Oleh Moh Ilyas
Barangkali jika sekedar membaca judul tulisan ini, tak akan terbesit arah pikiran yang menggambarkan perjalanan sebuah hari yang tak terhenti oleh kerumunan waktu dalam proses awal liputanku. Judul ini sengaja aku buat dengan sebuah alasan, hari ini adalah hari terakhir di bulan pertama pergumulan diriku dalam dunia pers di kota Depok.
Masih cukup lekat tanggal dan pengalaman meliput pada bulan ini. Senin (11/1) aku menginjakkan kaki perdana dalam liputan di Kota Depok, tapi saat itu belum untuk dimuat. Meski begitu, aku belajar mengenali diri dan lingkungan di sana. Aku mengikuti kawan-kawan jurnalis di sana, seperti Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, okezone.com, Duta Masyarakat, Indo Pos dan Pelita. Mereka cukup ramah bertegur sapa denganku, yang notabene sebagai orang baru bagi mereka.
Seminggu ku jalani dengan gumpalan asa di benakku. Namun, ketika ku intip tulisanku tak pernah ada di Harian Republika ataupun di Republika Online (rol) membuat ghirahku “sedikit turun tangga”. Memang, waktu itu sebenarnya bukan untuk diterbitkan, tapi hanya untuk belajar menyesuaikan diri dan membaca “dunia Depok”.
Baru pada Senin (18/1), dua tulisanku resmi dimuat di Harian Republika, halaman 16. Itu pun, salah satunya langsung jadi headline dengan judul ”Samling Lebih Hemat Waktu.” Sungguh suatu kebahagiaan yang tak bisa ku tahan.
***
Udah dulu, ne ada anak Pamekasan mau ke tempatku, dah ada di depan RS. Budhi Jaya, Saharjo. Ne sakedar cerita ya, tapi riil-loh...
Saharjo Lontar, 31/1/2010
Pukul, 20.39 WIB
Thursday, July 22, 2010
Sejenak Share dengan Wartawan Baru
Senin (4/1/2010) adalah awal petualangku di dunia pers. Dunia, yang sebenarnya tidak begitu asing sewaktu aku masih melenggang di daerah asalku. tapi, tidak demikian halnya dengan ngeliput di Jakarta.
Sengatan panasnya mentari, tingginya tingkat polusi, dan macetnya jalan-jalan utama perkotaan menutup ’aura’ keindahan yang menyelimuti kota Jakarta. “Tak tampak keindahan itu,” pikirku seolah menafikan keindahan yang menghiasi gedung-gedung di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, dalam perjalanan pulang menuju Bendungan Hilir melewati Pasar Tanah Abang.
Tapi, apa boleh buat, dunia pers telah sengaja ku genggam. Napak tilaspun tak mungkin lagi kuhindari. Bagaimanapun, pengalaman ini kurasakan beriringan dengan dentingan suara pekat nurani untuk terus menggayuh cita, mendapatkan informasi fakta yang mendalam, dan mengungkap keresahan-keresahan sosial melalui pintu ’tulisan’ seorang wartawan.
Sekali aku berlayar dalam perahu cita-cita, sejuta kenangan indah dengan mutiara-mutiara yang tersurat di kedalaman lautan asa dapat ku raih. Sekali aku bertamasya ke arah terbenamnya mentari, tidak hanya seberkas cahaya yang ku dapat, tapi jutaan sinar bersama kemilaunya cahaya kesuksesan yang akan mengisi sisa-sisa hidupku.
Aku sadar, jembatan itu cukup panjang. Tetapi, aku juga memahami bahwa titian kaki kesungguhan serta ghirah akan mempercepat karir perjalanan hidup ini.
Pengalaman pertama sebagai wartawan Harian Umum Republika ini mulanya memang membuatku kaget, sebab aku langsung ditugaskan di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bertugas di tempat itu, tak ada lagi yang kupikirkan, selain perasaan takut dan ngeri dengan bulu roma yang merinding. ”Ya, bagaimana tidak? Jika aku diperlihatkan dengan mayat-mayat yang sudah ditutupi kain di kamar pendingin.”
