Oleh Moh. Ilyas
Kamis (11/2) kemarin menjadi hari yang sangat dinanti-nantikan oleh publik, terutama pemerhati hukum di Indonesia. Pasalnya, hari itu merupakan sidang penentuan terhadap Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, apakah ia betul-betul penyebab di balik terbunuhnya direktur PT Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen atau tidak?
Wal hasil dalam sidang tersebut diputuskan bahwa Antasari dianggap terbukti berada di balik kematian Nasruddin. Akibatnya, dia pun divonis dengan hukuman penjara 18 tahun. Tapi apa kata publik menyikapi putusan tersebut? Tentu dalam hal ini suara publik pun terpecah. Di satu sisi ada yang kagum kepada Antasari dengan menganggapnya telah berjasa memberantas jemaah korupsi di Indonesia, ketika ia sedang berada di pucuk pimpinan KPK. Bagi mereka vonis itu terasa memberatkan. Apalagi di tengah hiruk pikuk politik yang disinyalir tudingan terhadapnya pun bermuatan politis, yakni upaya pelemahan eksistensi KPK, sebagaimana terbukti terhadap dua orang rekannya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Namun di sisi lain, suara berlainan arah pun berdatangan. Mereka sepakat dengan hukuman itu. Bahkan mereka juga menganggap vonis 18 tahun itu terlalu rendah, mengingat kesalahannya adalah membunuh. Tidak sedikit dari mereka pun yang menuntunya dengan hukuman mati. Sebagian dari mereka adalah keluarga Nasruddin. Sebagian lainnya adalah orang-orang yang ”membenci” Antasari, lantaran mereka pernah terjerat hukum KPK. Sebagian dari mereka adalah politisi, pengusaha, birokrat hingga para mafioso hukum.
Sinyal Krisis Kebenaran
Metro TV, salah satu stasiun televisi swasta kita, pada Sabtu (13/2) malam menayangkan wawancara eksklusif dengan Antasari. Dalam wawancara itu, Antasari menjamin seribu persen, dirinya tidak bersalah. Bahkan ia sangat yakin, di balik tuduhan pembunuhan kepada dirinya ada skenario. Ia pun mengatakan, seandainya dirinya tidak menjadi ketua KPK, ia tak akan mengalami nasib seperti itu. Sebab, kata Antasari, sejak dia menjerat banyak koruptor, banyak pula orang yang mulai tidak suka terhadap dirinya. Benarkah pengakuan ini?
Terlepas dari benar tidaknya, namun beberapa kasus salah tangkap dan salah penanganan hukum telah berkali-kali mencoreng wajah penegakan hukum di negeri ini. Kick Andy, program spesial ala Metro TV pada Jumat (12/2) mencoba menguak krisis kebenaran dalam mengungkap fakta hukum. Dalam tayangan tersebut dihadirkan orang-orang yang pernah menjadi korban keganasan hukum yang dilanda krisis kebenaran. Beberapa dari mereka adalah Asun, Fuyangli dan Aliong. Ketiganya adalah warga Singkawang, Kalimantan yang divonis 10 tahun karena tuduhan pembunuhan. Namun, mereka pun akhirnya dinyatakan bebas setelah kuasa hukum mereka memperjuangkan keberadaan mereka sebagai orang yang tidak bersalah. Pada diri mereka tidak ditemukan bukti sedikit pun bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Mereka mendekam di penjara selama 17 bulan.
Begitu pun yang terjadi pada Imam Chambali dan Maman yang dituduh membunuh mayat yang diduga bernama Asrorul di Jombang, Jawa Timur. Mereka pun dibebaskan setelah naik banding dan diketahui secara mendalam bahwa nama mayat yang dianggap Asrorul itu bernama Fauzin Suyanto. Sedangkan nama pembunuhnya adalah Rudi Hartono.
