Oleh: Moh. Ilyas
Minggu malam kemarin (05/7) ketika saya nonton Democrazy, sebuah program yang biasa saya sebut “guyonan-ilmiah” ala Metro TV, saya menyaksikan dua orang Narasumber (La Nyalla Mattalitti dan satu narasumber lain) sama-sama menggugat peran dan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap tidak profesional dalam melaksanakan Pemilu. Pasalnya, menurut mereka terlalu banyak persoalan yang belum diselesaikan oleh KPU. “Bahkan masalah DPT (daftar pemilih tetap, pen) saja hingga H-3 ini masih banyak yang bermasalah”, ungkap La Nyalla. “Di Jawa Timur Kecurangan KPU terkait masalah DPT sejak Pilgub, Pileg hingga Pilpres kali ini terus meningkat. Bahkan sekitar 30 juta penggelembungan suara di Pilgub Jatim kemarin”, lanjut Ketua Pemuda Pancasila ini sembari menyodorkan bukti DPT salah satu kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Wacana seputar ketidaksiapan dan ketidak profesionalan KPU tidak hanya dari La Nyalla saja, komentator satunya juga mengungkapkan hal yang sama dengan kasus-kasus serupa di daerah yang berbeda.
Setengah jam kemudian sekitar jam 22.30 Wib pada malam itu juga channel TV-One menyiarkan secara langsung jumpa pers dua pasangan Capres-Cawapres JK-Wiranto dan Mega-Prabowo di kantor pusat dakwah PP. Muhammadiyah, Menteng Jakarta yang dipimpin langsung oleh ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin setelah sebelumnya mengadakan pertemuan tertutup sekitar 30 menit di lantai dua kantor itu juga. Dalam jumpa pers itu Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa KPU harus mengevaluasi kembali tentang persiapan Pemilu, terutama berkaitan dengan DPT. Sehingga JK mengharap KPU bisa memperbaiki DPT dan menghapus suara-suara ganda yang di salah satu TPS tertentu mencapai 15 nama yang sama. Sementara Megapun menanggapi kinerja KPU sudah tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang pertama, yakni tahun 2004 yang dipandang betul-betul bersih, jujur dan adil.
Apakah Ini Demokrasi Petak Umpet ?
Berbagai tanggapan dari kedua tim sukses pasangan JK-Win dan Mega-Pro mensinyalir ada semacam “permainan belakang” dari KPU. Dugaan mereka semakin menguat ketika KPU menyebarkan contoh surat suara yang disosialisasikan di beberapa daerah yang telah ada contoh contreng di pasangan nomor urut 2. “Kenapa kok hanya nomor 2”? Tanya mereka mengingkari.
Persoalan-persoalan di atas membawa haru dan pilu tersendiri bagi anak-anak bangsa yang masih menginginkan kesucian dalam Pilpres kali ini. Praktek-praktek “ilegal” semacam ini yang dilakukan oleh calon tertentu sebagai ambisiusitas kekuasaan hanya mencoreng citra demokrasi kita. Bahkan, jika langkah “kotor” ini sukses mengantarkan kandidat tertentu, maka demokrasi kita bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi lebih tepat jika dikatakan DARI BELAKANG, OLEH ORANG BELAKANG DAN UNTUK ORANG BELAKANG. Jika demikian, tidak lebih tepatkah jika demokrasi kita disebut demokrasi Petak Umpet. Di mana, ada salah satu aktor jadi pencari sementara aktor-aktor lainnya jadi yang dicari. Jika yang dicari ini pandai bersembunyi, ia tidak akan ditemukan, maka ia akan selamat, tetapi jika ia tidak pandai ia akan ditemukan, kemudian dia akan menjadi pencari sebagai konsekuensinya.
Jika inilah model demokrasi kita, maka kita (rakyat) tak lebih dari sekedar boneka yang jadi mainan “KPU” dan orang-orang yang menjalankan “kereta api permainan” mereka. Naudzubillah...
Saturday, November 14, 2009
Kenapa Menjadi Wartawan?
Oleh: Moh. Ilyas
“Menjadi wartawan adalah profesi yang penuh tantangan,” begitulah gambaran beberapa kawan yang pernah “makan garam” dunia kewartawanan. Perjuangannya dalam menguak kebenaran berdasarkan fakta adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan, tidak sedikit wartawan yang rela bertarung melawan maut hanya demi mendapatkan “sepercik” fakta demi mengungkap kebenaran.
