Ambon,
dan Taman Pramuka Bandung, 24/12/2010
Pukul 21.33 WIB
Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli lalu, kini jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat itu. Mereka bergegap gempita menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan olahraga kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Bahkan mereka berani menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengantre demi mendapatkan selembar tiket masuk.
Bedanya, jika Piala Dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing negara kelas kakap dalam percaturan sepakbola sejagat, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia "satu suara" dan tidak alasan untuk pecah. Sebab tim yang berlaga atraktif dan memesona adalah kesebalasan Timnas Indonesia sendiri.
Dalam perhelatan semifinal Indonesia-Filipina Babak kedua misalnya, ribuan manusia berani mengantre mulai sekitar pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 di tempat pembelian tiket GBK. Tak hanya itu, di Terminal Bus Akap Kampung Rambutan, salah seorang penumpang bus Jakarta-Bandung memaksa turun dan menggagalkan tumpangannya demi menyaksikan laga Timnas. Alasannya karena di bus yang dia tumpangi tak tersedia televisi.
Ahad (26/12) ini, penggila bola Tanah Air akan kembali memfokuskan perhatiannya pada final AFF antara Indonesia-Malaysia. Meski babak pertama tak digelar di kandang sendiri, namun tentu saja hati masyarakat Indonesia akan 'dag dig dug' menunggunya. Bahkan sejak beberapa hari sebelum pertandingan.
Kondisi semacam itu tak rumit dijumpai. Misalnya, banyaknya masyarakat yang menyaksikan langsung latihan Timnas menjelang laga final. "Saat ini, latihan saja menarik ditonton orang-orang," kata salah seorang pemerhati bola. Belum lagi Talk Show, Diskusi, hingga Humor yang menampilkan tayangan bola, baik melalui pengamat, pelatih, maupun pemainnya secara langsung.
Bahkan simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu 'Garuda di Dadaku' membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia di semua usia bisa dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut sejak dalam babak penyisihan AFF. Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal.
Tidak Semata Gila Bola
Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.
Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalisme. Barangkali tidak sedikit orang yang - mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepakbola, tapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.
Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme kita. Kita tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaan kita diusik dan diganggu. Kita juga tidak ingin darah harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi 'direndahkan' bangsa lain.
Sepakbola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepakbola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan salah satu piranti membangun masa depan bangsa.
Sekadar imsal, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat pendduknya dan negara terbesar kelima setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat, sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluasa 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan itu? Tentu saja tidak.
Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepakbolaannya. Barangkali jika kita bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, 'Apa yang anda ketahui tentang Brazil?' Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, 'Brazil adalah negara hebat dalam sepakbola'.
Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna, sebagaimana kualitas sepakbola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu ditutupi dengan kualitas olahraga yang memiliki peminat terbesar itu.
Inilah fenomena sepakbola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan seterusnya juga bisa menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tak sehebat sepakbola.
Rasa nasionalisme masyarakat kita tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi, terutama ketika mengambil variabel sepakbola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari ke depan saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Kita menunggu Timnas juara.
Inkonsistensi Nasionalisme
Lagu-lagu simbol nasionalisme, seperti 'Garuda di Dadaku' boleh jadi menggema di semua sudut negeri ini. Tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan atau ungkapan melalui lisan, tetapi ia menyeruak masuk menjadi perasaan hati.
Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati kita, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak mungkin terjadi.
Sementara, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.
Wacana nasionalisme menjadi usang ketika kita memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).
Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum kita. Jika kita mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepakbola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan memberanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepakbola ini.
Terminal Leuwi Panjang,
IZI Learning Center Jln Ambon,
dan Taman Pramuka Bandung, 24/12/2010
Pukul 21.33 WIB
Nonton Bareng
(Catatan Saat Piala Dunia)
Oleh Moh Ilyas
Hiruk pikuk Piala Dunia menggelegar dari sudut kota hingga pojok desa di alam jagat ini. Jutaan umat manusia di kolong langit ini berbondong-bondong datang ke tempat-tempat keramaian yang menggelar nonton bareng. Bahkan, di Indonesia meski dini hari, yakni pukul 01.30 WIB, para fans berani menghabiskan waktu untuk menyaksikan laga negara dukungannya hingga menjelang subuh sekalipun.
Aku pun tak ingin melewati ajang empat tahunan bergengsi tingkat dunia itu. Hampir setiap jam tayang, aku terus menonton, walaupun bukan negara yang aku dukung. Kebetulan aku sendiri mendukung Brazil dan Argentina. Pilihanku cukup beralasan, karena gaya goyangan Samba Brazil dan kelihaian Messi, sang striker asal negara 'Si Tangan Tuhan', Maradona itu.
Tapi malam ini, caraku menonton pertandingan lapangan hijau berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Malam ini, hanya untuk menonton pertandian final Spanyol versus Belanda, aku rela menempuh jarak puluhan kilometer ke Ciputat. Namun, langkahku itu bukan nekat atau tidak jelas, tetapi demi membangun kebersamaan komunitas, yakni sebagai alumnus Ponpes Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura.
