Oleh: Moh. Ilyas
Di masa kecil, kita sudah begitu sering mendengar atau pun menggunakan kata "lompatan". Terutama, bagi kita yang melalui masa kecil di perkampungan, dengan permainan khasnya, atau dengan banyak lubang yang sengaja digali untuk kebutuhan permainan kita. Wal-hasil,kita begitu "kaya" dengan suasana masa lalu yang sarat dengan penggunaan kata "lompatan".
Namun "lompatan" dalam tulisan ini tak semata ditujukan pada kata yang secara artifisial sepadan dengan kata jumping yang berarti melompat. Ia lebih diarahkan pada sebuah gerak dan proses bahwa sejatinya manusia "dilarang keras" diam menerima kenyataan sebagai sebuah kutukan. Manusia mesti menyadari bahwa dalam hidup ada tangga-tangga yang mesti dilalui, dan itu membutuhkan keberanian untuk melakukannya.
Kenapa lompatan diperlukan? Untuk menjawab ini, kita berangkat dari sebuah ibrah bahwa dalam hidup ini terdapat tangga-tangga. Ada kecil, sedang, dan besar. Ibarat angka, ia memiliki angka 1 hingga 10, atau ibarat jenjang pendidikan formal, mulai dari SD hingga SMA, yang kesemuanya diciptakan untuk membedakan tingkat ilmu pengetahuan seseorang.
Manusia membutuhkan sebuah lompatan dalam mengarungi hidup ini. Mereka tidak boleh terjebak dalam status quo, karena ia menjadikannya begitu mudah menerima kenyataan hidup tanpa ikhtiar lebih. Hidup seakan sudah final dan tidak ada impian lagi yang perlu dikejar. Jika diibaratkan pertandingan sepakbola, ketika peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup, tak ada lagi manfaat gol secantik apapun. Ia tidak bisa memengaruhi skor pertandingan.
Lompatan kehidupan ini bisa terbaca jelas pada sosok idealis dan perfeksionis. Gambaran sosok dengan dua karakter ini, tidak pernah berhenti pada satu kenyataan. Ketika ia tiba dalam satu kenyataan, maka sesungguhnya kenyataan itu seperti khayalan baginya. Ia kemudian berpikir untuk menuju kenyataan baru, kenyataan yang lebih baik, kenyataan yang lebih sempurna. Maka, dalam konteks ini, lompatan menjadi hal yang tak terelakkan untuk dilakukan.
Tentu saja setiap individu akan menemukan model lompatan yang berbeda-beda satu sama lain, karena memang lompatan itu warna-warni. Ada lompatan yang sengaja diciptakan, ada yang tidak sengaja alias mengalir dengan sendirinya, dan ada bahkan lompatan yang harus direkayasa. Dalam profesi kejurnalistikan misalnya, ada yang awalnya menjadi calon reporter, reporter, asisten redaktur, redaktur, hingga Pemred. Kendati begitu, lompatan tidak mesti "sejalur". Berbeda jalur, bukan berarti tidak mengalami lompatan. Bahkan, bukan hal mustahil, dalam jalur yang berbeda itu bisa didapat lompatan yang lebih sempurna.
Namun demikian, apapun jenis dan dinamika lompatan yang dijalani seseorang, pada akhirnya, ia akan sampai pada kenyataan baru yang biasanya lebih baik dari sebelumnya. Lompatan telah menjadi piranti manusia dalam menggapai impian baru, untuk menuju dunia baru, yang lebih baik.
Di masa kecil, kita sudah begitu sering mendengar atau pun menggunakan kata "lompatan". Terutama, bagi kita yang melalui masa kecil di perkampungan, dengan permainan khasnya, atau dengan banyak lubang yang sengaja digali untuk kebutuhan permainan kita. Wal-hasil,kita begitu "kaya" dengan suasana masa lalu yang sarat dengan penggunaan kata "lompatan".
Namun "lompatan" dalam tulisan ini tak semata ditujukan pada kata yang secara artifisial sepadan dengan kata jumping yang berarti melompat. Ia lebih diarahkan pada sebuah gerak dan proses bahwa sejatinya manusia "dilarang keras" diam menerima kenyataan sebagai sebuah kutukan. Manusia mesti menyadari bahwa dalam hidup ada tangga-tangga yang mesti dilalui, dan itu membutuhkan keberanian untuk melakukannya.
Kenapa lompatan diperlukan? Untuk menjawab ini, kita berangkat dari sebuah ibrah bahwa dalam hidup ini terdapat tangga-tangga. Ada kecil, sedang, dan besar. Ibarat angka, ia memiliki angka 1 hingga 10, atau ibarat jenjang pendidikan formal, mulai dari SD hingga SMA, yang kesemuanya diciptakan untuk membedakan tingkat ilmu pengetahuan seseorang.
Manusia membutuhkan sebuah lompatan dalam mengarungi hidup ini. Mereka tidak boleh terjebak dalam status quo, karena ia menjadikannya begitu mudah menerima kenyataan hidup tanpa ikhtiar lebih. Hidup seakan sudah final dan tidak ada impian lagi yang perlu dikejar. Jika diibaratkan pertandingan sepakbola, ketika peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup, tak ada lagi manfaat gol secantik apapun. Ia tidak bisa memengaruhi skor pertandingan.
Lompatan kehidupan ini bisa terbaca jelas pada sosok idealis dan perfeksionis. Gambaran sosok dengan dua karakter ini, tidak pernah berhenti pada satu kenyataan. Ketika ia tiba dalam satu kenyataan, maka sesungguhnya kenyataan itu seperti khayalan baginya. Ia kemudian berpikir untuk menuju kenyataan baru, kenyataan yang lebih baik, kenyataan yang lebih sempurna. Maka, dalam konteks ini, lompatan menjadi hal yang tak terelakkan untuk dilakukan.
Tentu saja setiap individu akan menemukan model lompatan yang berbeda-beda satu sama lain, karena memang lompatan itu warna-warni. Ada lompatan yang sengaja diciptakan, ada yang tidak sengaja alias mengalir dengan sendirinya, dan ada bahkan lompatan yang harus direkayasa. Dalam profesi kejurnalistikan misalnya, ada yang awalnya menjadi calon reporter, reporter, asisten redaktur, redaktur, hingga Pemred. Kendati begitu, lompatan tidak mesti "sejalur". Berbeda jalur, bukan berarti tidak mengalami lompatan. Bahkan, bukan hal mustahil, dalam jalur yang berbeda itu bisa didapat lompatan yang lebih sempurna.
Namun demikian, apapun jenis dan dinamika lompatan yang dijalani seseorang, pada akhirnya, ia akan sampai pada kenyataan baru yang biasanya lebih baik dari sebelumnya. Lompatan telah menjadi piranti manusia dalam menggapai impian baru, untuk menuju dunia baru, yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!