Tapi, beruntunglah... Hari pertama ini tak sampai menjeratku dalam ketakutan itu, sebab, tidak ada jenazah baru pada hari itu. Meski akhirnya aku memberitakan Gus Dur sebagai jenazah terakhir di RSCM hingga saat itu, aku sempatkan juga meliput aksi anak-anak Sulawesi Selatan di bundaran Hotel Indonesia (HI) tentang kemelut Century yang tak kunjung usai.
Ini saja, catatan share awal napak tilas perjalananku dalam dunia pers di ibu kota. Sekuntum hikmah dan kesuksesan semoga selalu menjadi partner lembaran hidupku.
Semoga...!
Bakornas Lapmi, Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 01.41 WIB
Sengatan panasnya mentari, tingginya tingkat polusi, dan macetnya jalan-jalan utama perkotaan menutup ’aura’ keindahan yang menyelimuti kota Jakarta. “Tak tampak keindahan itu,” pikirku seolah menafikan keindahan yang menghiasi gedung-gedung di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, dalam perjalanan pulang menuju Bendungan Hilir melewati Pasar Tanah Abang.
Tapi, apa boleh buat, dunia pers telah sengaja ku genggam. Napak tilaspun tak mungkin lagi kuhindari. Bagaimanapun, pengalaman ini kurasakan beriringan dengan dentingan suara pekat nurani untuk terus menggayuh cita, mendapatkan informasi fakta yang mendalam, dan mengungkap keresahan-keresahan sosial melalui pintu ’tulisan’ seorang wartawan.
Sekali aku berlayar dalam perahu cita-cita, sejuta kenangan indah dengan mutiara-mutiara yang tersurat di kedalaman lautan asa dapat ku raih. Sekali aku bertamasya ke arah terbenamnya mentari, tidak hanya seberkas cahaya yang ku dapat, tapi jutaan sinar bersama kemilaunya cahaya kesuksesan yang akan mengisi sisa-sisa hidupku.
Aku sadar, jembatan itu cukup panjang. Tetapi, aku juga memahami bahwa titian kaki kesungguhan serta ghirah akan mempercepat karir perjalanan hidup ini.
Pengalaman pertama sebagai wartawan Harian Umum Republika ini mulanya memang membuatku kaget, sebab aku langsung ditugaskan di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bertugas di tempat itu, tak ada lagi yang kupikirkan, selain perasaan takut dan ngeri dengan bulu roma yang merinding. ”Ya, bagaimana tidak? Jika aku diperlihatkan dengan mayat-mayat yang sudah ditutupi kain di kamar pendingin.”
Tapi, beruntunglah... Hari pertama ini tak sampai menjeratku dalam ketakutan itu, sebab, tidak ada jenazah baru pada hari itu. Meski akhirnya aku memberitakan Gus Dur sebagai jenazah terakhir di RSCM hingga saat itu, aku sempatkan juga meliput aksi anak-anak Sulawesi Selatan di bundaran Hotel Indonesia (HI) tentang kemelut Century yang tak kunjung usai.
Ini saja, catatan share awal napak tilas perjalananku dalam dunia pers di ibu kota. Sekuntum hikmah dan kesuksesan semoga selalu menjadi partner lembaran hidupku.
Semoga...!
Bakornas Lapmi, Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 01.41 WIB
Semu
Dunia bukan apa-apa,
Tatkala kearifan alam telah menjauh pergi,
atau kehidupan telah tercemari dengan kekosongan,
tak ada lagi arti-arti yang masih dimengerti,
semuanya semu.
Dia benar.
Bila hidup hanyalah ilusi dan permainan,
tak lebih...
Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 00.50 WIB
Tatkala kearifan alam telah menjauh pergi,
atau kehidupan telah tercemari dengan kekosongan,
tak ada lagi arti-arti yang masih dimengerti,
semuanya semu.
Dia benar.
Bila hidup hanyalah ilusi dan permainan,
tak lebih...
Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 00.50 WIB
Mengenang Cak Nur
Ku kenal namamu lewat pintu-pintumu,
yang takkan pernah usang di tangan generasimu,
pintu dialektikmu tentang hidup dan kehidupan,
tentang islam yang indonesiawi,
ataupun tentang islam yang modern.
Engkau telah lama berjalan
mengitari altar-altar peradaban,
kota maupun desa,
dan kau telah menanam benih kehidupan,
benih kejernihan dalam berakidah,
untuk kau wariskan pada anak-anak bangsa ini,
biarkan mereka membaca tentangmu...
tentang jerih keringat pemikiranmu,
ataupun tentang mutiara-mutiara yang tertanam
dalam lautan keikhlasanmu,
nan terpaut di sudut-sudut halaman lembar pikiranmu.
di luar,
ribuan orang menengadahkan wajah-wajah mereka,
mengharap turunnya kearifan,
pun dahaga akan air pikiranmu yang menyejukkan...
tak ada hati yang tersakiti,
tak ada jiwa yang ternodai,
dan,
tak ada akidah tercemari,
melainkan hanya bagi mereka yang tiada mengerti,
tentangmu...
bakornas lapmi, 01-01-2010
pukul, 20.18 wib.
yang takkan pernah usang di tangan generasimu,
pintu dialektikmu tentang hidup dan kehidupan,
tentang islam yang indonesiawi,
ataupun tentang islam yang modern.
Engkau telah lama berjalan
mengitari altar-altar peradaban,
kota maupun desa,
dan kau telah menanam benih kehidupan,
benih kejernihan dalam berakidah,
untuk kau wariskan pada anak-anak bangsa ini,
biarkan mereka membaca tentangmu...
tentang jerih keringat pemikiranmu,
ataupun tentang mutiara-mutiara yang tertanam
dalam lautan keikhlasanmu,
nan terpaut di sudut-sudut halaman lembar pikiranmu.
di luar,
ribuan orang menengadahkan wajah-wajah mereka,
mengharap turunnya kearifan,
pun dahaga akan air pikiranmu yang menyejukkan...
tak ada hati yang tersakiti,
tak ada jiwa yang ternodai,
dan,
tak ada akidah tercemari,
melainkan hanya bagi mereka yang tiada mengerti,
tentangmu...
bakornas lapmi, 01-01-2010
pukul, 20.18 wib.
Dari Keseriusan, Muncul Keseriusan
Sebuah Catatan Santai
Meski Banyak Anggota Yang Absen, Rapat Konsolidasi Pengurus Bakornas Lapmi Masih Serius, Bahkan Hingga Terkesan Ada Suasana Diplomatis. Terlepas Dari Benar Atau Salah, Namun Keseriusan Itu Tampaknya Akan Menghasilkan Sesuatu Yang Serius Pula.
Malam itu, Jum’at (17/12) Saharjo Lontar yang menjadi pusat peradaban Bakornas LAPMI memang terkesan berbeda dari malam biasanya. Walaupun tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, namun malam itu ramainya sekretariat yang sudah agak perlu direnovasi itu bukan dengan huru-hara, canda-tawa, atau diskusi ngalor-ngidul. Bersamaan dengan derasnya hujan, sebuah ”pesta” kecil-kecilan turut mewarnai ruang-ruang Lapmi pada saat itu. Tak ketinggalan, rapat konsolidasi internal Lapmi yang mengusung beberapa agenda, termasuk di antaranya pelatihan jurnalistik portal berita online turut membisingi daun-daun telinga person-person Lapmi yang masih setia.
Meski suasana kurang mendukung, karena tidak ada minuman khas ala Camp Steak, sebagaimana biasanya, pola berfikir substantif muncul saat itu, yaitu raibnya sifat ketergantungan pada suasana-suasana tertentu yang menyebabkan pecahnya konsentrasi dan kefokusan. ”di manapun tempatnya, yang penting serius, juga akan menghasilkan yang serius, sebaliknya, meski tempat wah, kalau nggak serius, pasti hasilnya nggak serius pula” pikirku sewaktu melihat keseriusan.