Apalagi, nonton bareng tepatnya di Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat ini, juga dihadiri beberapa senior, yakni Anggota DPR RI, H Achmad Syafi'ie dan Ketua DPRD Pamekasan, Kholil Asy'ari. Kehadiran mereka telah menciptakan suasana kekeluargaan sesama pesantren semakin terasa.
Sebelumnya saat babak penyisihan grup, babak 16 besar hingga semifinal kemarin aku nonton di tempat-tempat berbeda, seperti di Warung Buncit 37, kantor tempatku bekerja sebagai Wartawan Republika, di camp Sekjen PB HMI Salemba, di Kafe Mocca, Jalan Jaksa, di kantor IJTI Bendungan Hilir, di Camp Steak Saharjo, di Season City Mall, di Cilandak Town Square (Citos), dan di Sekret Bakornas Lapmi, Saharjo Lontar, tempat aku tinggal.
Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat, 12/7/2010
Pukul 02.39 WIB
Oleh Moh Ilyas
Hiruk pikuk Piala Dunia menggelegar dari sudut kota hingga pojok desa di alam jagat ini. Jutaan umat manusia di kolong langit ini berbondong-bondong datang ke tempat-tempat keramaian yang menggelar nonton bareng. Bahkan, di Indonesia meski dini hari, yakni pukul 01.30 WIB, para fans berani menghabiskan waktu untuk menyaksikan laga negara dukungannya hingga menjelang subuh sekalipun.
Aku pun tak ingin melewati ajang empat tahunan bergengsi tingkat dunia itu. Hampir setiap jam tayang, aku terus menonton, walaupun bukan negara yang aku dukung. Kebetulan aku sendiri mendukung Brazil dan Argentina. Pilihanku cukup beralasan, karena gaya goyangan Samba Brazil dan kelihaian Messi, sang striker asal negara 'Si Tangan Tuhan', Maradona itu.
Tapi malam ini, caraku menonton pertandingan lapangan hijau berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Malam ini, hanya untuk menonton pertandian final Spanyol versus Belanda, aku rela menempuh jarak puluhan kilometer ke Ciputat. Namun, langkahku itu bukan nekat atau tidak jelas, tetapi demi membangun kebersamaan komunitas, yakni sebagai alumnus Ponpes Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura.
Apalagi, nonton bareng tepatnya di Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat ini, juga dihadiri beberapa senior, yakni Anggota DPR RI, H Achmad Syafi'ie dan Ketua DPRD Pamekasan, Kholil Asy'ari. Kehadiran mereka telah menciptakan suasana kekeluargaan sesama pesantren semakin terasa.
Sebelumnya saat babak penyisihan grup, babak 16 besar hingga semifinal kemarin aku nonton di tempat-tempat berbeda, seperti di Warung Buncit 37, kantor tempatku bekerja sebagai Wartawan Republika, di camp Sekjen PB HMI Salemba, di Kafe Mocca, Jalan Jaksa, di kantor IJTI Bendungan Hilir, di Camp Steak Saharjo, di Season City Mall, di Cilandak Town Square (Citos), dan di Sekret Bakornas Lapmi, Saharjo Lontar, tempat aku tinggal.
Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat, 12/7/2010
Pukul 02.39 WIB
Thursday, December 23, 2010
Open Minded; Berlibur dan Berhibur
Oleh Moh Ilyas
Kali ini memang bukan akhir pekan (week end). Namun, suasananya hampir tak ada bedanya dengan akhir pekan, hari di mana sering kali dijadikan ruang curhat dan ruang berlibur bagi mereka yang merasa jenuh tugas dan kerja sepekan.
Di sebuah warung lesehan berukuran sekitar 8x4 meter di pinggir kolam Hotel Citere, Pangalengan, Jawa Barat, rasa jenuh itu seperti ditanggalkan secara total. Hiburan dan liburan mereka nikmati dalam suasana kegembiraan, jauh dari beban dan beratnya pekerjaan. Apalagi mereka memang merupakan gabungan kaum jurnalis Jakarta-Bandung dan karyawan Indonesia Power (IP).
Puluhan lagu dangdut nan meriah telah mereka senandungkan secara bergantian. Puluhan variasi joget dan hiburan mereka tampilkan. Bahkan, rayuan, godaan, hingga humor pun menghipnotis dan membuat pendengar dan penontonnya terpingkal-pingkal. Tak lupa, potongan kue sebagai hadiah ulang tahun dan Peringatan Hari Ibu (PHI) pun menyertai mereka. Hal tersebut karena 22 Desember hari itu memang bertepatan dengan PHI.
Kemeriahan dan nikmatnya suasana semakin lengkap dengan puluhan snack yang disediakan cuma-cuma di sekeliling mereka. Bahkan, tak lebih dari 10 meter di samping mereka daging sembelihan seekor kambing juga menanti secara gratis. Maklum, IP tampaknya memang begitu siap dengan agenda yang diadakannya, sehingga hampir kebutuhan jurnalis terpenuhi.
