Welcome to Ilyas' Site

Monday, September 30, 2013

Fenomena Ahok & Komunikasi Seorang Pemimpin

Oleh:  Moh. Ilyas


Tiga hari terakhir, Jakarta gempar dengan demonstrasi penolakan terhadap Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Namun yang lebih gempar adalah 'perang dingin' antara Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, menyikapi penolakan demonstran tersebut.

Tak tanggung-tanggung, mantan Bupati Belitung Timur ini meminta Gamawan Fauzi belajar lagi konstitusi. Pernyataan ini terlontar karena Gamawan meminta Pemprov DKI mengevaluasi penetapan Susan sebagai Lurah Lenteng Agung. Menanggapi itu, Ahok bilang, "Menurut saya, Mendagri perlu belajar tentang konstitusi. Ini negara Pancasila. Bukan ditentukan oleh orang tolak, tidak tolak."

Bak berbalas pantun, Gamawan pun menanggapi pernyataan Ahok dengan serius. Ia menyebut Ahok merupakan sosok yang pongah.

"Saya kecewa atas kepongahan (kesombongan) Ahok, yang dengan membaca berita keliru menyuruh saya belajar UUD. Saya 10 tahun jadi Bupati (Solok), lima tahun jadi Gubernur (Sumbar) dan empat tahun jadi Mendagri. Sementara dia (Ahok) hanya lebih sedikit satu tahun jadi Bupati di Belitung, tapi sombongnya minta ampun," kata Gamawan.

Fenomena Ahok

Ahok telah menjadi fenomena tersendiri. Di balik ketegasannya dalam memimpin DKI, bahasanya yang lantang, keras, dan blak-blakan yang tak jarang membuat telinga panas, menjadi ciri khas tersendiri.

Secara umum memang bukan kali ini saja orang nomor 2 di DKI ini 'bertikai' dengan orang lain lantaran ucapannya yang pedas. Sejak dilantik medio Oktober 2013, komentar-komentarnya terus kontroversial dan membuat orang tersinggung. Misalnya pertikaian dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta yang membentuk Panitia Khusus Mass Rapit Transit dan Pansus Monorel. DPRD menganggap pembentukan Pansus sangat penting agar dua proyek transportasi massal di Ibu Kota itu dapat terlaksana dengan baik.

Tapi apa yang terjadi? Ahok tiba-tiba menganggap pembuatan Pansus itu hanya untuk mencari uang. Ia berkomentar, "Bagus, DPRD kan sukanya Pansus. Ya kan biar dapat honor Pansus. Pansus ada honor kan?"

Belum selesai soal ini, komentar Ahok kembali membuat pendengarnya panas-dingin. Kali ini obyek komentarnya adalah Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana yang akrab disapa dengan panggilan H. Lulung. Dalam menyikapi soal PKL di Tanah Abang, Ahok menyebut H. Lulung tidak tahu Peraturan Daerah.

"Lulung itu kan nggak ngerti peraturan Perda. Ngerti nggak sih waktu Perda itu dia yang bikin sama kami. Secara tidak langsung dia sendiri menyatakan ketidak pantasan dia sebagai Wakil DPRD DKI. Gimana kalau DPRD nya saja nggak ngerti Perda, apalagi yang melanggar Perda," kata Ahok, Juli lalu. Pernyataan ini sempat memanas dan keduanya juga sempat bersitegang.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa sekadar tegas tidak cukup bagi seorang pemimpin. Ketegasan sikap ini harus diiringi dengan penyampaian dan pola komunikasi yang baik. Ide-ide Ahok boleh saja cemerlang dalam membangun DKI. Hanya saja jika pola komunikasi yang dibangun seperti itu, dalam arti mengedepankan emosionalitas, maka ia akan mudah memutus substansi ide yang digulirkan. Dengan kata lain, masyarakat menjadi unmotivated dan cenderung tidak care terhadap idenya, karena komunikasi yang digunakan. Apalagi dalam banyak contoh, Ahok cenderung terjebak pada perdebatan personal. Ia memojokkan individu tertentu dalam upaya menjustifikasi ide yang dianggapnya benar. Akibatnya tercipta friksi-friksi yang tidak lagi berbicara gagasan, tetapi mengarah pada kebencian personal.