Anehnya kasus ini terungkap bukan karena ikhtiar polisi atau pun jaksa yang meminjam bahasa Abdul Hakim Garuda Nusantara – para penegak hukum tidak mau menggali kebenaran, tapi hanya ingin mendapatkan kebenaran sesingkat mungkin dengan cara menyiksa orang yang dituduh dengan cara ditendang dan dipukul hanya agar mengakui. Walaupun mereka tidak melakukannya. Begitupun dengan kasus ”cicak versus buaya” yang menyedot perhatian publik begitu dahsyatnya. Dalam kasus tersebut, Bibit-Chandra, dua orang pimpinan KPK yang diobok-obok polisi dengan tuduhan yang gonta-ganti dan tidak jelas. Dampaknya, publik ”turun tangan” menghakimi polisi, baik melalui demonstrasi ataupun gebrakan "hakim online”. Sebuah fenomena krisis kebanaran yang merasuki penegakan hukum kita.
Krisis kebenaran dalam fakta-fakta tersebut merupakan sinyal tidak lagi ditemukannya sebuah terobosan secara serius mencari kebenaran. Dalam konteks itu status kebenaran bisa diganti-ganti. Dari putih menjadi kelabu, dari terang menjadi buram dan seterusnya. Kebenaran seperti bola di lapangan hijau yang bisa ditendang kesana-kemari sesuai dengan kehendak pemain-pemain di lapangan. Bukankah ini model mencari kebenaran di negeri ini? Barangkali kata bijak, ”Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya," yang diucapkan Ayn Rand (1905-1982), penulis kelahiran Rusia telah menjadi kenyataan. Di mana orang yang tahu kebenaran ingin menutup rapat-rapat, sementara orang yang betul-betul ingin tahu kebenaran harus bersusah-susah dahulu. Jika begitu, apakah ini juga bisa diterjemahkan dalam mencari kebenaran fakta proses penegakan hukum kita?
Pihak Ketiga
Jika apa yang diprediksi Antasari Azhar, yakni ada pihak ketiga dalam kasus yang menimpa dirinya itu benar, semua orang tentu akan sama-sama bertanya, siapakah gerangan pihak ketiga itu? Pertanyaan-pertanyaan itu pun akan melahirkan spekulasi-spekulasi jawaban tentang siapa dan siapa pihak ketiga itu.
Namun, perlu kita akui, fenomena Antasari merupakan fenomena yang sangat dekat disambungkan dengan kekuasaan. Sebab, apa yang sempat ditorehkannya saat memimpin KPK dengan menjegal para koruptor, yang kebanyakan adalah penguasa, telah membuat para penguasa-penguasa itu sakit hati. Akibatnya, orang-orang yang sakit hati bergegap gempita mengatur strategi bagaimana mengakhiri aktifitas Antasari dan bagaimana melemahkan kerja-kerja profesional KPK sebagai lembaga yang mereka takuti.
Ini pun sebenarnya masih dalam wilayah ”penjajakan spekulatif” penulis. Meski demikian, bukan hal mustahil spekulasi itu akan menemukan kesepahaman dengan fakta nantinya. Sebab, penguasa-penguasa korup itu bisa menerapkan gaya politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai kepentingannya. Selain itu, bukankah Lord Acton telah tegas mengatakan, power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely?
* Penulis adalah Peneliti Bidang Hukum di Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.
Sunday, February 14, 2010
Saturday, February 13, 2010
MENYOAL KEMBALI NEGARA HUKUM KITA
Oleh: Moh. Ilyas
Di tengah polemik-polemik bangsa yang disinyalir bermuatan kriminalisasi hukum yang belakangan gencar diduga dilakukan polisi dan kejaksaan agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermunculan kembali kata-kata, ”ini negara hukum, jadi yang harus dipakai adalah logika hukum.”
Mendengar kata-kata, negara hukum, sejenak kita terhenyak mempertanyakan, benarkah negara ini negara hukum? Tentu saja pertanyaan ini bukan bermuara pada ketidaktahuan, tetapi ini murni bermuara pada rasa was-was kita ketika menilik peristiwa-peristiwa pemerkosaan hukum yang tidak hanya dilakukan oleh rakyat yang tidak mengerti hukum, melainkan oleh orang yang paling mengerti hukum itu sendiri.