Menemukan nama-nama harum sosok mereka tidaklah sulit. Sebut saja Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta. Udin – sapaan akrabnya – harus kehilangan nyawa hanya demi sepercik fakta kebenaran yang harus dia ungkap kepada publik. Tidak hanya di Indonesia. Di negara yang sering terjadi konflik, profesi wartawan kian menjadi profesi yang mengkhawatirkan. Seperti di Irak, Afganistan, dan lain sebagainya. Irak, mungkin tepat dikatakan sebagai wilayah kematian terbesar bagi para wartawan pada tahun 2007. Menurut survey The International News Safety Institute. Lembaga yang bermarkas di Brussel, Belgia itu menyebutkan bahwa ada 77 orang wartawan yang meninggal dalam separuh tahun 2007. Mereka meninggal saat meliput berbagai berita di negara yang kini kacau balau oleh pendudukan pasukan asing dan konflik etnik itu. (www.eramuslim.com. 30/6/2007)
Selain itu, alasan menjadi wartawan selain merupakan ”rumah” menempa diri dan memupuk diri menjadi seorang penulis juga efektif untuk membangun kapasitas penguasaan terhadap informasi. Hal ini penting, mengingat informasi adalah modal besar untuk menguasai kehidupan. Ziauddin Sardar pernah mengatakan, ”the new source of power is not money in the hand of a few, but informasion in the hand of many.”
Tidak hanya itu, profesi wartawan adalah profesi yang sangat dekat dengan rakyat. Dalam artian, rakyat tidak perlu susah-susah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Wartawan melalui medianya bisa memediasi secara langsung aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dan ini sangat efektif. Karenanya, fungsi informasi yang mereka emban adalah demi kepentingan rakyat jua. Wajar bila sebuah adagium populer menggambarkan profesi wartawan ”sejengkal di atas gembel, sejengkal di bawah presiden.”
Alasan-alasan inilah yang menjadi landasan berfikir saya, kenapa saya memilih profesi menjadi wartawan.
“Menjadi wartawan adalah profesi yang penuh tantangan,” begitulah gambaran beberapa kawan yang pernah “makan garam” dunia kewartawanan. Perjuangannya dalam menguak kebenaran berdasarkan fakta adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan, tidak sedikit wartawan yang rela bertarung melawan maut hanya demi mendapatkan “sepercik” fakta demi mengungkap kebenaran.
Menemukan nama-nama harum sosok mereka tidaklah sulit. Sebut saja Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta. Udin – sapaan akrabnya – harus kehilangan nyawa hanya demi sepercik fakta kebenaran yang harus dia ungkap kepada publik. Tidak hanya di Indonesia. Di negara yang sering terjadi konflik, profesi wartawan kian menjadi profesi yang mengkhawatirkan. Seperti di Irak, Afganistan, dan lain sebagainya. Irak, mungkin tepat dikatakan sebagai wilayah kematian terbesar bagi para wartawan pada tahun 2007. Menurut survey The International News Safety Institute. Lembaga yang bermarkas di Brussel, Belgia itu menyebutkan bahwa ada 77 orang wartawan yang meninggal dalam separuh tahun 2007. Mereka meninggal saat meliput berbagai berita di negara yang kini kacau balau oleh pendudukan pasukan asing dan konflik etnik itu. (www.eramuslim.com. 30/6/2007)
Selain itu, alasan menjadi wartawan selain merupakan ”rumah” menempa diri dan memupuk diri menjadi seorang penulis juga efektif untuk membangun kapasitas penguasaan terhadap informasi. Hal ini penting, mengingat informasi adalah modal besar untuk menguasai kehidupan. Ziauddin Sardar pernah mengatakan, ”the new source of power is not money in the hand of a few, but informasion in the hand of many.”
Tidak hanya itu, profesi wartawan adalah profesi yang sangat dekat dengan rakyat. Dalam artian, rakyat tidak perlu susah-susah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Wartawan melalui medianya bisa memediasi secara langsung aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dan ini sangat efektif. Karenanya, fungsi informasi yang mereka emban adalah demi kepentingan rakyat jua. Wajar bila sebuah adagium populer menggambarkan profesi wartawan ”sejengkal di atas gembel, sejengkal di bawah presiden.”
Alasan-alasan inilah yang menjadi landasan berfikir saya, kenapa saya memilih profesi menjadi wartawan.
HAJI UNTUK MARTABAT BANGSA
Oleh: Moh. Ilyas
Gaung haji kembali bergema. Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia sedang melakukan kongres spiritual dan fisik menurut tata cara haji (manasik) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Tak ketinggalan, di tengah kondisi bangsa yang begitu sembraut dengan menggelembungnya kasus-kasus korupsi, suap, pemerasan hingga rekayasa hukum, jemaah haji asal Indonesia masih juga tetap antusias melaksanakan ritual tahunan ini. Bahkan, dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka peningkatan cukup drastis. Lantas yang menjadi persoalan, kenapa semakin banyak orang melakukan haji, martabat bangsa seolah semakin terpuruk? Tidakkah bias haji dapat mengubah hidup seseorang lebih berkualitas?
Menjawab ini tidak lantas ibadah haji yang mesti disalahkan. Sebab yang dipertaruhkan adalah kualitas haji yang telah dilaksanakan. Apakah seseorang yang menjalaninya betul-betul memperoleh bias positif dari ibadah yang dilakukannya atau tidak? Hal ini tergantung pada kualitas niat dan kualitas pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.