Komunikasi Pemimpin

Menjadi pemimpin, memang, tidak seindah dan semudah yang kita pikirkan. Di pundaknya terdapat jutaan beban sekaligus amanah orang-orang yang dipimpinnya. Tugas pemimpin, dalam situasi apapun adalah bagaimana menjalankan amanah itu dengan sebaik mungkin.

Tentu saja untuk menjalankan amanah ini membutuhkan piranti, dan di antara piranti yang utama adalah komunikasi. Komunikasi urgen karena menjadi semacam 'jembatan' bagi pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Bila pemimpin gagal membangun komunikasi yang baik dan sesuai dengan lingkungan orang-orang yang dipimpinnya, bisa dipastikan ide-ide kepemimpinannya akan sulit diterima, bahkan ditolak.

Dalam ilmu komunikasi politik, kita mengenal Teori Empati dan Teori Homofili. Dalam teori ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Selain itu, komunikasi juga didasarkan pada kesamaan (homofili) yang dipandang lebih efektif ketimbang oleh ketidaksamaan derajat, ras, agama, ideologi, simbol politik, dan seterusnya. Dengan begitu, komunikasi perlu disandarkan pada situasi tertentu sesuai dengan alam atau lingkungan di sekitar kita.

Penyesuaian ini tentu dalam upaya menyampaikan hakikat dari komunikasi itu sendiri sebagai "transfer of information". Seorang pemimpin yang tidak bisa mengalirkan ide-idenya kepada publik dengan cara yang diinginkan mereka, sesungguhnya pemimpin tersebut telah gagal melakukan komunikasi politik. Pandangan ini bila kita merujuk pada konsep dari Everett M. Rogers yang menyebut komunikasi sebagai proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka; atau konsep dari Harold Lasswell yang menyebut komunikasi dengan "Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect?" atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?

Maka, komunikasi telah menjadi tantangan pertama sekaligus utama bagi Ahok maupun pemimpin-pemimpin lainnya jika ingin mencapai sukses. Komunikasi yang baik adalah yang dapat mengalirkan ide, usulan, saran, bahkan perintah yang bisa direnungkan dan dijalankan oleh orang-orang yang dipimpinnya, sehingga bisa menghasilkan perubahan. Sikap tegas adalah keharusan bagi pemimpin, tetapi sikap itu saja tidak cukup, jika tidak disertai kearifan dan pola komunikasi yang bisa diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya, tanpa ada yang tersakiti.




* Tulisan ini dimuat sebagai Tajuk di portal online, Sayangi.com, pada Senin, 30 September 2013 18:25

Monday, September 23, 2013

Garuda Muda, "Sang Juru Selamat"


Oleh:  Moh. Ilyas

Jutaan mata menatap layar kaca. Dari kelopak mata mereka berlinang air mata, dada mereka pun berdegup kencang diselimuti kekhawatiran antara menang dan kalah. Dari mulut mereka terdengar suara-suara teriakan, "Ayoo Indonesia..."

Itulah sekilas singkat situasi masyarakat kita kala menonton Final AFF antara Timnas Indonesia U-19 melawan Timnas Vietnam U-19 di Stadion Gelora Deltra Sidoarjo, Minggu (22/9/2013) malam.

Sepintas, penggambaran di atas, terkesan agak dramatis atau bahkan bombastis, tapi sebenarnya yang terjadi memang tidak jauh dari situasi itu. Kita, masyarakat bangsa Indonesia seperti turut terlibat dalam pertempuran di lapangan hijau untuk membawa garuda terbang tinggi.

Situasi di atas bagi bangsa ini adalah wajar terjadi. Jika kita amati, kalimat di atas merupakan bentuk kerinduan anak-anak bangsa terhadap prestasi bangsanya di dunia internasional dalam segala bidang, sekecil apapun, dalam bentuk apapun, tidak hanya dalam dunia sepakbola.