Tragedi ”Cicak” versus ”Buaya” yang memuncak dengan dugaan kuat rekayasa Polisi terhadap KPK beberapa hari terakhir dapat menjadi semacam antitesis eksistensi negara hukum. Apalagi seperti yang terkuak dalam rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK), pelaku-pelaku yang terlibat kasus suap dan rekayasa hukum itu sendiri kebanyakan dari aparat Polisi dan kejaksaan, suatu institusi yang seharusnya memberikan teladan kepada publik bagaimana taat hukum, bukan justru berfikir bagaimana merusak hukum. Oleh karenanya, dalam konteks ini jargon negara hukum sangat di luar akal sehat.
Variasi modus penyelewengan hukum yang menimpa institusi penegak hukum juga makin banyak bentuknya dan makin kompleks. Ironisnya, perilaku-perilaku culas ini sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan berantai dan berulang, bukan sekadar varian-varian tindakan kasuistik.
Menurut Stephen Schafer (1974), berbagai praktik negatif di ranah penegakan hukum ini pada dasarnya merupakan law crime (tindak kriminal di bidang hukum). Di mana, dalam batas-batas tertentu, praktik ini sudah menjadi perilaku yang berpola mafia. Sebab, di dalamnya ada unsur kejahatan yang terorganisir dan terstruktur dalam kebijakan pengelolaan negara. Kejahatan ini telah menyentuh pihak-pihak yang bercokol dalam lingkar kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan pihak-pihak lainnya. Padahal, selain suara rakyat ataupun lembaga swadaya masyarakat (non governant), suara pemegang kekuasaan mestinya ada di garda terdepan.
Paul Tillich, Filsuf Amerika kelahiran Jerman, pernah menyatakan, jika tidak ada kekuasaan untuk membuat dan mengakkan hukum, negara juga tidak ada. Pernyataan ini patut direnungkan, mengingat peran penguasa, terkadang terlalu tumpul untuk diharapkan. Dalam kasus KPK – Polri misalnya, kebijakan presiden Yudhoyono dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) baru dilakukan setelah ada desakan rakyat baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Oleh karenanya, tak ayal, jika kebijakan Yudhoyono tersebut dinilai terlambat oleh beberapa kalangan.
Belum lagi suara legislatif, yakni Komisi III DPR RI. Wakil rakyat yang menangani bidang hukum tersebut dalam menyikapi kasus KPK – Polri justru terkesan sangat politis. Mereka seolah bersuara bukan atas dasar kepentingan rakyat, tetapi kepentingan penguasa, mengingat ketua komisi III berasal dari partai Demokrat, sebuah partai yang menjadi pimpinan di eksekutif dan legislatif. Jika penguasa sudah tidak berpihak pada rakyat, lantas rakyat akan mengadu pada siapa?
Mengembalikan Kepercayaan
Jalan efektif penegakan hukum adalah institusi penegak hukum harus menyembuhkan kekecewaan rakyat dan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada penegakan hukum kita. Sebab, obyek hukum itu adalah semua rakyat Indonesia. Jika rakyatnya sudah tidak percaya, bisa jadi semuanya berlomba-lomba melanggar hukum. Kondisi seperti ini tentu jauh lebih mempersulit lagi penegakan hukum.
Terutama ketika masyarakat menyaksikan begitu mudahnya hukum diatur dari belakang dan diperdagangkan. Perdagangan hukum, yang berarti hukum mudah dijual-belikan dapat menciderai kewibaan hukum, kedaulatan hukum dan supremasi hukum itu sendiri. Jika begitu, kapan terselenggaranya due process of law?
Ditambah lagi masyarakat juga menyaksikan perseteruan di antara sesama penegak hukum yang mendapat mandat dan biaya dari rakyat untuk memberantas korupsi. Sesama penegak hukum seyogyaanya bekerja sama untuk mengusut korupsi yang merugikan uang rakyat, bukan menayangkan aksi korupsi sendiri. Penegak hukum berwenang mestinya bisa menjadi juru damai dengan menerapkan hukum seadil-adilnya, bukannya bertikai sendiri dan memberikan kesan salah satu pihak telah dibeli oleh pelaku korupsi. Pertarungan sesungguhnya bukan pertarungan antar institusi yang notabene keduanya sama-sama mendapatkan mandat dari konstitusi. Tetapi pertarungan melawan tindak kriminalitas.