Sekitar tiga jam waktu sudah berlalu. Saat waktu di handphone menunjukkan pukul 23.14 WIB, salam perpisahan menyelinap di telingaku dari kumpulan 'pelepas kepengapan hidup' itu. Lagu 'Kemesraan' pun menjadi lagu pamungkas malam penuh kehangatan dan hiburan.
Sebenarnya, sedari siang hiburan selalu dihibahkan kepada kami, terutama sejak di salah satu PLTA tertua di Indonesia dan di Situ Ciseunca, Pangalengan. Hiburan berupa outbond juga kami jalani secara bersahaja dan santai saat di Ciseunca.
Belum lagi agenda lanjutan Kamis besok yang masih tersisa hingga mid day. Berdasarkan informasi yang kami terima, beberapa kunjungan ke tempat-tempat wisata masih akan mewarnai perjalanan kami. Namun, tanpa itupun, sebenarnya sudah cukup lengkap kenikmatan kami rasakan.
Bagi saya pribadi, larut dalam liburan dan hiburan ini tidak begitu asing. Sejak berprofesi sebagai kuli tinta di Media Nasional di Jakarta 11 bulan lalu, suasana semacam ini relatif sering dijumpai. Bahkan, jika tak ada kendali diri, bukan sesuatu yang mustahil saya akan lebih dari sekadar bernostalgia di saat seperti ini saja. Bisa jadi, tempaan ruang-ruang semacam ini akan lebih banyak lagi.
Kendatipun begitu, saya memiliki persepsi positif tentang liburan dan hiburan. Dengan dua hal itu, sekurang-kurangnya pikiran seseorang akan lebih terbuka terhadap sebuah alam fenomena yang lebih dari sekadar alam noumena yang barangkali masih menggelinding dalam benak sebagian manusia.
Kata 'Open Minded' yang merupakan pembuka judul ini dimaksudkan bahwa sebenarnya setiap orang butuh penyegaran (refreshing). Mereka akan belajar mengerti tentang kehidupan mereka lebih jauh melalui suasana semacam ini. Namun, tentu saja jika mereka tak dikelabui dan tak masuk secara berlebihan ke dalam wilayah yang, menurut saya, juga dapat membuat seseorang alpa akan makna hidup secara hakiki, meski ini bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Akhirnya, semoga kita mampu merajut benang hikmah di dalamnya. Wallahu a'lam bis-shawab
Hotel Citere, Pangalengan
22/12/2010
Pukul 23.49 WIB
Kali ini memang bukan akhir pekan (week end). Namun, suasananya hampir tak ada bedanya dengan akhir pekan, hari di mana sering kali dijadikan ruang curhat dan ruang berlibur bagi mereka yang merasa jenuh tugas dan kerja sepekan.
Di sebuah warung lesehan berukuran sekitar 8x4 meter di pinggir kolam Hotel Citere, Pangalengan, Jawa Barat, rasa jenuh itu seperti ditanggalkan secara total. Hiburan dan liburan mereka nikmati dalam suasana kegembiraan, jauh dari beban dan beratnya pekerjaan. Apalagi mereka memang merupakan gabungan kaum jurnalis Jakarta-Bandung dan karyawan Indonesia Power (IP).
Puluhan lagu dangdut nan meriah telah mereka senandungkan secara bergantian. Puluhan variasi joget dan hiburan mereka tampilkan. Bahkan, rayuan, godaan, hingga humor pun menghipnotis dan membuat pendengar dan penontonnya terpingkal-pingkal. Tak lupa, potongan kue sebagai hadiah ulang tahun dan Peringatan Hari Ibu (PHI) pun menyertai mereka. Hal tersebut karena 22 Desember hari itu memang bertepatan dengan PHI.
Kemeriahan dan nikmatnya suasana semakin lengkap dengan puluhan snack yang disediakan cuma-cuma di sekeliling mereka. Bahkan, tak lebih dari 10 meter di samping mereka daging sembelihan seekor kambing juga menanti secara gratis. Maklum, IP tampaknya memang begitu siap dengan agenda yang diadakannya, sehingga hampir kebutuhan jurnalis terpenuhi.
Sekitar tiga jam waktu sudah berlalu. Saat waktu di handphone menunjukkan pukul 23.14 WIB, salam perpisahan menyelinap di telingaku dari kumpulan 'pelepas kepengapan hidup' itu. Lagu 'Kemesraan' pun menjadi lagu pamungkas malam penuh kehangatan dan hiburan.
Sebenarnya, sedari siang hiburan selalu dihibahkan kepada kami, terutama sejak di salah satu PLTA tertua di Indonesia dan di Situ Ciseunca, Pangalengan. Hiburan berupa outbond juga kami jalani secara bersahaja dan santai saat di Ciseunca.
Belum lagi agenda lanjutan Kamis besok yang masih tersisa hingga mid day. Berdasarkan informasi yang kami terima, beberapa kunjungan ke tempat-tempat wisata masih akan mewarnai perjalanan kami. Namun, tanpa itupun, sebenarnya sudah cukup lengkap kenikmatan kami rasakan.