Apalagi di dunia sepakbola sudah bertahun-tahun Indonesia nir prestasi. Di ajang Asian Cup, Piala Asia, Liga Champion Asia, Kualifikasi Piala Dunia, hingga Sea Games yang dipupus Malaysia di babak Final, 2011 lalu. Indonesia nyaris tak bisa dibanggakan dalam hal prestasi.

Barangkala jika kita ditanya tentang sepakbola Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, maka yang langsung tergambar di benak kita adalah konflik. Di luar isu korupsi yang merebak, adalah masalah kekacauan hingga dualisme di tubuh PSSI sebagai pengelola sepakbola Tanah Air. PSSI di satu sisi dan KPSI di sisi yang lain. Sepakbola Indonesia begitu lama mendekam di balik jeruji konflik, hingga akhirnya, setelah sekian lama meluluhlantakkan persepakbolaan Indonesia, ditemukanlah solusi meredakan konflik, sekaligus menyatukan sepakbola kita.

Dengan kembali bersatunya dua kubu yang bertikai, yakni PSSI dan KPSI, kita bisa menghirup udara segar sembari kembali mencurahkan harapan untuk kebangkitan Indonesia. Kemenangan Garuda Muda ini, adalah buah dari harapan itu.

"Juru Selamat" Bangsa

Sesaat setelah Pasukan Garuda Muda memastikan diri sebagai juara, ribuan do'a dan kalimah syukur dilontarkan. Bahkan tangis bahagia pun pecah di berbagai titik. Kegembiraan menaungi langit Indonesia.

Namun, ada sisi lain yang penulis jumpai dalam beberapa media sosial. Sebuah ungkapan semisal, "Alhamdulillah, sejenak bisa melupakan kebusukan para koruptor di Indonesia". Ada pula yang menulis, "Mari lupakan kesengsaraan rakyat sejenak, kita syukuri prestasi ini." "Saatnya rakyat melupakan naiknya harga kedelai."

Komentar-komentar ini menunjukkan bahwa dada kita sudah cukup lama sesak, bahkan hati kita cukup lama menjerit karena ketidakadilan, hukum yang diperjual-belikan, data-data kemakmuran rakyat yang hanya ditulis di balik meja, sehingga tak sesuai antara fakta banyaknya rakyat yang kelaparan dengan angka kemiskinan di Badan Pusat Statistik.

Ini belum lagi soal fakta-fakta kekecewaan terhadap politisi dan pejabat negara kita. Di saat mereka dibutuhkan rakyat, mereka ramai-ramai korupsi. Menteri korupsi, anggota DPR korupsi, PNS korupsi, bahkan pejabat sekelas guru besar pun terlibat skandal korupsi. Rakyat betul-betul shock dengan bangsanya sendiri.

Bahkan, penegak hukum pun yang mestinya menegakkan hukum juga korupsi. Inilah puncak gunung es kekecewaan rakyat. Rakyat pun kian pesimis, apa sebenarnya yang bisa dibanggakan dari bangsa ini ketika semua sektor hasil bumi dijarah secara berjamaah, ketika semua aparat negara dari presiden hingga lurah dan Ketua RT tak lagi bisa dipercaya, dan atau ketika anak-anak bangsanya dibiarkan telantar dan putus sekolah karena mahalnya biaya sekolah? Apa yang bisa dibanggakan, ketika, ketika, dan ketika.

Kita tentu tidak boleh menjadi bangsa pesimis. Tetapi, tak bisa diingkari bahwa bangsa ini tengah diselimuti berbagai kekecawaan.

Maka di saat demikian, prestasi skuad Timnas Indonesia U-19 yang menjuarai Piala AFF, menjadi pelipur lara, menjadi obat penawar, sekaligus penyelamat bangsa ini. Dengan prestasi ini, masyarakat kian percaya, bangsa ini masih bisa lebih baik, tidak hanya di sektor persepakbolaan, tetapi di berbagai sektor lainnya. Kita tetap harus menjadi bangsa yang optimis. Jayalah Garudaku! Terbanglah setinggi mungkin!