Kualitas Niat
Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Perbedaan niat ini memengaruhi kualitas haji seseorang. Biasanya, jika niat seseorang murni ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai ridha-Nya, segenap tenaga dan pikirannya terkonsentrasi untuk mencapainya melalui peningkatan kualitas ibadahnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, bila niat seseorang melakukan haji di luar itu, seperti hanya senang-senang atau hanya untuk mendapatkan gelar haji, sesampainya di tempat pelaksanaan haji tidak fokus sepenuhnya untuk mencapi ridhanya.
Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melaikan surga).
Sebaliknya, jika setelah melaksanakan haji kehidupan seseorang tetap buruk, atau malah lebih buruk, maka dapat dinilai hajinya mardud. Namun, penilaian ini hanya dalam kacamata manusia. Sebenarnya hanya Allah yang sepenuhnya mengetahui rahasia di balik kualitas haji seseorang. Karenanya, dalam hal haji performance niat menjadi awal yang sangat dipertaruhkan.
Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual haji yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.
Demi Martabat Bangsa
Pengalaman melakukan ibadah haji dan pesan-pesan yang dikandungnya menjadi sangat krusial dibawa ke arena bangsa ini. Terutama, di tengah martabat bangsa yang hampir terkubur oleh tindak kriminal yang tak kunjung usai, perilaku korupsi yang mewabah di setiap tempat, hingga klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang akhir-akhir ini marak di lingkaran penegak hukum kita (baca: Polisi, kejaksaan dan KPK).
Sekurang-sekurangnya, jika kita, yang notabene belum pernah melakukan ibadah haji, masih bisa berharap pada mereka yang telah melakukan ibadah haji untuk datang sebagai ”juru penyelamat” bangsa ini. Barangkali ajaran-ajaran pengorbanan dan perjuangan Nabi Ibrahim yang banyak dijadikan rukun dan sunnah haji bisa diterapkan di negeri ini. Bagaimana beliau mengajarkan semangat memberi (to give), bukan semangat menerima (to take).
Dalam penerapannya, tiga hal setidaknya yang bisa dilakukan pemerintah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pertama, pemerintah mesti berfikir bagaimana memberikan yang terbaik untuk bangsa ini, bukan bagaimana menggerus keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa ini. Kedua, kejujuran, amanah, dan empati sosial harus dipegang sebagai nilai yang membentuk mekanisme dan prosedur sosial dalam arti seluas-luasnya menuju keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama (common wealth and wellfare). Ketiga, advokasi bagi para yang lemah dan toleransi bagi para penggerak (inisiator) sosial menuju harmonisasi kehidupan dan maslahat umum (public goods), di mana kepentingan publik (public interrest) dapat terpenuhi. Dengan tiga langkah inilah kemungkinan martabat bangsa bisa terselamatkan.
* Penulis, Direktur Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.
Thursday, November 12, 2009
MASA DEPAN PEMUDA, MASA DEPAN BANGSA
Oleh: Moh. Ilyas
Kami Putra-Putri Indonesia,
Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia
Membaca ulang Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini selain dapat mengenang jasa dan perjuangan para pemuda tempo dulu juga dapat menghidupkan jiwa patriotik dan optimisme kaum muda hari ini guna melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Dalam artian, cerahnya masa depan bangsa sangat dipengaruhi oleh cerahnya masa depan pemuda jua.
Secara historis, spirit pemuda eksponen 1928 patut diapresiasi. Para pemuda ketika itu rela bersatu dan bertekad demi kemerdekaan rakyat, bangsa dan negara. Mereka berjuang demi satu tekad, kemerdekaan. Heterogenitas bagi mereka ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Demikian besar jasa pemuda dalam turut andil membangun bangsa sampai-sampai Mohammad Hatta, tokoh pemuda yang sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan RI mengatakan, ”Pemuda Indonesia, engkau pahlawan dalam hatiku!” Jika demikian, bukankah layak dikatakan bahwa masa depan pemuda, masa depan bangsa juga.
Potret Pemuda Hari Ini
Bagaimana dengan pemuda hari ini?
Berbicara tentang peran pemuda (baca juga: mahasiswa) hari ini mungkin memang cukup tabu di mata masyarakat kita. Bagaimana tidak, peran pemuda yang dulunya selalu diberi embel-embel social change, social control hingga moral force kini tinggal kenangannya saja. sebuah contoh, dulu, kalaupun suatu aksi demonstrasi tidak membawa agenda perubahan yang besar. paling tidak media masih meliput aksi tersebut dengan serius. Sehingga gaungnya bisa benar-benar terlihat oleh publik. Dalam kondisi seperti ini, paling tidak aksi yang dilakukan mahasiswa masih bisa memberikan manfaat, yaitu masyarakat menjadi tahu bahwa mereka masih punya tumpuan. Pasca 98 s/d tahun 2004-an, aksi mahasiswa masih bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan perhatian kita para mahasiswa terhadap persoalan bangsa. Tapi coba lihat saat ini, banyak pihak yang sudah jemu dengan aksi-aksi tersebut. Rakyat sudah semakin skeptis dengan aksi-aksi yang dilakukan. Media sudah tak lagi menganggap aksi-aksi mahasiswa sebagai berita yang patut disebarluaskan secara masif. Alhasil, demonstrasi mahasiswa kini benar-benar terasa kosong dan tak bermakna. Apakah ini adalah alarm akan matinya suara mahasiswa?