Pikiran ”nakal” ini bukanlah sesuatu yang menggambarkan tentang aktifitas rapat Lapmi sebelumnya, tetapi ia ingin dihadirkan dalam semua segmen, momentum, ruang dan waktu tanpa adanya batas-batas organisasi, ataupun lainnya.
Bakornas Lapmi, 22/12/’09
Pukul 23.27 WIB
Meski Banyak Anggota Yang Absen, Rapat Konsolidasi Pengurus Bakornas Lapmi Masih Serius, Bahkan Hingga Terkesan Ada Suasana Diplomatis. Terlepas Dari Benar Atau Salah, Namun Keseriusan Itu Tampaknya Akan Menghasilkan Sesuatu Yang Serius Pula.
Malam itu, Jum’at (17/12) Saharjo Lontar yang menjadi pusat peradaban Bakornas LAPMI memang terkesan berbeda dari malam biasanya. Walaupun tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, namun malam itu ramainya sekretariat yang sudah agak perlu direnovasi itu bukan dengan huru-hara, canda-tawa, atau diskusi ngalor-ngidul. Bersamaan dengan derasnya hujan, sebuah ”pesta” kecil-kecilan turut mewarnai ruang-ruang Lapmi pada saat itu. Tak ketinggalan, rapat konsolidasi internal Lapmi yang mengusung beberapa agenda, termasuk di antaranya pelatihan jurnalistik portal berita online turut membisingi daun-daun telinga person-person Lapmi yang masih setia.
Meski suasana kurang mendukung, karena tidak ada minuman khas ala Camp Steak, sebagaimana biasanya, pola berfikir substantif muncul saat itu, yaitu raibnya sifat ketergantungan pada suasana-suasana tertentu yang menyebabkan pecahnya konsentrasi dan kefokusan. ”di manapun tempatnya, yang penting serius, juga akan menghasilkan yang serius, sebaliknya, meski tempat wah, kalau nggak serius, pasti hasilnya nggak serius pula” pikirku sewaktu melihat keseriusan.
Pikiran ”nakal” ini bukanlah sesuatu yang menggambarkan tentang aktifitas rapat Lapmi sebelumnya, tetapi ia ingin dihadirkan dalam semua segmen, momentum, ruang dan waktu tanpa adanya batas-batas organisasi, ataupun lainnya.
Bakornas Lapmi, 22/12/’09
Pukul 23.27 WIB
Jum’at
Jum’at...
Engkau memang hanya nama sebuah hari,
nan diagungkan sebagian umat,
malammu perayaan-perayaan mengitarimu,
siangmu ibadah-ibadah bertaburan secara massif,
sebagian mereka berkata,
”inilah hari paling utama...”
Jum’at...
Itu hanyalah cerita kecil dari umat di alam ini...
Yang tak lebih dari sekedar huru-hara
Engkau memang tak seindah hari minggu,
yang mampu membatasi ruang aktifitas sebagian umat,
demi mengangunginya,
malamnyapun menjadi ikon malam keindahan,
atau hari Sabtu, yang menjadi ikon umat yahudi,
tapi, adakah karena itu semuanya perlu berubah?
Tidak...
Tidak ada yang perlu berubah,
Itu hanyalah jenaka dari retorika
Tentang paradigma yang tak substantif,
Tentang perbedaan yang tak perlu dibesar-besarkan…
Dan tentang kisah-kisah sosial yang tak penting disebar...
Jum’at...
Bagimu harimu,
Yang tak hanya sebagai ikon perkumpulan...
Atau ritual mingguan,
Nan sepi dari nilai dan pelita umat,
tapi,
engkau yang sebenarnya...
adalah piranti penyatuan,
pergumulan perasaan diri,
atau perwujudan sikap egaliter dan persamaan,
yang tak ternodai dengan dosa-dosa sosial,
setelah berhiruk-pikuk hanya karena namamu...
engkau yang sebenarnya...
adalah tahta, tempat semua umat memenjarakan individualismenya,
demi sosialnya...
Friday, 18 Des’09
Pukul, 12.09 WIB
Engkau memang hanya nama sebuah hari,
nan diagungkan sebagian umat,
malammu perayaan-perayaan mengitarimu,
siangmu ibadah-ibadah bertaburan secara massif,
sebagian mereka berkata,
”inilah hari paling utama...”