* Tulisan ini dimuat sebagai Tajuk di portal online, Sayangi.com, pada Senin, 23 September 2013 22:02

Monday, August 12, 2013

Idul Fitri, Momentum Menjadi Politisi Fitri

Oleh:  Moh. Ilyas

KITA baru saja melewati hari besar umat Islam, Lebaran Fitrah atau yang dikenal Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri ini merupakan puncak petualangan spritual seorang Hamba untuk Sang Penciptanya setelah sebulan penuh ditempa dalam goa pertapaan jasmani dan rohani.

Dalam tradisi masyarakat kita secara umum, Idul Fitri lebih diidentikkan dengan suasana pulang kampung (mudik) bagi mereka yang merantau, atau juga diterjemahkan dengan suasana pakaian baru. Bahkan, di banyak pedalaman, melaksanakan Idul Fitri tanpa mengganti pakaian baru rasanya tidak afdhal bahkan tidak absah.

Tentu ini bukan pemahaman yang keliru, namun hanya kurang tepat. Idul Fitri memang identik dengan kebaruan atau pembaruan (tajdid), tapi pembaruan yang ia tuntut adalah pada aspek ruhaniyah, bukan jasadiyah. Ia meniscayakan pembaruan iman, sebagai konsekuensi logis dari fase perjalanan manusia dalam tiga etape selama Ramadhan, yakni rahmah (kasih sayang-Nya), maghfirah (pengampunan dosa), dan 'ithqun min an-naar (penyelamatan dari api neraka).

Secara harfiah, Idul Fitri bermakna "kembali ke masa fitrah". Ini berarti bahwa manusia kembali ke sebuah masa terbaru dalam sejarah dan pengalaman hidupnya. Manusia kembali pada situasi jiwa yang suci, murni, tanpa noda seperti saat baru dilahirkan. Filusuf John Lock mengibaratkan manusia pada fase ini dengan istilah "tabula rasa", yakni ibarat kertas putih. Analog ini hendak menunjukkan sebuah situasi kertas yang masih kosong, jauh dari oretan-oretan tinta hitam. Artinya pada fase ini, kehidupan manusia bisa leluasa diisi dengan "content" baru, tanpa terganggu dengan content-content yang lain.

Dengan demikian, terminologi "baru" dalam idul fitri ini adalah kembalinya kita pada jiwa yang suci, bebas dari noda sekecil apapun. Kita telah kembali lagi menjadi pribadi yang fitri.

Politisi yang Fitri

Kembali ke masa fitrah (suci) merupakan hasil "panen" dari proses tapabrata selama sebulan "menanam" kebaikan dan ibadah di bulan puasa. Fitrah memanglah term umum yang bisa dimiliki siapa saja, terutama oleh shaim (orang yang berpuasa). Namun, fitrah juga menjadi term yang secara khusus berlaku bagi politisi.

Bagaimana masa fitrah bagi politisi? Sejak awal Ramadhan hingga saat ini, banyak politisi menggelar agenda seremonial seperti Buka Puasa Bersama, Sahur Bersama, hingga Halal Bihalal pasca-Idul Fitri. Hal ini sudah menjadi 'ritual' tahunan bagi sebagian mereka, yang tentu dengan dalih beraneka ragam, mulai dari sekadar menjalin silaturrahim hingga pada agenda-agenda politik strategis. Agenda-agenda ini bahkan tak ayal bisa menjadi pintu penyatuan agenda politik (baca: koalisi) menjelang kontestasi Pemilu dan Pilpres mendatang.

Namun hal terpenting tidak sebatas pada gegap gempita kaum politisi menyambut Ramadhan dan Idul Fitri itu. Pada tahun 2013 yang bisa disebut sebagai tahun politik ini, ada hal lain yang lebih strategis dan lebih esensial yang perlu diperhatikan, yaitu ikhtiar mereka sebagai politisi untuk kembali ke masa fitrah.