Bagi saya pribadi, larut dalam liburan dan hiburan ini tidak begitu asing. Sejak berprofesi sebagai kuli tinta di Media Nasional di Jakarta 11 bulan lalu, suasana semacam ini relatif sering dijumpai. Bahkan, jika tak ada kendali diri, bukan sesuatu yang mustahil saya akan lebih dari sekadar bernostalgia di saat seperti ini saja. Bisa jadi, tempaan ruang-ruang semacam ini akan lebih banyak lagi.
Kendatipun begitu, saya memiliki persepsi positif tentang liburan dan hiburan. Dengan dua hal itu, sekurang-kurangnya pikiran seseorang akan lebih terbuka terhadap sebuah alam fenomena yang lebih dari sekadar alam noumena yang barangkali masih menggelinding dalam benak sebagian manusia.
Kata 'Open Minded' yang merupakan pembuka judul ini dimaksudkan bahwa sebenarnya setiap orang butuh penyegaran (refreshing). Mereka akan belajar mengerti tentang kehidupan mereka lebih jauh melalui suasana semacam ini. Namun, tentu saja jika mereka tak dikelabui dan tak masuk secara berlebihan ke dalam wilayah yang, menurut saya, juga dapat membuat seseorang alpa akan makna hidup secara hakiki, meski ini bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Akhirnya, semoga kita mampu merajut benang hikmah di dalamnya. Wallahu a'lam bis-shawab
Hotel Citere, Pangalengan
22/12/2010
Pukul 23.49 WIB
Thursday, December 9, 2010
Hijrah Sosial
Oleh Moh Ilyas
Kita kembali sampai pada tahun baru Islam atau yang dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah. Nama ini, seperti sudah mafhum, berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah pertama kali ke Madinah. Sehingga, sejak pertama hijrah, hingga saat ini sudah terpaut angka 1432 tahun.
Perjalanan waktu ini tak meraibkan makna hijrah Rasulullah. Dalam artian, hijrah Rasul saat itu juga terelaborasi dalam sikap dan tindakannya saat di Madinah.
Bahkan, nama Kota Madinah pun diambil dari gambaran sebuah kota yang penuh peradaban (baca: tamaddun, beradab) yang dibinanya. Sebelumnya, kota tersebut bernama Yatsrib.
Hijrah Rasul juga menandai lahirnya Fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah). Saat itu, di saat ia merasa belum memiliki kekuatan menahan dominasi kaum Quraisy di Makkah, ia berinisiatif untuk hijrah. Dalam proses hijrahnya, ia membangun strategi dan kekuatan untuk menguasai Makkah. Ia pun berhasil menguasai kota tersebut dengan penuh kedamaian.
Dalam koteks hari ini, praktek hijrah semacam ini juga masih ada. Misalnya, seseorang berpetualang dari kampung halamannya ke kota lain atau negara lain, juga dikatakan hijrah. Meski tidak sedang mengemban misi membangun etika dan agama, sebagaimana Rasulullah, mereka juga dikatakan hijrah. Sebab terminologi hijrah, hanyalah perpindahan dari satu daerah ke daerah lain.
Namun, pemaknaan ini sebenarnya jauh lebih luas. Hijrah tidak sekadar dimaknai dengan perpindahan fisik seseorang, tetapi ia juga diterjemahkan dengan perubahan dinamika sosial. Dengan kata lain, ketika seseorang berpikir merubah situasi sosial di lingkungannya, hemat penulis, ia sebenarnya telah berpikir untuk menghijrahkan lingkungannya. Sehingga hijrah tidak secara fisik, tetapi juga mental, bahkan kondisi.
Mengaca pada hijrah Nabi yang mengedepankan etika dan keadaban. Artinya, Nabi saat hijrah dan berada di Madinah tidak berpikir untuk melakukan penguasaan otoritatif atau diskriminatif, tetapi ia mengajarkan prinsip-prinsip di antaranya semacam musyawarah (demokrasi), ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan), dan samaahah (toleransi). Prinsip-prinsip itu sebenarnya merupakan praktek hijrah sosial yang diajarkan Nabi.
Inilah hijrah sosial yang, manfaatnya, terus terasa hingga saat ini. Konon, munculnya gagasan Civil Society yang sangat menghargai kaum sipil (baca: masyarat akar rumput) juga buah elaborasi dari prinsip-prinsip ajaran hijrahnya Nabi saat di Madinah itu.
Ia juga harus menguatkan identitas hijrah itu sendiri agar tak sekadar dimaknai sebagai ritualitas perayaan tahunan semata. Jika umat Islam, khususnya, hanya memandang bahwa hijrah merupakan pergantian tahun hijriyah semata, maka mereka telah terjebak dalam artikulasi pemahaman yang sempit. Rasul mengajarkan hirah jauh lebih dari pemahaman itu.