Tentu kita tidak menginginkannya. Mengingat perjalanan bangsa ini untuk menuju bangsa yang bermartabat, adil dengan masyarakatnya yang sejahtera tampaknya masih sangat jauh, maka di sinilah suara pemuda, khususnya mahasiswa yang masih mengemban idealisme selalu dinanti. Karena idealisme inilah yang bisa menyelamatkan gerakan pemuda dari alarm kematiannya.
Fakta Baru
Uraian yang cukup panjang tentang napak tilas peran pemuda tempo dulu dan hari ini di atas ternyata masih menyisakan tanda tanya besar di masa yang akan datang. Hal ini setelah penulis menemukan data-data yang cukup mencengangkan dari hasil jejak pendapat Kompas (26/10) yang mengulas tentang eksistensi pemuda hari ini.
Dari hasil jejak pendapat tersebut ditemukan beberapa data sebagai berikut: Pertama, pragmatis. Sisi pragmatisme pemuda hari ini menempati porsi yang jauh lebih tinggi dari sisi idealisme yang hanya sekitar 25 persen dari seluruh responden. Hal ini dapat diketahui dari harapan atau cita-cita yang ingin dicapai pada masa depan dan pandangan generasi ini terhadap persoalan yang dianggap penting bagi mereka saat ini. Misalnya, persoalan keuangan dan karir adalah persoalan paling utama. Di mana menurut mereka, sebagian pemuda generasi mereka hari ini bercita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Kedua, mengalami pergeseran orientasi. Sifat pragmatis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut tentu saja menjadi alasan pergeseran orientasi di kalangan pemuda hari ini. Orientasi ranah sosial yang sebelumnya masih cukup tinggi kini menurun drastis. Misalnya, ketertarikan pemuda hari ini untuk bergabung dalam partai politik hanya 16,4 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 18,7 persen, organisasi kemasyarakatan 43,1 persen, organisasi kepemudaan 38,2 persen dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) 30,6 persen.
Data-data tersebut dikhawatirkan akan semakin mengecil yang pada akhirnya akan tiba saatnya di mana pemuda sudah tidak ada lagi yang tertarik terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, lebih terbuka. Di masyarakat perkotaan telah muncul satu generasi muda baru yang sangat melek dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi. Internet misalnya. Media yang memfasilitasi alat-alat komunikasi terbaru ini, seperti Facebook, Twitter, Friendster dan MySpace telah menyihir masyarakat kita, di mana 79 persennya adalah pemuda untuk hanyut dalam kecanggihan alat komunikasi tersebut. Dan inilah media interaksi sosial baru yang akan membentuk karakter dan alam pikiran pemuda hari ini, yang tentu saja sudah jauh lebih terbuka dibanding sebelum-sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tiga poin penting yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan pemuda hari ini bukan berarti kita pupus harapan terhadap pemuda di masa depan. Artinya, jika pemuda hari ini bisa merespons berbagai tantangan ke depan itu dengan tepat dan menggunakan berbagai referensi yang ada secara bijak, bangsa ini ke depan masih bisa berharap pada mereka.
* Penulis adalah Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI
Aktif di Pena Institute Jakarta
Kami Putra-Putri Indonesia,
Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia
Membaca ulang Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini selain dapat mengenang jasa dan perjuangan para pemuda tempo dulu juga dapat menghidupkan jiwa patriotik dan optimisme kaum muda hari ini guna melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Dalam artian, cerahnya masa depan bangsa sangat dipengaruhi oleh cerahnya masa depan pemuda jua.
Secara historis, spirit pemuda eksponen 1928 patut diapresiasi. Para pemuda ketika itu rela bersatu dan bertekad demi kemerdekaan rakyat, bangsa dan negara. Mereka berjuang demi satu tekad, kemerdekaan. Heterogenitas bagi mereka ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Demikian besar jasa pemuda dalam turut andil membangun bangsa sampai-sampai Mohammad Hatta, tokoh pemuda yang sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan RI mengatakan, ”Pemuda Indonesia, engkau pahlawan dalam hatiku!” Jika demikian, bukankah layak dikatakan bahwa masa depan pemuda, masa depan bangsa juga.
Potret Pemuda Hari Ini
Bagaimana dengan pemuda hari ini?