Jum’at...
Itu hanyalah cerita kecil dari umat di alam ini...
Yang tak lebih dari sekedar huru-hara
Engkau memang tak seindah hari minggu,
yang mampu membatasi ruang aktifitas sebagian umat,
demi mengangunginya,
malamnyapun menjadi ikon malam keindahan,
atau hari Sabtu, yang menjadi ikon umat yahudi,
tapi, adakah karena itu semuanya perlu berubah?
Tidak...
Tidak ada yang perlu berubah,
Itu hanyalah jenaka dari retorika
Tentang paradigma yang tak substantif,
Tentang perbedaan yang tak perlu dibesar-besarkan…
Dan tentang kisah-kisah sosial yang tak penting disebar...
Jum’at...
Bagimu harimu,
Yang tak hanya sebagai ikon perkumpulan...
Atau ritual mingguan,
Nan sepi dari nilai dan pelita umat,
tapi,
engkau yang sebenarnya...
adalah piranti penyatuan,
pergumulan perasaan diri,
atau perwujudan sikap egaliter dan persamaan,
yang tak ternodai dengan dosa-dosa sosial,
setelah berhiruk-pikuk hanya karena namamu...
engkau yang sebenarnya...
adalah tahta, tempat semua umat memenjarakan individualismenya,
demi sosialnya...
Friday, 18 Des’09
Pukul, 12.09 WIB
Semoga Dia Baik-Baik Saja…
Tak ku sangka…
Pagi itu menjadi pagi yang kelam dalam separuh hidupku...
Aroma cerita dengan bumbu-bumbu tawa,
ataupun canda yang bertalun dalam syair-syair diskusi ria,
yang hampir tiap pagi berderai di antara kita...
berakhir sudah...
Rasanya...
Tiada berarti lagi semua kisah tentang keceriaan kita,
Salam dan sapamu yang khas,
Atau maafmu yang terlalu sering kau tumpahkan
Memang masih lekat, membisiki aliran darah jiwaku,
Semuanya mendekap terlanjur erat dalam batinku...
Hingga rasanya, takkan ada batas apapun yang sanggup menghalangi
Tapi, bagaimana lagi...
Kepercayaan itu telah terlanjur menjauh
angin kebahagiaanpun telah lekang,
dan hatipun sudah sungkan bersatu kembali...
biarlah...
pupus sudah asa yang sempat ku asah,
namun, walau tak ada takdir lain selain menerima kenyataan pahit ini...
aku masih ingin mendo’akannya,
semoga dia baik-baik saja
Bakornas Lapmi, 17 Des ’09
Pukul, 01.35 WIB.
Pagi itu menjadi pagi yang kelam dalam separuh hidupku...
Aroma cerita dengan bumbu-bumbu tawa,
ataupun canda yang bertalun dalam syair-syair diskusi ria,
yang hampir tiap pagi berderai di antara kita...
berakhir sudah...
Rasanya...
Tiada berarti lagi semua kisah tentang keceriaan kita,
Salam dan sapamu yang khas,
Atau maafmu yang terlalu sering kau tumpahkan
Memang masih lekat, membisiki aliran darah jiwaku,
Semuanya mendekap terlanjur erat dalam batinku...
Hingga rasanya, takkan ada batas apapun yang sanggup menghalangi
Tapi, bagaimana lagi...
Kepercayaan itu telah terlanjur menjauh
angin kebahagiaanpun telah lekang,
dan hatipun sudah sungkan bersatu kembali...
biarlah...
pupus sudah asa yang sempat ku asah,
namun, walau tak ada takdir lain selain menerima kenyataan pahit ini...
aku masih ingin mendo’akannya,
semoga dia baik-baik saja
Bakornas Lapmi, 17 Des ’09
Pukul, 01.35 WIB.
SAMPAH MUTIARA HIDUP
“Hal yang paling menjenuhkan adalah menunggu dalam ketidakpastian”
Kemampuan yang dimiliki manusia hanyalah ikhtiar, bukan menentukan hasil ikhtiar itu sendiri
Kesempurnaan manusia salah satunya ditandai dengan keberanian melawan ketidakmungkinan dan merubahnya menjadi kemungkinan-kemungkinan.