Hijrahkan Penegak Hukum Kita
Momentum tahun baru Hijriyah ini sangat berarti bagi masyarakat di negeri ini, khususnya penegak hukum jika mereka mau belajar. Sekali lagi jika mereka mau belajar. Mengapa demikian, karena kondisi penegakan hukum kita saat ini sudah sangat layak dihijrahkan jika tidak ingin terus-terusan mencipta 'petaka' dengan logika-logika hukum yang selalu deviatif.
Sebagaimana telah mafhum, skandal-skandal yang terus memojokkan penegak hukum, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung terus terjadi sejak satu tahun terakhir. Pemojokan itu bukan karena ingin menjatuhkan mereka sebagai penegak hukum, tetapi karena memang tindakan penegak hukum itu sendiri yang justru menodai hukum. Terlepas apakah ada motif dan ada 'orang' di belakang mereka.
Jika kita buka lembaran lagi, bagaimana kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK yang dilakukan dua lembaga penegakan hukum tersebut, keterlibatan jaksa dan polisi dalam aksi suap Gayus HP Tambunan, hingga keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob Depok, yang tertangkap kamera di Bali.
Kasus-kasus ini telah menodai penegakan hukum kita dan menjadikannya 'uncredible' di tengah maraknya masalah-masalah hukum. Sejak polisi disebut 'Buaya', tak banyak orang yang percaya polisi, malah justru menyesalkan sikap yang seharusnya mengajarkan contoh hukum yang benar kepada masyarakat.
Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika masyarakat tidak percaya pada kejaksaan dan kepolisian, itu akan menjadi awal sebagai preseden buruk dua lembaga itu. Apapun yang mereka kerjakan nantinya, tidak akan dipercaya masyarakat, bahkan akan diingkarinya.
Kepercayaan publik ini perlu dipulihkan. Cara yang paling efektif adalah menghijrahkan kondisi internal dua lembaga tersebut ke hal-hal yang lebih positif. Baik menghijrahkan paradigma berpikir maupun tindakan mereka dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum di negeri ini yang masih cenderung dikalahkan oleh uang.
Hadirnya Timor Pradopo sebagai Kapolri baru tentu saja tidak hanya diinginkan sebagai simbol nomor wahid di lingkungan Polri. Ia diharapkan dapat menjadi pioner dalam menghijrahkan internalnya. Setidaknya ia harus menyadarkan bawahannya agar tidak terjebak pada 'perintah uang'. Sebab selama ini yang mendera dan merusak citra kepolisian adalah uang.
Jika hal demikian dilakukan, ia telah memegang kunci untuk menghijrahkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya sudah begitu runtuh dan mengalami luka parah. Sehingga ia mesti memikirkan bagaimana menyembuhkan 'luka' itu.
Hijrah Totalitas
Berbagai persoalan yang terus melanda negeri beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masih banyak yang salah dengan perilaku kita. Mulai dari fenomena korupsi yang tak kunjung usai hingga skandal hukum yang tak terselesaikan. Kondisi ini menuntut semua elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan untuk hijrah secara totalitas.
Pasca-perayaan hijrah (tahun baru hijriyah) ini, presiden tidak lagi hanya mengandalkan wacana atau politik pencitraan semata dalam mengurus bangsa ini. DPR tidak hanya ribut masalah kebutuhan mereka sendiri, seperti jalan-jalan (baca: pelesiran) ke luar negeri dan bagaimana mempermegah gedung senayan, tempat mereka bertugas, namun mereka harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat (back to society).
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum di bidang korupsi tidak perlu takut atau apalagi cuci tangan untuk mengurusi korupsi. Selama ini, lembaga tersebut masih cenderung dianggap tebang pilih. Sebab, pohon yang besar seperti kasus Century tak dapat mereka selesaikan, sementara pohon kecil (kasus-kasus kecil) dapat mereka tuntaskan dengan sigap. Kondisi tersebut melahirkan dugaan miring dari publik, bahwa KPK seperti berada di bawah intimidasi orang atau kelompok tertentu (baca: penguasa).
Di sinilah presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan KPK (bagian dari yudikatif) harus bersinergi dan bersama-sama menyelamatkan negeri ini. Mereka harus hijrah secara totalitas untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, tanpa tendensi atau kepentingan apapun. Jika ini tidak terjadi, rakyat akan pesimis terhadap masa depan negeri ini, terutama masa depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam Bis-Shawab
Kita kembali sampai pada tahun baru Islam atau yang dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah. Nama ini, seperti sudah mafhum, berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah pertama kali ke Madinah. Sehingga, sejak pertama hijrah, hingga saat ini sudah terpaut angka 1432 tahun.
Perjalanan waktu ini tak meraibkan makna hijrah Rasulullah. Dalam artian, hijrah Rasul saat itu juga terelaborasi dalam sikap dan tindakannya saat di Madinah.
Bahkan, nama Kota Madinah pun diambil dari gambaran sebuah kota yang penuh peradaban (baca: tamaddun, beradab) yang dibinanya. Sebelumnya, kota tersebut bernama Yatsrib.