Berbicara tentang peran pemuda (baca juga: mahasiswa) hari ini mungkin memang cukup tabu di mata masyarakat kita. Bagaimana tidak, peran pemuda yang dulunya selalu diberi embel-embel social change, social control hingga moral force kini tinggal kenangannya saja. sebuah contoh, dulu, kalaupun suatu aksi demonstrasi tidak membawa agenda perubahan yang besar. paling tidak media masih meliput aksi tersebut dengan serius. Sehingga gaungnya bisa benar-benar terlihat oleh publik. Dalam kondisi seperti ini, paling tidak aksi yang dilakukan mahasiswa masih bisa memberikan manfaat, yaitu masyarakat menjadi tahu bahwa mereka masih punya tumpuan. Pasca 98 s/d tahun 2004-an, aksi mahasiswa masih bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan perhatian kita para mahasiswa terhadap persoalan bangsa. Tapi coba lihat saat ini, banyak pihak yang sudah jemu dengan aksi-aksi tersebut. Rakyat sudah semakin skeptis dengan aksi-aksi yang dilakukan. Media sudah tak lagi menganggap aksi-aksi mahasiswa sebagai berita yang patut disebarluaskan secara masif. Alhasil, demonstrasi mahasiswa kini benar-benar terasa kosong dan tak bermakna. Apakah ini adalah alarm akan matinya suara mahasiswa?
Tentu kita tidak menginginkannya. Mengingat perjalanan bangsa ini untuk menuju bangsa yang bermartabat, adil dengan masyarakatnya yang sejahtera tampaknya masih sangat jauh, maka di sinilah suara pemuda, khususnya mahasiswa yang masih mengemban idealisme selalu dinanti. Karena idealisme inilah yang bisa menyelamatkan gerakan pemuda dari alarm kematiannya.
Fakta Baru
Uraian yang cukup panjang tentang napak tilas peran pemuda tempo dulu dan hari ini di atas ternyata masih menyisakan tanda tanya besar di masa yang akan datang. Hal ini setelah penulis menemukan data-data yang cukup mencengangkan dari hasil jejak pendapat Kompas (26/10) yang mengulas tentang eksistensi pemuda hari ini.
Dari hasil jejak pendapat tersebut ditemukan beberapa data sebagai berikut: Pertama, pragmatis. Sisi pragmatisme pemuda hari ini menempati porsi yang jauh lebih tinggi dari sisi idealisme yang hanya sekitar 25 persen dari seluruh responden. Hal ini dapat diketahui dari harapan atau cita-cita yang ingin dicapai pada masa depan dan pandangan generasi ini terhadap persoalan yang dianggap penting bagi mereka saat ini. Misalnya, persoalan keuangan dan karir adalah persoalan paling utama. Di mana menurut mereka, sebagian pemuda generasi mereka hari ini bercita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Kedua, mengalami pergeseran orientasi. Sifat pragmatis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut tentu saja menjadi alasan pergeseran orientasi di kalangan pemuda hari ini. Orientasi ranah sosial yang sebelumnya masih cukup tinggi kini menurun drastis. Misalnya, ketertarikan pemuda hari ini untuk bergabung dalam partai politik hanya 16,4 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 18,7 persen, organisasi kemasyarakatan 43,1 persen, organisasi kepemudaan 38,2 persen dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) 30,6 persen.
Data-data tersebut dikhawatirkan akan semakin mengecil yang pada akhirnya akan tiba saatnya di mana pemuda sudah tidak ada lagi yang tertarik terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, lebih terbuka. Di masyarakat perkotaan telah muncul satu generasi muda baru yang sangat melek dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi. Internet misalnya. Media yang memfasilitasi alat-alat komunikasi terbaru ini, seperti Facebook, Twitter, Friendster dan MySpace telah menyihir masyarakat kita, di mana 79 persennya adalah pemuda untuk hanyut dalam kecanggihan alat komunikasi tersebut. Dan inilah media interaksi sosial baru yang akan membentuk karakter dan alam pikiran pemuda hari ini, yang tentu saja sudah jauh lebih terbuka dibanding sebelum-sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tiga poin penting yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan pemuda hari ini bukan berarti kita pupus harapan terhadap pemuda di masa depan. Artinya, jika pemuda hari ini bisa merespons berbagai tantangan ke depan itu dengan tepat dan menggunakan berbagai referensi yang ada secara bijak, bangsa ini ke depan masih bisa berharap pada mereka.
* Penulis adalah Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI
Aktif di Pena Institute Jakarta
”WISDOM” DARI LAPANGAN HIJAU
Oleh: Moh. Ilyas
Saat masyarakat kita disuguhkan dengan tontonan-tontonan yang menayangkan praktek-praktek penegakan hukum yang penuh rekayasa, upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi (KPK), hingga susahnya mengungkap kebenaran, di saat itu pula tontonan-tontonan olahraga sepak bola di layar kaca semakin banyak peminatnya. Bahkan, mungkin, lebih menarik dibanding tontonan seputar keadilan itu. Apalagi, di tengah masyarakat dunia yang saat ini sedang mempersiapkan ”jago negaranya” berlaga di pentas piala dunia 2010 mendatang. Lantas, kenapa tontonan lapangan hijau lebih menarik?