Belajarlah pada gerakan angin. Ia mampu menembus setiap ruang, walaupun terhalang dinding besi sekalipun
Ketahuilah, saat otak manusia betul-betul diperas, saat itu pulalah sebenarnya sumber-sumber solusi mulai mendekap
Kumpulan kaidah-kaidah kehidupan
untuk mengelupas kulit sang makna
17 Desember 2009
01.02 WIB
Kemampuan yang dimiliki manusia hanyalah ikhtiar, bukan menentukan hasil ikhtiar itu sendiri
Kesempurnaan manusia salah satunya ditandai dengan keberanian melawan ketidakmungkinan dan merubahnya menjadi kemungkinan-kemungkinan.
Belajarlah pada gerakan angin. Ia mampu menembus setiap ruang, walaupun terhalang dinding besi sekalipun
Ketahuilah, saat otak manusia betul-betul diperas, saat itu pulalah sebenarnya sumber-sumber solusi mulai mendekap
Kumpulan kaidah-kaidah kehidupan
untuk mengelupas kulit sang makna
17 Desember 2009
01.02 WIB
Wednesday, July 21, 2010
Tindakan Asusila tak Bisa Dibalas Dengan Maaf?
Oleh:Moh. Ilyas
Baru-baru ini permintaan maaf cukup ramai mewarnai pemberitaan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Ungkapan maaf paling populer adalah saat Luna Maya dan Cut Tari minta maaf. Popularitas maaf mereka tak lepas dari semakin populernya mereka pasca-beredarnya video panas mereka dengan artis tampan, Nazriel Ilham alias Ariel.
Namun permintaan maaf mereka masih sangat debatable. Sebab, mengubah paradigma dan dampak negatif video mereka bagi masyarakat Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat, terutama kaum muda dan remaja sudah terlalu jauh melampaui apa yang dibayangkan pascaberedarnya video mesum mereka. Saat ini, mereka tidak hanya menonton, tetapi sudah jauh melangkah dan bahkan mencoba meniru adegan yang mereka praktekkan
Dari sinilah persoalan maaf artis papan atas menjadi seperti kurang berarti karena dampak yang diciptakan telah begitu mencederai adat ketimuran (east culture). Kaum remaja tampak tak terlalu hirau dengan maaf itu, pikiran mereka seperti sudah terkungkung dengan praktek-praktek layaknya suami-istri di saat mereka di usia dini.
Filosofi Maaf
Minta maaf tidak dapat dipahami hanya dengan rangkaian kata secara lisan ataupun secara tulisan. Ia juga tak cukup diterjemahkan dengan wujud linangan air mata. Sebab, sesuatu yang jasadiyah dapat saja dipermainkan dan masih membuka ruang kemungkinan adanya rekayasa dan ketidakjujuran diri.
Sebagai sebuah terma tunggal, kata maaf tetap mengandung makna yang utuh. Ia tidak dapat berdiri sendiri karena secara essensial ia melingkupi segenap kepribadian manusia, baik secara fisik maupun secara mental. Artinya, maaf seseorang akan menjadi bermakna, jika disertai dengan ketulusan hati dan keinginan besar untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Pemahaman tersebut sengaja penulis analogkan dengan makna taubat dalam Islam. Alasannya, keduanya sama-sama diungkapkan dengan wujud rasa sesal atas sebuah perbuatan. Sehingga apabila ungkapan seseorang hanya dalam lisan saja atau tidak tulus untuk betul-betul berhenti dari kesalahan, maka dengan sendirinya maaf mereka menjadi gugur. Inilah kontekstualisasi makna taubat dalam firman Tuhan, 'Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang baik'.
Maaf Sosial
Seperti diberitakan berbagai media, tiga artis yang lagi ‘ngetren’ mengguncang Indonesia lewat adegan video porno. Kedua dari mereka, yakni Cut Tari dan Luna Maya telah mengucapkan kalimat maaf kepada masyarakat Indonesia melalui konferensi pers. Pertanyaannya sekarang, cukupkah maaf itu menutup imbas video mereka terhadap masyarakat?