Hijrah Rasul juga menandai lahirnya Fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah). Saat itu, di saat ia merasa belum memiliki kekuatan menahan dominasi kaum Quraisy di Makkah, ia berinisiatif untuk hijrah. Dalam proses hijrahnya, ia membangun strategi dan kekuatan untuk menguasai Makkah. Ia pun berhasil menguasai kota tersebut dengan penuh kedamaian.
Dalam koteks hari ini, praktek hijrah semacam ini juga masih ada. Misalnya, seseorang berpetualang dari kampung halamannya ke kota lain atau negara lain, juga dikatakan hijrah. Meski tidak sedang mengemban misi membangun etika dan agama, sebagaimana Rasulullah, mereka juga dikatakan hijrah. Sebab terminologi hijrah, hanyalah perpindahan dari satu daerah ke daerah lain.
Namun, pemaknaan ini sebenarnya jauh lebih luas. Hijrah tidak sekadar dimaknai dengan perpindahan fisik seseorang, tetapi ia juga diterjemahkan dengan perubahan dinamika sosial. Dengan kata lain, ketika seseorang berpikir merubah situasi sosial di lingkungannya, hemat penulis, ia sebenarnya telah berpikir untuk menghijrahkan lingkungannya. Sehingga hijrah tidak secara fisik, tetapi juga mental, bahkan kondisi.
Mengaca pada hijrah Nabi yang mengedepankan etika dan keadaban. Artinya, Nabi saat hijrah dan berada di Madinah tidak berpikir untuk melakukan penguasaan otoritatif atau diskriminatif, tetapi ia mengajarkan prinsip-prinsip di antaranya semacam musyawarah (demokrasi), ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan), dan samaahah (toleransi). Prinsip-prinsip itu sebenarnya merupakan praktek hijrah sosial yang diajarkan Nabi.
Inilah hijrah sosial yang, manfaatnya, terus terasa hingga saat ini. Konon, munculnya gagasan Civil Society yang sangat menghargai kaum sipil (baca: masyarat akar rumput) juga buah elaborasi dari prinsip-prinsip ajaran hijrahnya Nabi saat di Madinah itu.
Ia juga harus menguatkan identitas hijrah itu sendiri agar tak sekadar dimaknai sebagai ritualitas perayaan tahunan semata. Jika umat Islam, khususnya, hanya memandang bahwa hijrah merupakan pergantian tahun hijriyah semata, maka mereka telah terjebak dalam artikulasi pemahaman yang sempit. Rasul mengajarkan hirah jauh lebih dari pemahaman itu.
Hijrahkan Penegak Hukum Kita
Momentum tahun baru Hijriyah ini sangat berarti bagi masyarakat di negeri ini, khususnya penegak hukum jika mereka mau belajar. Sekali lagi jika mereka mau belajar. Mengapa demikian, karena kondisi penegakan hukum kita saat ini sudah sangat layak dihijrahkan jika tidak ingin terus-terusan mencipta 'petaka' dengan logika-logika hukum yang selalu deviatif.
Sebagaimana telah mafhum, skandal-skandal yang terus memojokkan penegak hukum, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung terus terjadi sejak satu tahun terakhir. Pemojokan itu bukan karena ingin menjatuhkan mereka sebagai penegak hukum, tetapi karena memang tindakan penegak hukum itu sendiri yang justru menodai hukum. Terlepas apakah ada motif dan ada 'orang' di belakang mereka.
Jika kita buka lembaran lagi, bagaimana kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK yang dilakukan dua lembaga penegakan hukum tersebut, keterlibatan jaksa dan polisi dalam aksi suap Gayus HP Tambunan, hingga keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob Depok, yang tertangkap kamera di Bali.
Kasus-kasus ini telah menodai penegakan hukum kita dan menjadikannya 'uncredible' di tengah maraknya masalah-masalah hukum. Sejak polisi disebut 'Buaya', tak banyak orang yang percaya polisi, malah justru menyesalkan sikap yang seharusnya mengajarkan contoh hukum yang benar kepada masyarakat.
Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika masyarakat tidak percaya pada kejaksaan dan kepolisian, itu akan menjadi awal sebagai preseden buruk dua lembaga itu. Apapun yang mereka kerjakan nantinya, tidak akan dipercaya masyarakat, bahkan akan diingkarinya.
Kepercayaan publik ini perlu dipulihkan. Cara yang paling efektif adalah menghijrahkan kondisi internal dua lembaga tersebut ke hal-hal yang lebih positif. Baik menghijrahkan paradigma berpikir maupun tindakan mereka dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum di negeri ini yang masih cenderung dikalahkan oleh uang.
Hadirnya Timor Pradopo sebagai Kapolri baru tentu saja tidak hanya diinginkan sebagai simbol nomor wahid di lingkungan Polri. Ia diharapkan dapat menjadi pioner dalam menghijrahkan internalnya. Setidaknya ia harus menyadarkan bawahannya agar tidak terjebak pada 'perintah uang'. Sebab selama ini yang mendera dan merusak citra kepolisian adalah uang.