Tontonan penegakan hukum yang begitu kusut sudah tidak menarik lagi, sebab ia bukan barang baru. Sebelum ”tragedi perang” KPK – Polri dan kejaksaan agung ini kasus BLBI telah lebih dahulu menjadi potret susahnya menguak kebenaran di negeri ini. Bahkan, parahnya, hingga kini kasus yang merugikan negara itu tenggelam begitu saja dalam ”ombak” rekayasa. Tidak ada tindak lanjut.
Lapangan Hijau
Walaupun kasus rekayasa terhadap KPK yang bermula adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang, penyuapan dan pemerasan terhadap 2 pimpinan KPK (non aktif), Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah oleh Polri bisa dikatakan lebih mujur dibanding kasus BLBI. Namun yang perlu dicatat adalah tidak adanya ketegasan dari – meminjam bahasa lapangan hijau – sang wasit. Dalam hal ini Presiden. Presiden sangat lamban menyikapi hal ini. Bahkan, meski akhirnya ia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dinilai banyak kalangan sudah terlambat.
Perspektif filosofi ”lapangan hijau” ini mungkin lebih tepat digunakan oleh seorang presiden dalam menyikapi kasus-kasus negara seperti KPK – Polri ini. Ajaran ketegasan, tidak ada tawar-menawar, hingga pemecatan setidaknya menjadi ciri tersendiri dalam dunia persepakbolaan. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan kartu kuning, bahkan jika pelanggarannya tergolong berat, langsung dikenakan kartu merah yang berarti harus out dari lapangan hijau. Karena itulah seorang wasit selaku penentu kebijakan tertinggi harus betul-betul kredibel dan lepas dari kepentingan-kepentingan.
Sementara dalam kasus ”Cicak versus Buaya”yang melanda negeri ini, tidak ubahnya seperti pertandingan yang hanya bisa ditonton, tetapi tidak bisa diatur. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak tegas memberikan ”kartu merah” pada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian ini, yakni Kapolri dan Kejagung. Bahkan Anggodopun yang sudah jelas-jelas menjadi tokoh kunci kasus ini dan juga telah mengakui melakukan penyuapan dibiarkan saja melenggang bebas. Ini menunjukkan tingginya ketidak-adilan di negeri ini.
Seharusnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang lepas di mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan terlihat. Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polri tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Dalam permainan sepak bola, seorang pemain yang ambisius untuk memasukkan gol tetap harus memerhatikan kode etik di lapangan hijau, sehingga golnya dianggap sah.
Keadilan Yang Ditunggu-Tunggu
Pernyataan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “di manapun ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana,” saat ini sudah tertangkap kebenarannya. Praktek ketidak-adilan yang tercium dari kasus KPK–Polri telah menumbuhkan antusiasme yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat jutaan facebooker pendukung Bibit-Chandra, seruan-seruan moral tokoh-tokoh bangsa hingga demonstrasi yang bertubi-tubi.
Motif utama yang sesungguhnya dapat dipelajari dari gelombang aksi dukungan terhadap Bibit-Chandra yang begitu memukau tersebut selain masyarakat merindukan adanya sebuah institusi seperti KPK yang tetap kuat berjuang melawan koruptor juga merindukan hadirnya keadilan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Apalagi di tengah-tengah tingginya harapan keadilan itu justru legislatif, yakni komisi III DPR sangat pro terhadap kepolisian dan kejaksaan. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas pro kebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, kepercayaan rakyat pun akan kian memudar. Tidak akan ada lagi rakyat yang percaya penegakan hukum dan keadilan. Satu-satunya jalan adalah Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance.
Bila keadilan yang ditunggu-tunggu ini tidak jua datang, maka meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran.
Sebaliknya, jika pemerintah tegas dan akurat dalam membumihanguskan ketidak-adilan, yakni dengan memberikan ”kartu merah” kepada oknum-oknum yang terlibat, maka di saat itu pulalah kata ”wisdom” sebagai lambang kebijaksanaan pemerintah akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
* Penulis, Pemerhati Masalah Keadilan
Aktif di Bakornas LAPMI PB HMI.
Saat masyarakat kita disuguhkan dengan tontonan-tontonan yang menayangkan praktek-praktek penegakan hukum yang penuh rekayasa, upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi (KPK), hingga susahnya mengungkap kebenaran, di saat itu pula tontonan-tontonan olahraga sepak bola di layar kaca semakin banyak peminatnya. Bahkan, mungkin, lebih menarik dibanding tontonan seputar keadilan itu. Apalagi, di tengah masyarakat dunia yang saat ini sedang mempersiapkan ”jago negaranya” berlaga di pentas piala dunia 2010 mendatang. Lantas, kenapa tontonan lapangan hijau lebih menarik?