Dalam kajian sosiologis, maaf mereka menjadi perlu diperbincangkan karena menyangkut pribadi mereka dengan sosialnya. Barangkali – pengandaian penulis – masyarakat kita tidak sulit memberikan maaf. Hanya saja, mereka akan berpikir, 'maaf sah-sah saja, tapi apakah dampak yang sudah terlalu menyebar bisa ditarik kembali?'
Dengan kata lain, maaf sosial memerlukan kesamaan dan persamaan dengan realitas yang ada. Ketika realitas sosial yang ada itu masih menandai adanya beban-beban sosial sebagai dampak dari tindakan seseorang, maka orang tersebut tidak mudah mendapatkan maaf sosial. Demikian itu menjadi semacam pameo lazim dalam alam kosmos ini.
Hal tersebut jauh berbeda dengan maaf vertikal, yakni permintaan maaf seorang manusia terhadap Tuhannya. Dalam konteks vertikal, permintaan maaf lebih mudah. Sebab, Tuhan, dengan segenap kemurahan hati-Nya akan mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Bagi Dia, kesalahan yang tidak akan diampuni hanya jika seorang hamba menyekutukan eksistensi-Nya Yang Maha Tunggal (syirik).
Meski demikian, minta maaf tetap jauh lebih baik daripada tidak minta maaf. Ia mewujud sebagai refleksi kerendahan hati seseorang. Karenanya, ia menuntun seseorang pada kekuatan, bukan kelemahan.John McCloy, seorang anggota Angkatan Laut Amerika yang telah dua kali menerima medali kehormatan, mengatakan, "Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri".
Kendati demikian, McCloy tampak tetap ingin menekankan pada aspek substansi. Artinya, maaf yang ia maksud adalah maaf yang mengedepankan inti terdalam serta nilai-nilai, bukan hanya sekedar lontaran kata yang mudah dilupakan dan orang tersebut segera kembali melakukan apa yang dimintakan maaf pada orang lain. Jika begitu, maka maafnya akan segera hilang tanpa arti.
Tentu saja masyarakat Indonesia tidak menginginkan kata maaf yang dilontarkan Cut Tari dan Luna Maya ke dalam jenis maaf yang tidak berarti itu. Masyarakat kita bisa dikatakan sangat elegan terhadap sebuah fenomena-fenomena fatal sekalipun. Meskipun awalnya melontarkan hujatan-hujatan, tapi lambat laun hujatan tersebut akan mengendor, hingga pada akhirnya akan menghilang. Inilah seberkas tradisi positif masyarakat kita yang masih tersisa.
Baru-baru ini permintaan maaf cukup ramai mewarnai pemberitaan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Ungkapan maaf paling populer adalah saat Luna Maya dan Cut Tari minta maaf. Popularitas maaf mereka tak lepas dari semakin populernya mereka pasca-beredarnya video panas mereka dengan artis tampan, Nazriel Ilham alias Ariel.
Namun permintaan maaf mereka masih sangat debatable. Sebab, mengubah paradigma dan dampak negatif video mereka bagi masyarakat Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat, terutama kaum muda dan remaja sudah terlalu jauh melampaui apa yang dibayangkan pascaberedarnya video mesum mereka. Saat ini, mereka tidak hanya menonton, tetapi sudah jauh melangkah dan bahkan mencoba meniru adegan yang mereka praktekkan
Dari sinilah persoalan maaf artis papan atas menjadi seperti kurang berarti karena dampak yang diciptakan telah begitu mencederai adat ketimuran (east culture). Kaum remaja tampak tak terlalu hirau dengan maaf itu, pikiran mereka seperti sudah terkungkung dengan praktek-praktek layaknya suami-istri di saat mereka di usia dini.
Filosofi Maaf
Minta maaf tidak dapat dipahami hanya dengan rangkaian kata secara lisan ataupun secara tulisan. Ia juga tak cukup diterjemahkan dengan wujud linangan air mata. Sebab, sesuatu yang jasadiyah dapat saja dipermainkan dan masih membuka ruang kemungkinan adanya rekayasa dan ketidakjujuran diri.