Oleh karena itu, sangat penting bagi penegak hukum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum kita. Dan ini dapat dilakukan jika pihak penegak hukum memulai ”mencuci” internalnya terlebih dahulu.
Sebagai pamungkas tulisan ini, kiranya pesan Socrates, seorang filsuf Eudaimonia dan guru kebajikan, akan pentingnya penegakan hukum penting direnungkan. Ia mengatakan, celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum. Sebab, hukum, kata Socrates, adalah landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan.
Sebagaimana diketahui, hingga akhir hayatnya Socrates adalah orang yang sangat mencintai penegakan hukum. Bahkan, kematian Socrates, bukan karena skandal hukum, tetapi justru karena menghormati hukum. Kata Socrates, pantang baginya untuk melecehkan hukum di negerinya; karena tahu hukum, maka ”wajib baginya menjalankan dan menghormatinya”; hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat lebih utama dari materi.
Kata-kata negara hukum yang sering disebut-sebut, tidak lebih berarti daripada penegakan hukum secara langsung. Sebab, tegaknya hukum inilah sebenarnya essensi dari negara hukum.
Di tengah polemik-polemik bangsa yang disinyalir bermuatan kriminalisasi hukum yang belakangan gencar diduga dilakukan polisi dan kejaksaan agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermunculan kembali kata-kata, ”ini negara hukum, jadi yang harus dipakai adalah logika hukum.”
Mendengar kata-kata, negara hukum, sejenak kita terhenyak mempertanyakan, benarkah negara ini negara hukum? Tentu saja pertanyaan ini bukan bermuara pada ketidaktahuan, tetapi ini murni bermuara pada rasa was-was kita ketika menilik peristiwa-peristiwa pemerkosaan hukum yang tidak hanya dilakukan oleh rakyat yang tidak mengerti hukum, melainkan oleh orang yang paling mengerti hukum itu sendiri.
Tragedi ”Cicak” versus ”Buaya” yang memuncak dengan dugaan kuat rekayasa Polisi terhadap KPK beberapa hari terakhir dapat menjadi semacam antitesis eksistensi negara hukum. Apalagi seperti yang terkuak dalam rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK), pelaku-pelaku yang terlibat kasus suap dan rekayasa hukum itu sendiri kebanyakan dari aparat Polisi dan kejaksaan, suatu institusi yang seharusnya memberikan teladan kepada publik bagaimana taat hukum, bukan justru berfikir bagaimana merusak hukum. Oleh karenanya, dalam konteks ini jargon negara hukum sangat di luar akal sehat.
Variasi modus penyelewengan hukum yang menimpa institusi penegak hukum juga makin banyak bentuknya dan makin kompleks. Ironisnya, perilaku-perilaku culas ini sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan berantai dan berulang, bukan sekadar varian-varian tindakan kasuistik.
Menurut Stephen Schafer (1974), berbagai praktik negatif di ranah penegakan hukum ini pada dasarnya merupakan law crime (tindak kriminal di bidang hukum). Di mana, dalam batas-batas tertentu, praktik ini sudah menjadi perilaku yang berpola mafia. Sebab, di dalamnya ada unsur kejahatan yang terorganisir dan terstruktur dalam kebijakan pengelolaan negara. Kejahatan ini telah menyentuh pihak-pihak yang bercokol dalam lingkar kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan pihak-pihak lainnya. Padahal, selain suara rakyat ataupun lembaga swadaya masyarakat (non governant), suara pemegang kekuasaan mestinya ada di garda terdepan.
Paul Tillich, Filsuf Amerika kelahiran Jerman, pernah menyatakan, jika tidak ada kekuasaan untuk membuat dan mengakkan hukum, negara juga tidak ada. Pernyataan ini patut direnungkan, mengingat peran penguasa, terkadang terlalu tumpul untuk diharapkan. Dalam kasus KPK – Polri misalnya, kebijakan presiden Yudhoyono dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) baru dilakukan setelah ada desakan rakyat baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Oleh karenanya, tak ayal, jika kebijakan Yudhoyono tersebut dinilai terlambat oleh beberapa kalangan.