Tontonan penegakan hukum yang begitu kusut sudah tidak menarik lagi, sebab ia bukan barang baru. Sebelum ”tragedi perang” KPK – Polri dan kejaksaan agung ini kasus BLBI telah lebih dahulu menjadi potret susahnya menguak kebenaran di negeri ini. Bahkan, parahnya, hingga kini kasus yang merugikan negara itu tenggelam begitu saja dalam ”ombak” rekayasa. Tidak ada tindak lanjut.
Lapangan Hijau
Walaupun kasus rekayasa terhadap KPK yang bermula adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang, penyuapan dan pemerasan terhadap 2 pimpinan KPK (non aktif), Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah oleh Polri bisa dikatakan lebih mujur dibanding kasus BLBI. Namun yang perlu dicatat adalah tidak adanya ketegasan dari – meminjam bahasa lapangan hijau – sang wasit. Dalam hal ini Presiden. Presiden sangat lamban menyikapi hal ini. Bahkan, meski akhirnya ia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dinilai banyak kalangan sudah terlambat.
Perspektif filosofi ”lapangan hijau” ini mungkin lebih tepat digunakan oleh seorang presiden dalam menyikapi kasus-kasus negara seperti KPK – Polri ini. Ajaran ketegasan, tidak ada tawar-menawar, hingga pemecatan setidaknya menjadi ciri tersendiri dalam dunia persepakbolaan. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan kartu kuning, bahkan jika pelanggarannya tergolong berat, langsung dikenakan kartu merah yang berarti harus out dari lapangan hijau. Karena itulah seorang wasit selaku penentu kebijakan tertinggi harus betul-betul kredibel dan lepas dari kepentingan-kepentingan.
Sementara dalam kasus ”Cicak versus Buaya”yang melanda negeri ini, tidak ubahnya seperti pertandingan yang hanya bisa ditonton, tetapi tidak bisa diatur. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak tegas memberikan ”kartu merah” pada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian ini, yakni Kapolri dan Kejagung. Bahkan Anggodopun yang sudah jelas-jelas menjadi tokoh kunci kasus ini dan juga telah mengakui melakukan penyuapan dibiarkan saja melenggang bebas. Ini menunjukkan tingginya ketidak-adilan di negeri ini.
Seharusnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang lepas di mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan terlihat. Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polri tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Dalam permainan sepak bola, seorang pemain yang ambisius untuk memasukkan gol tetap harus memerhatikan kode etik di lapangan hijau, sehingga golnya dianggap sah.
Keadilan Yang Ditunggu-Tunggu
Pernyataan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “di manapun ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana,” saat ini sudah tertangkap kebenarannya. Praktek ketidak-adilan yang tercium dari kasus KPK–Polri telah menumbuhkan antusiasme yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat jutaan facebooker pendukung Bibit-Chandra, seruan-seruan moral tokoh-tokoh bangsa hingga demonstrasi yang bertubi-tubi.
Motif utama yang sesungguhnya dapat dipelajari dari gelombang aksi dukungan terhadap Bibit-Chandra yang begitu memukau tersebut selain masyarakat merindukan adanya sebuah institusi seperti KPK yang tetap kuat berjuang melawan koruptor juga merindukan hadirnya keadilan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Apalagi di tengah-tengah tingginya harapan keadilan itu justru legislatif, yakni komisi III DPR sangat pro terhadap kepolisian dan kejaksaan. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas pro kebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, kepercayaan rakyat pun akan kian memudar. Tidak akan ada lagi rakyat yang percaya penegakan hukum dan keadilan. Satu-satunya jalan adalah Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance.
Bila keadilan yang ditunggu-tunggu ini tidak jua datang, maka meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran.
Sebaliknya, jika pemerintah tegas dan akurat dalam membumihanguskan ketidak-adilan, yakni dengan memberikan ”kartu merah” kepada oknum-oknum yang terlibat, maka di saat itu pulalah kata ”wisdom” sebagai lambang kebijaksanaan pemerintah akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
* Penulis, Pemerhati Masalah Keadilan
Aktif di Bakornas LAPMI PB HMI.
PERAN PEMUDA DI BALIK “DRAMA” KPK – POLRI
Oleh: Moh. Ilyas
Hiruk pikuk “drama kolosal” KPK – Polri yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kamis (29/10) dinilai banyak pihak sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akal. Tak ayal kondisi itu membawa publik (baca: masyarakat) bergejolak keras menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka yang datang dari berbagai elemen menentang keras penahanan kedua pimpinan KPK non aktif tersebut.