Jika hal demikian dilakukan, ia telah memegang kunci untuk menghijrahkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya sudah begitu runtuh dan mengalami luka parah. Sehingga ia mesti memikirkan bagaimana menyembuhkan 'luka' itu.
Hijrah Totalitas
Berbagai persoalan yang terus melanda negeri beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masih banyak yang salah dengan perilaku kita. Mulai dari fenomena korupsi yang tak kunjung usai hingga skandal hukum yang tak terselesaikan. Kondisi ini menuntut semua elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan untuk hijrah secara totalitas.
Pasca-perayaan hijrah (tahun baru hijriyah) ini, presiden tidak lagi hanya mengandalkan wacana atau politik pencitraan semata dalam mengurus bangsa ini. DPR tidak hanya ribut masalah kebutuhan mereka sendiri, seperti jalan-jalan (baca: pelesiran) ke luar negeri dan bagaimana mempermegah gedung senayan, tempat mereka bertugas, namun mereka harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat (back to society).
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum di bidang korupsi tidak perlu takut atau apalagi cuci tangan untuk mengurusi korupsi. Selama ini, lembaga tersebut masih cenderung dianggap tebang pilih. Sebab, pohon yang besar seperti kasus Century tak dapat mereka selesaikan, sementara pohon kecil (kasus-kasus kecil) dapat mereka tuntaskan dengan sigap. Kondisi tersebut melahirkan dugaan miring dari publik, bahwa KPK seperti berada di bawah intimidasi orang atau kelompok tertentu (baca: penguasa).
Di sinilah presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan KPK (bagian dari yudikatif) harus bersinergi dan bersama-sama menyelamatkan negeri ini. Mereka harus hijrah secara totalitas untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, tanpa tendensi atau kepentingan apapun. Jika ini tidak terjadi, rakyat akan pesimis terhadap masa depan negeri ini, terutama masa depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam Bis-Shawab
Friday, December 3, 2010
Dalam Sepekan: Kisah Baru, Arti Baru
Oleh Moh Ilyas
Senin (29/11) lalu, aku hanya bisa pasrah beraktivitas di Bandung. Tak ada insiatif melangkah, tak ada sense to be creative, dan tak ada gagasan tentang hal-hal yang layak diekspose siang itu. Mencipta isu baru pun masih kewalahan, karena memang saat itu, Gedung Sate, yang menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, masih betul-betul baru dalam hidupku.
Maklum, saat itu baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung yang di atasnya terdapat ujung seperti tusukan sate, setelah sekitar 1 bulan 20 hari sebelumnya aku menghabiskan waktu reporting di Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di gedung itu, melangkah dalam pergaulan pun masih kaku, karena semuanya serba baru. Walau aku bertegur sapa, namun belum cukup menjadi penawar kebingunganku.
Akhirnya, ku pasrahkan saja rencanaku pada aliran waktu saat itu. Hari pertama di Pemprov (begitu, ia sering disebut) aku mendapatkan beberapa pengalaman baru, mulai dari suasana, teman, dan pikiranku. Aku biasanya berpikir, mendapatkan sepotong berita begitu mudahnya, namun saat itu begitu sulit. Tapi setidaknya, aku mengusung informasi tentang langkah Jabar dalam merespon Huffadzul Qur'an di Jawa Barat.
Esoknya, pergaulan semakin hidup dan luas. Peristiwa longsor pun yang menewaskan tiga orang di Cimenyan, Dago Atas telah ku dengar. Ditambah lagi, Pameran Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama di Hotel Jayakarta yang harus aku singgahi. Malamnya pun aku liputan Kongres BEM Nusantara di Universitas Islam Bandung, di Ciburial, Cimenyan. Hari kedua ini setidaknya mulai membuka cakrawala baru reporting di lingkungan orang nomor wahid di Jabar.
Hari ketiga, aku belajar memetakan arah dan perspektif liputanku. Meski masih cenderung terlibat di seremonial, seperti Pameran Pendidikan Islam di Jayakarta Hotel dan APPSI Expo di Gasibu, namun aku mulai mengenal ruang lingkup news di Jabar. Begitupun pada hari keempat yang masih mengantarkanku berkutat di dunia acara, seperti Pembukaan Rakernas APPSI dan Pengarahan Wakil Presiden RI terhadap Gubernur se-Indonesia di Grand Hotel Preanger, Bandung. Meski demikian, aku tak larut dalam seremonial. Hari itu, aku juga mulai 'berani' menggagas ide semisal, koperasi yang kolaps hingga pemberdayaan pesantren di Jabar.
Hari kelima pun masih sama. Aksi difable (orang cacat) di Gedung Sate dan '2010 Degradable Grade Seminar' di Hotel Hilton Bandung menjadi fokus liputanku hari itu. Meski hari itu, ada keinginan mengusung ide pembangunan gedung baru DPRD, namun terpaksa diurungkan, karena alasan tertentu.
Kendati demikian, kisah-kisah ini bukan tanpa identitas arti. Justru dari sinilah beberapa persahabatan di tengah lingkungan baru mulai terasa, interaksi yang lebih butuh kepekaan teruji, sebab aku berada di tengah kaum jurnalis yang lebih variatif dengan nuansa-nuansa orientasi yang tidak seirama.