Menjadi fitri dalam konteks politik adalah mewujudkan nilai-nilai substantif dari politik itu sendiri, membawa politik ke dalam jati dirinya, yaitu sebagai alat pencipta kesejahteraan bagi rakyat. Politik, tidak semata diterjemahkan sebagaimana pandangan Harold D. Lasswell "Who get what, when, and how" atau definisi yang lebih pragmatis, "The art of possibility". Tapi lebih dari itu, politik menyangkut "polis"-nya Plato dalam menggambarkan negara kota. Politik juga mesti dimaknai sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana teori klasik Aristoteles. Oleh karenanya politik tidak akan lepas dari tanggung jawab terhadap rakyat. Keberadaannya akan senantiasa berkaitan dengan kebaikan rakyat banyak.

Inilah "makna fitrah" politik, sehingga tidak heran bila disebutkan bahwa politik pada prinsipnya suci. Namun dalam pelaksanaannya, politik selalu dikaitkan dengan cara-cara yang cenderung bebas nilai, bahkan menodai nilai-nilai agama dan kemanusiaan, yang menyebabkan bergesernya makna politik menjadi sesuatu yang selalu berkonotasi kotor.

Paling tidak, inilah potret pragmatisme politik di Indonesia. Politisi-politisi Indonesia masih cenderung memaknai dan melaksanakan politik sebagai kegiatan yang semata diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Akibatnya, substansi politik, terutama partai politik sebagai lambaga formal dari aktor-aktor politik itu terciderai. Partai politik yang di antara fungsinya sebagai "contract with people" juga sulit ditemukan.

Kenapa ini terjadi? Karena politisi kita cenderung lebih mengikuti kata kekuasaan, daripada kata rakyat sebagaimana mestinya. Politisi kita cenderung 'takluk' pada kehendak uang daripada nilai juang berupa kesejahteraan rakyat. Politisi kita telah jauh meninggalkan fitrahnya sebagai politisi.

Oleh karenanya, momentum Idul Fitri di tahun hiruk-pikuk politik ini, sejatinya menjadi ajang perbaikan sekaligus ikhtiar untuk menjadi politisi nan fitri. Bila politisi kita sudah bisa mencapai "tangga" fitrah politik ini, penulis optimis dunia politik kita ke depan akan sarat dengan warna perbaikan bangsa, bukan drama yang hanya kaya huru-hara. Perbaikan bangsa bukan hanya bergaung dalam obral-obrol janji dan pidato semata, tapi terlaksana dalam realita. Semoga!

* Tulisan ini dimuat sebagai Tajuk di portal online, Sayangi.com, pada Senin, 12 Agustus 2013 15:14

Sunday, June 30, 2013

Jalan Manusia


Jika Pramoedya Ananta Toer menulis "Bumi Manusia", layak juga digagas mengenai "jalan manusia". Jalan manusia mengupas soal etape, tahapan, sekaligus proses manusia dalam menerjemahkan kehidupan. Jalan manusia ini tidak sekadar jalan secara fisiologis, namun juga jalan psikologis.



Semakin Tahu, Manusia "Semakin Bodoh"

Lompatan Kehidupan

Oleh: Moh. Ilyas
 

Di masa kecil, kita sudah begitu sering mendengar atau pun menggunakan kata "lompatan". Terutama, bagi kita yang melalui masa kecil di perkampungan, dengan permainan khasnya, atau dengan banyak lubang yang sengaja digali untuk kebutuhan permainan kita. Wal-hasil,kita begitu "kaya" dengan suasana masa lalu yang sarat dengan penggunaan kata "lompatan".

Namun "lompatan" dalam tulisan ini tak semata ditujukan pada kata yang secara artifisial sepadan dengan kata jumping yang berarti melompat. Ia lebih diarahkan pada sebuah gerak dan proses bahwa sejatinya manusia "dilarang keras" diam menerima kenyataan sebagai sebuah kutukan. Manusia mesti menyadari bahwa dalam hidup ada tangga-tangga yang mesti dilalui, dan itu membutuhkan keberanian untuk melakukannya.