Salah satu dari elemen yang menyatakan menolak penahanan mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Bagaimana tidak, setelah sehari sebelumnya (28/10) para pemuda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengevaluasi secara totalitas peran pemuda saat ini, justru mereka dihadapkan pada suatu kondisi bangsa yang mencoba keluar dari circle of law (lingkaran hukum) dan justice (keadilan), yakni penahanan Bibit – Chandra yang dinilai cacat hukum dan dipandang sebagai langkah pelemahan sekaligus pengerdilan terhadap eksistensi KPK.
Namun, tidak adanya evaluasi bagi pemuda di hari sumpah pemuda tersebut sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Sebab, perseteruan Cicak versus Buaya ini sebenarnya dapat dijadikan momentum tersendiri untuk mengevaluasi sejauh mana peran mahasiswa dan pemuda saat ini. Dalam artian, jika mereka mampu menciptakan perubahan, yakni mengembalikan identitas hukum dan keadilan secara benar, terutama dalam kasus KPK - Polri yang oleh banyak pihak dituding “penuh permainan” ini, maka setidaknya peran pemuda sebagai agent of change yang selama ini menjadi icon yang disandangnya dapat dimiliki kembali.
Tentunya dalam upaya menciptakan perubahan tersebut, ketajaman analisis pemuda merupakan sesuatu yang niscaya untuk dimiliki. Artinya, mereka harus mencoba memandang bahwa “pemain-pemain di belakang layar” kasus ini tidak menutup kemungkinan adalah kalangan elit penguasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaannya. KPK, Polri atau Kejagung bisa saja hanya sebagai obyek permainanya. Karenanya, jika konteksnya sudah sampai pada kata ‘kekuasaan’, ada baiknya kita (pemuda) kembali merenungkan gaya politik Machiavelli (1469-1527) yang merupakan "guru" bagi para maniak kekuasaan. Baginya, demi meraup kekuasaan, tidak ada yang mustahil dilakukan, semuanya halal dilakukan, kalau perlu membunuh ribuan atau jutaan orang. Nasihat klasiknya adalah kalau ingin menjadi penguasa, jangan sekali-kali mengikuti norma-norma sehat. Jangan sekali-kali takut berbohong, takut membunuh, atau takut memfitnah. Barangkali momentum inilah yang tepat bagi para pemuda untuk kembali menunjukkan perannya dalam turut membangun bangsa ini.
Hiruk pikuk “drama kolosal” KPK – Polri yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kamis (29/10) dinilai banyak pihak sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akal. Tak ayal kondisi itu membawa publik (baca: masyarakat) bergejolak keras menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka yang datang dari berbagai elemen menentang keras penahanan kedua pimpinan KPK non aktif tersebut.
Salah satu dari elemen yang menyatakan menolak penahanan mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Bagaimana tidak, setelah sehari sebelumnya (28/10) para pemuda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengevaluasi secara totalitas peran pemuda saat ini, justru mereka dihadapkan pada suatu kondisi bangsa yang mencoba keluar dari circle of law (lingkaran hukum) dan justice (keadilan), yakni penahanan Bibit – Chandra yang dinilai cacat hukum dan dipandang sebagai langkah pelemahan sekaligus pengerdilan terhadap eksistensi KPK.
Namun, tidak adanya evaluasi bagi pemuda di hari sumpah pemuda tersebut sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Sebab, perseteruan Cicak versus Buaya ini sebenarnya dapat dijadikan momentum tersendiri untuk mengevaluasi sejauh mana peran mahasiswa dan pemuda saat ini. Dalam artian, jika mereka mampu menciptakan perubahan, yakni mengembalikan identitas hukum dan keadilan secara benar, terutama dalam kasus KPK - Polri yang oleh banyak pihak dituding “penuh permainan” ini, maka setidaknya peran pemuda sebagai agent of change yang selama ini menjadi icon yang disandangnya dapat dimiliki kembali.
Tentunya dalam upaya menciptakan perubahan tersebut, ketajaman analisis pemuda merupakan sesuatu yang niscaya untuk dimiliki. Artinya, mereka harus mencoba memandang bahwa “pemain-pemain di belakang layar” kasus ini tidak menutup kemungkinan adalah kalangan elit penguasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaannya. KPK, Polri atau Kejagung bisa saja hanya sebagai obyek permainanya. Karenanya, jika konteksnya sudah sampai pada kata ‘kekuasaan’, ada baiknya kita (pemuda) kembali merenungkan gaya politik Machiavelli (1469-1527) yang merupakan "guru" bagi para maniak kekuasaan. Baginya, demi meraup kekuasaan, tidak ada yang mustahil dilakukan, semuanya halal dilakukan, kalau perlu membunuh ribuan atau jutaan orang. Nasihat klasiknya adalah kalau ingin menjadi penguasa, jangan sekali-kali mengikuti norma-norma sehat. Jangan sekali-kali takut berbohong, takut membunuh, atau takut memfitnah. Barangkali momentum inilah yang tepat bagi para pemuda untuk kembali menunjukkan perannya dalam turut membangun bangsa ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)