Aku belajar memahami bahwa semua ini tidaklah sekadar kisah baru, tetapi ia merupakan arti baru yang tidak mudah diartikulasikan hanya dalam teks-teks tulisan. Teks-teks yang jauh dari jangkauan ketikan jemari adalah teks naluri, rasa, dan hati. Ia merupakan sesuatu yang suci, jujur, tulus, dan bahkan mutlak. Saat terelaborasi dalam dunia kata, dunia tulis, dan dunia cerita ke alam nyata, sangat mungkin adanya distorsi, penambahan, pengurangan, dan bahkan deviasi.
Tetapi apapun itu, aku ingin memahaminya dalam satu kata 'arti'. Ya, itulah perjalanan lima hari menjelang akhir pekan ini.
Bandung, 3/12/2010
Pukul 23.16 WIB
Senin (29/11) lalu, aku hanya bisa pasrah beraktivitas di Bandung. Tak ada insiatif melangkah, tak ada sense to be creative, dan tak ada gagasan tentang hal-hal yang layak diekspose siang itu. Mencipta isu baru pun masih kewalahan, karena memang saat itu, Gedung Sate, yang menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, masih betul-betul baru dalam hidupku.
Maklum, saat itu baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung yang di atasnya terdapat ujung seperti tusukan sate, setelah sekitar 1 bulan 20 hari sebelumnya aku menghabiskan waktu reporting di Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di gedung itu, melangkah dalam pergaulan pun masih kaku, karena semuanya serba baru. Walau aku bertegur sapa, namun belum cukup menjadi penawar kebingunganku.
Akhirnya, ku pasrahkan saja rencanaku pada aliran waktu saat itu. Hari pertama di Pemprov (begitu, ia sering disebut) aku mendapatkan beberapa pengalaman baru, mulai dari suasana, teman, dan pikiranku. Aku biasanya berpikir, mendapatkan sepotong berita begitu mudahnya, namun saat itu begitu sulit. Tapi setidaknya, aku mengusung informasi tentang langkah Jabar dalam merespon Huffadzul Qur'an di Jawa Barat.
Esoknya, pergaulan semakin hidup dan luas. Peristiwa longsor pun yang menewaskan tiga orang di Cimenyan, Dago Atas telah ku dengar. Ditambah lagi, Pameran Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama di Hotel Jayakarta yang harus aku singgahi. Malamnya pun aku liputan Kongres BEM Nusantara di Universitas Islam Bandung, di Ciburial, Cimenyan. Hari kedua ini setidaknya mulai membuka cakrawala baru reporting di lingkungan orang nomor wahid di Jabar.
Hari ketiga, aku belajar memetakan arah dan perspektif liputanku. Meski masih cenderung terlibat di seremonial, seperti Pameran Pendidikan Islam di Jayakarta Hotel dan APPSI Expo di Gasibu, namun aku mulai mengenal ruang lingkup news di Jabar. Begitupun pada hari keempat yang masih mengantarkanku berkutat di dunia acara, seperti Pembukaan Rakernas APPSI dan Pengarahan Wakil Presiden RI terhadap Gubernur se-Indonesia di Grand Hotel Preanger, Bandung. Meski demikian, aku tak larut dalam seremonial. Hari itu, aku juga mulai 'berani' menggagas ide semisal, koperasi yang kolaps hingga pemberdayaan pesantren di Jabar.
Hari kelima pun masih sama. Aksi difable (orang cacat) di Gedung Sate dan '2010 Degradable Grade Seminar' di Hotel Hilton Bandung menjadi fokus liputanku hari itu. Meski hari itu, ada keinginan mengusung ide pembangunan gedung baru DPRD, namun terpaksa diurungkan, karena alasan tertentu.
Kendati demikian, kisah-kisah ini bukan tanpa identitas arti. Justru dari sinilah beberapa persahabatan di tengah lingkungan baru mulai terasa, interaksi yang lebih butuh kepekaan teruji, sebab aku berada di tengah kaum jurnalis yang lebih variatif dengan nuansa-nuansa orientasi yang tidak seirama.
Aku belajar memahami bahwa semua ini tidaklah sekadar kisah baru, tetapi ia merupakan arti baru yang tidak mudah diartikulasikan hanya dalam teks-teks tulisan. Teks-teks yang jauh dari jangkauan ketikan jemari adalah teks naluri, rasa, dan hati. Ia merupakan sesuatu yang suci, jujur, tulus, dan bahkan mutlak. Saat terelaborasi dalam dunia kata, dunia tulis, dan dunia cerita ke alam nyata, sangat mungkin adanya distorsi, penambahan, pengurangan, dan bahkan deviasi.
Tetapi apapun itu, aku ingin memahaminya dalam satu kata 'arti'. Ya, itulah perjalanan lima hari menjelang akhir pekan ini.
Bandung, 3/12/2010
Pukul 23.16 WIB
Subscribe to:
Posts (Atom)