Oleh: Moh. Ilyas
Di tengah polemik-polemik bangsa yang disinyalir bermuatan kriminalisasi hukum yang belakangan gencar diduga dilakukan polisi dan kejaksaan agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermunculan kembali kata-kata, ”ini negara hukum, jadi yang harus dipakai adalah logika hukum.”
Mendengar kata-kata, negara hukum, sejenak kita terhenyak mempertanyakan, benarkah negara ini negara hukum? Tentu saja pertanyaan ini bukan bermuara pada ketidaktahuan, tetapi ini murni bermuara pada rasa was-was kita ketika menilik peristiwa-peristiwa pemerkosaan hukum yang tidak hanya dilakukan oleh rakyat yang tidak mengerti hukum, melainkan oleh orang yang paling mengerti hukum itu sendiri.
Tragedi ”Cicak” versus ”Buaya” yang memuncak dengan dugaan kuat rekayasa Polisi terhadap KPK beberapa hari terakhir dapat menjadi semacam antitesis eksistensi negara hukum. Apalagi seperti yang terkuak dalam rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK), pelaku-pelaku yang terlibat kasus suap dan rekayasa hukum itu sendiri kebanyakan dari aparat Polisi dan kejaksaan, suatu institusi yang seharusnya memberikan teladan kepada publik bagaimana taat hukum, bukan justru berfikir bagaimana merusak hukum. Oleh karenanya, dalam konteks ini jargon negara hukum sangat di luar akal sehat.
Variasi modus penyelewengan hukum yang menimpa institusi penegak hukum juga makin banyak bentuknya dan makin kompleks. Ironisnya, perilaku-perilaku culas ini sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan berantai dan berulang, bukan sekadar varian-varian tindakan kasuistik.
Menurut Stephen Schafer (1974), berbagai praktik negatif di ranah penegakan hukum ini pada dasarnya merupakan law crime (tindak kriminal di bidang hukum). Di mana, dalam batas-batas tertentu, praktik ini sudah menjadi perilaku yang berpola mafia. Sebab, di dalamnya ada unsur kejahatan yang terorganisir dan terstruktur dalam kebijakan pengelolaan negara. Kejahatan ini telah menyentuh pihak-pihak yang bercokol dalam lingkar kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan pihak-pihak lainnya. Padahal, selain suara rakyat ataupun lembaga swadaya masyarakat (non governant), suara pemegang kekuasaan mestinya ada di garda terdepan.
Paul Tillich, Filsuf Amerika kelahiran Jerman, pernah menyatakan, jika tidak ada kekuasaan untuk membuat dan mengakkan hukum, negara juga tidak ada. Pernyataan ini patut direnungkan, mengingat peran penguasa, terkadang terlalu tumpul untuk diharapkan. Dalam kasus KPK – Polri misalnya, kebijakan presiden Yudhoyono dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) baru dilakukan setelah ada desakan rakyat baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Oleh karenanya, tak ayal, jika kebijakan Yudhoyono tersebut dinilai terlambat oleh beberapa kalangan.
Belum lagi suara legislatif, yakni Komisi III DPR RI. Wakil rakyat yang menangani bidang hukum tersebut dalam menyikapi kasus KPK – Polri justru terkesan sangat politis. Mereka seolah bersuara bukan atas dasar kepentingan rakyat, tetapi kepentingan penguasa, mengingat ketua komisi III berasal dari partai Demokrat, sebuah partai yang menjadi pimpinan di eksekutif dan legislatif. Jika penguasa sudah tidak berpihak pada rakyat, lantas rakyat akan mengadu pada siapa?
Mengembalikan Kepercayaan
Jalan efektif penegakan hukum adalah institusi penegak hukum harus menyembuhkan kekecewaan rakyat dan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada penegakan hukum kita. Sebab, obyek hukum itu adalah semua rakyat Indonesia. Jika rakyatnya sudah tidak percaya, bisa jadi semuanya berlomba-lomba melanggar hukum. Kondisi seperti ini tentu jauh lebih mempersulit lagi penegakan hukum.
Terutama ketika masyarakat menyaksikan begitu mudahnya hukum diatur dari belakang dan diperdagangkan. Perdagangan hukum, yang berarti hukum mudah dijual-belikan dapat menciderai kewibaan hukum, kedaulatan hukum dan supremasi hukum itu sendiri. Jika begitu, kapan terselenggaranya due process of law?
Ditambah lagi masyarakat juga menyaksikan perseteruan di antara sesama penegak hukum yang mendapat mandat dan biaya dari rakyat untuk memberantas korupsi. Sesama penegak hukum seyogyaanya bekerja sama untuk mengusut korupsi yang merugikan uang rakyat, bukan menayangkan aksi korupsi sendiri. Penegak hukum berwenang mestinya bisa menjadi juru damai dengan menerapkan hukum seadil-adilnya, bukannya bertikai sendiri dan memberikan kesan salah satu pihak telah dibeli oleh pelaku korupsi. Pertarungan sesungguhnya bukan pertarungan antar institusi yang notabene keduanya sama-sama mendapatkan mandat dari konstitusi. Tetapi pertarungan melawan tindak kriminalitas.
Oleh karena itu, sangat penting bagi penegak hukum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum kita. Dan ini dapat dilakukan jika pihak penegak hukum memulai ”mencuci” internalnya terlebih dahulu.
Sebagai pamungkas tulisan ini, kiranya pesan Socrates, seorang filsuf Eudaimonia dan guru kebajikan, akan pentingnya penegakan hukum penting direnungkan. Ia mengatakan, celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum. Sebab, hukum, kata Socrates, adalah landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan.
Sebagaimana diketahui, hingga akhir hayatnya Socrates adalah orang yang sangat mencintai penegakan hukum. Bahkan, kematian Socrates, bukan karena skandal hukum, tetapi justru karena menghormati hukum. Kata Socrates, pantang baginya untuk melecehkan hukum di negerinya; karena tahu hukum, maka ”wajib baginya menjalankan dan menghormatinya”; hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat lebih utama dari materi.
Kata-kata negara hukum yang sering disebut-sebut, tidak lebih berarti daripada penegakan hukum secara langsung. Sebab, tegaknya hukum inilah sebenarnya essensi dari negara hukum.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!