Sebagai sebuah terma tunggal, kata maaf tetap mengandung makna yang utuh. Ia tidak dapat berdiri sendiri karena secara essensial ia melingkupi segenap kepribadian manusia, baik secara fisik maupun secara mental. Artinya, maaf seseorang akan menjadi bermakna, jika disertai dengan ketulusan hati dan keinginan besar untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Pemahaman tersebut sengaja penulis analogkan dengan makna taubat dalam Islam. Alasannya, keduanya sama-sama diungkapkan dengan wujud rasa sesal atas sebuah perbuatan. Sehingga apabila ungkapan seseorang hanya dalam lisan saja atau tidak tulus untuk betul-betul berhenti dari kesalahan, maka dengan sendirinya maaf mereka menjadi gugur. Inilah kontekstualisasi makna taubat dalam firman Tuhan, 'Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang baik'.
Maaf Sosial
Seperti diberitakan berbagai media, tiga artis yang lagi ‘ngetren’ mengguncang Indonesia lewat adegan video porno. Kedua dari mereka, yakni Cut Tari dan Luna Maya telah mengucapkan kalimat maaf kepada masyarakat Indonesia melalui konferensi pers. Pertanyaannya sekarang, cukupkah maaf itu menutup imbas video mereka terhadap masyarakat?
Dalam kajian sosiologis, maaf mereka menjadi perlu diperbincangkan karena menyangkut pribadi mereka dengan sosialnya. Barangkali – pengandaian penulis – masyarakat kita tidak sulit memberikan maaf. Hanya saja, mereka akan berpikir, 'maaf sah-sah saja, tapi apakah dampak yang sudah terlalu menyebar bisa ditarik kembali?'
Dengan kata lain, maaf sosial memerlukan kesamaan dan persamaan dengan realitas yang ada. Ketika realitas sosial yang ada itu masih menandai adanya beban-beban sosial sebagai dampak dari tindakan seseorang, maka orang tersebut tidak mudah mendapatkan maaf sosial. Demikian itu menjadi semacam pameo lazim dalam alam kosmos ini.
Hal tersebut jauh berbeda dengan maaf vertikal, yakni permintaan maaf seorang manusia terhadap Tuhannya. Dalam konteks vertikal, permintaan maaf lebih mudah. Sebab, Tuhan, dengan segenap kemurahan hati-Nya akan mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Bagi Dia, kesalahan yang tidak akan diampuni hanya jika seorang hamba menyekutukan eksistensi-Nya Yang Maha Tunggal (syirik).
Meski demikian, minta maaf tetap jauh lebih baik daripada tidak minta maaf. Ia mewujud sebagai refleksi kerendahan hati seseorang. Karenanya, ia menuntun seseorang pada kekuatan, bukan kelemahan.John McCloy, seorang anggota Angkatan Laut Amerika yang telah dua kali menerima medali kehormatan, mengatakan, "Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri".
Kendati demikian, McCloy tampak tetap ingin menekankan pada aspek substansi. Artinya, maaf yang ia maksud adalah maaf yang mengedepankan inti terdalam serta nilai-nilai, bukan hanya sekedar lontaran kata yang mudah dilupakan dan orang tersebut segera kembali melakukan apa yang dimintakan maaf pada orang lain. Jika begitu, maka maafnya akan segera hilang tanpa arti.
Tentu saja masyarakat Indonesia tidak menginginkan kata maaf yang dilontarkan Cut Tari dan Luna Maya ke dalam jenis maaf yang tidak berarti itu. Masyarakat kita bisa dikatakan sangat elegan terhadap sebuah fenomena-fenomena fatal sekalipun. Meskipun awalnya melontarkan hujatan-hujatan, tapi lambat laun hujatan tersebut akan mengendor, hingga pada akhirnya akan menghilang. Inilah seberkas tradisi positif masyarakat kita yang masih tersisa.
Subscribe to:
Posts (Atom)