Kenapa lompatan diperlukan? Untuk menjawab ini, kita berangkat dari sebuah ibrah bahwa dalam hidup ini terdapat tangga-tangga. Ada kecil, sedang, dan besar. Ibarat angka, ia memiliki angka 1 hingga 10, atau ibarat jenjang pendidikan formal, mulai dari SD hingga SMA, yang kesemuanya diciptakan untuk membedakan tingkat ilmu pengetahuan seseorang.

Manusia membutuhkan sebuah lompatan dalam mengarungi hidup ini. Mereka tidak boleh terjebak dalam status quo, karena ia menjadikannya begitu mudah menerima kenyataan hidup tanpa ikhtiar lebih. Hidup seakan sudah final dan tidak ada impian lagi yang perlu dikejar. Jika diibaratkan pertandingan sepakbola, ketika peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup, tak ada lagi manfaat gol secantik apapun. Ia tidak bisa memengaruhi skor pertandingan.

Lompatan kehidupan ini bisa terbaca jelas pada sosok idealis dan perfeksionis. Gambaran sosok dengan dua karakter ini, tidak pernah berhenti pada satu kenyataan. Ketika ia tiba dalam satu kenyataan, maka sesungguhnya kenyataan itu seperti khayalan baginya. Ia kemudian berpikir untuk menuju kenyataan baru, kenyataan yang lebih baik, kenyataan yang lebih sempurna. Maka, dalam konteks ini, lompatan menjadi hal yang tak terelakkan untuk dilakukan.

Tentu saja setiap individu akan menemukan model lompatan yang berbeda-beda satu sama lain, karena memang lompatan itu warna-warni. Ada lompatan yang sengaja diciptakan, ada yang tidak sengaja alias mengalir dengan sendirinya, dan ada bahkan lompatan yang harus direkayasa. Dalam profesi kejurnalistikan misalnya, ada yang awalnya menjadi calon reporter, reporter, asisten redaktur, redaktur, hingga Pemred. Kendati begitu, lompatan tidak mesti "sejalur". Berbeda jalur, bukan berarti tidak mengalami lompatan. Bahkan, bukan hal mustahil, dalam jalur yang berbeda itu bisa didapat lompatan yang lebih sempurna.

Namun demikian, apapun jenis dan dinamika lompatan yang dijalani seseorang, pada akhirnya, ia akan sampai pada kenyataan baru yang biasanya lebih baik dari sebelumnya. Lompatan telah menjadi piranti manusia dalam menggapai impian baru, untuk menuju dunia baru, yang lebih baik.

Tesis "Besar" dalam "Imajinasi"

Oleh: Moh. Ilyas

Tesis. Itulah kata yang paling ditunggu sekaligus paling ditakuti oleh mahasiswa strata dua (S-2). Ditunggu, karena ia merupakan persyaratan kelulusan mahasiswa dari bangku pascasarjana. Ditakuti, karena ia merupakan tugas paling berat dari sekian banyak tugas selama berkiprah dalam dunia akademik.

Bagi mahasiswa pasca, sebenarnya membuat tesis bukan permasalahan yang perlu dilebih-lebihkan. Mereka sejatinya merasa mudah dan menganggap tugas itu hal biasa sebagai 'pintu masuk' untuk mendapatkan gelar master. Tapi kenapa kemudian tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh dan bahkan 'lempar kewajiban' dengan cara menyuruh orang lain atau 'memesan' jasa tertentu untuk menyelesaikan tugas yang mesti diselesaikannya?

Inilah persoalannya. Mahasiswa terlalu ingin lulus dengan cara mudah, sehingga praktik yang tidak terpuji pun ditempuh. Penulis menganggap meminta jasa atau orang tertentu untuk pembuatan tesis merupakan tindakan tidak terpuji, karena ia merupakan kewajiban primer bagi mereka sebagai pembuktian akan kesungguhan dan hasil dari akademik yang ditempuhnya. Dengan kata lain, bila seorang mahasiswa sudah rela memberikan tanggung jawab akademik ini kepada orang lain, sama halnya ia tidak peduli dengan akademik yang ia jalani selama di bangku kuliah.

Bila menyoroti fakta modus pemesanan pembuatan tesis melalui jasa ini, sangat mudah ditebak jika yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama saat menyelesaikan tugas skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan program sarjana (S1). Boleh jadi memang tidak memesan, tetapi skripsi yang dibuatnya tak lebih dari sekadar plagiasi alias copas (copy-paste) dari karya orang lain. Inilah cara instan yang akhirnya menciptakan karakter "penyontek" bagi mahasiswa, tak terkecuali bagi mahasiswa S2 dalam menyelesaikan tesis.

Persoalan semacam ini pula yang harus saya hindari saat ini. Meskipun kampus (FISIP UI) sudah mendesak untuk segera menyelesaikan Reading Course sebagai jembatan dasar menuju pembuatan tesis, namun saya tak bisa dengan segera memenuhinya. Terlalu banyak pilihan topik yang menggoncang kepala saya, tetapi tak ada satu pun yang saya anggap betul-betul pas. Ada banyak alasan kenapa saya menganggap tidak pas, mulai karena soal kemurnian ide, daya tarik fenomena, hingga pada aktualitas informasi dan gagasan yang hendak diusung. Beberapa di antaranya yang kini masih menggelayuti pikiran adalah soal masa depan politik partai Islam di Indonesia; persoalan demokrasi di Indonesia (Pancasila dan Islam); hingga pada status konsep "musyawarah" yang tertuang dalam Pancasila, namun "ditinggalkan" dalam praktik demokrasi saat ini.

Sepintas, ide-ide ini tampak bagus. Namun ketika disoroti lebih jauh, sudah banyak peneliti sebelumnya, baik untuk kebutuhan tesis, desertasi, maupun bentuk penelitian lainnya yang sudah "mengobrak-abrik" persoalan ini. Tapi entah, apakah masih ada sisi lain dari persoalan ini yang belum dipotret para peneliti itu, sehingga saya bisa mengambilnya? Atau saya memang harus pindah ke persoalan lain yang lebih menarik sehingga bisa menjadi buah karya alias tesis besar??? Layak ditunggu....

Semoga!!! Amien!!!

Saturday, April 27, 2013

“Pseudo Gerakan Mahasiswa”, Sebuah Sinopsis



Gerakan mahasiswa di Indonesia secara kuantitatif, masih sangat dibanggakan. Namun jika dilihat dari hasil (baca: kualitatif), gerakan mahasiswa menjadi sesuatu yang kurang bermakna. Alasannya karena aspirasi mereka yang dilakukan melalui gerakan itu hampir tidak pernah digubris oleh pemerintah atau juga penguasa.
Gerakan mahasiswa seperti hanya angin lalu. Sehingga jika pemerintah memiliki kebijakan apapun, termasuk yang kontra kepentingan rakyat sekalipun, akan tetap jalan, meskipun mahasiswa menolaknya. Mereka jarang sekali mengindahkan suara-suara ekstra-parlemen. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden yang selalu ‘menghilang’ jika mahasiswa melakukan aksi besar-besaran sebagai bentuk protes atas kepemimpinannya. Di sini terlihat, gerakan mahasiswa begitu tumpul, sehingga tak mampu membuka batin penguasa.
Kenapa ini terjadi? Karena gerakan mahasiswa tak lebih dari sekadar gerakan palsu atau pseudo-gerakan. Banyak gerakan mahasiswa yang tidak murni lahir dari nurani perubahan, tetapi hanya lahir dari faktor lain yang tidak essensial dan bahkan sangat sesaat.
Dalam konteks HMI pun demikian. Gerakan politik maupun intelektual juga mengalami pseudo. Ini bisa dilihat dari kejumudan dan kemandegan berpikir yang melanda HMI. Begitu pun dalam aspek politik, di mana politik di HMI mengalami krisis. Di saat misi HMI menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan Tauhid, justru HMI tampil dengan gaya politik jauh dari nilai-nilai itu. Politik HMI yang cenderung dekat dengan pragmatisme telah menjadi politik yang tanpa nilai.