Belum lagi suara legislatif, yakni Komisi III DPR RI. Wakil rakyat yang menangani bidang hukum tersebut dalam menyikapi kasus KPK – Polri justru terkesan sangat politis. Mereka seolah bersuara bukan atas dasar kepentingan rakyat, tetapi kepentingan penguasa, mengingat ketua komisi III berasal dari partai Demokrat, sebuah partai yang menjadi pimpinan di eksekutif dan legislatif. Jika penguasa sudah tidak berpihak pada rakyat, lantas rakyat akan mengadu pada siapa?
Mengembalikan Kepercayaan
Jalan efektif penegakan hukum adalah institusi penegak hukum harus menyembuhkan kekecewaan rakyat dan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada penegakan hukum kita. Sebab, obyek hukum itu adalah semua rakyat Indonesia. Jika rakyatnya sudah tidak percaya, bisa jadi semuanya berlomba-lomba melanggar hukum. Kondisi seperti ini tentu jauh lebih mempersulit lagi penegakan hukum.
Terutama ketika masyarakat menyaksikan begitu mudahnya hukum diatur dari belakang dan diperdagangkan. Perdagangan hukum, yang berarti hukum mudah dijual-belikan dapat menciderai kewibaan hukum, kedaulatan hukum dan supremasi hukum itu sendiri. Jika begitu, kapan terselenggaranya due process of law?
Ditambah lagi masyarakat juga menyaksikan perseteruan di antara sesama penegak hukum yang mendapat mandat dan biaya dari rakyat untuk memberantas korupsi. Sesama penegak hukum seyogyaanya bekerja sama untuk mengusut korupsi yang merugikan uang rakyat, bukan menayangkan aksi korupsi sendiri. Penegak hukum berwenang mestinya bisa menjadi juru damai dengan menerapkan hukum seadil-adilnya, bukannya bertikai sendiri dan memberikan kesan salah satu pihak telah dibeli oleh pelaku korupsi. Pertarungan sesungguhnya bukan pertarungan antar institusi yang notabene keduanya sama-sama mendapatkan mandat dari konstitusi. Tetapi pertarungan melawan tindak kriminalitas.
Oleh karena itu, sangat penting bagi penegak hukum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum kita. Dan ini dapat dilakukan jika pihak penegak hukum memulai ”mencuci” internalnya terlebih dahulu.
Sebagai pamungkas tulisan ini, kiranya pesan Socrates, seorang filsuf Eudaimonia dan guru kebajikan, akan pentingnya penegakan hukum penting direnungkan. Ia mengatakan, celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum. Sebab, hukum, kata Socrates, adalah landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan.
Sebagaimana diketahui, hingga akhir hayatnya Socrates adalah orang yang sangat mencintai penegakan hukum. Bahkan, kematian Socrates, bukan karena skandal hukum, tetapi justru karena menghormati hukum. Kata Socrates, pantang baginya untuk melecehkan hukum di negerinya; karena tahu hukum, maka ”wajib baginya menjalankan dan menghormatinya”; hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat lebih utama dari materi.
Kata-kata negara hukum yang sering disebut-sebut, tidak lebih berarti daripada penegakan hukum secara langsung. Sebab, tegaknya hukum inilah sebenarnya essensi dari negara hukum.
HAJI DAN PERBAIKAN BANGSA
Oleh: Moh. Ilyas
Di tengah krisis moral yang melanda, bangsa ini masih perlu bersyukur karena memiliki masyarakat yang tidak hanya berjiwa sosial, tetapi juga sangat religius. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah jemaah haji kita yang selalu meningkat dalam setiap tahunnya. Tentu situasi ini memberikan harapan besar bagi masyarakat kita untuk perbaikan Indonesia di masa yang akan datang.
Harapan perbaikan itu ada karena yang melakukannya tidak lagi terbatas pada orang-orang tertentu saja, seperti pejabat negara. Tetapi sudah hampir merata di kalangan masyarakat luas. Walaupun mungkin, pejabat negara lebih memilih melalui ONH Plus.
Meski demikian, harapan tersebut tidak serta merta langsung jadi. Ia akan terjadi manakala praktek haji yang dilaksanakan mampu menembus sekat-sekat sosial negeri ini. Artinya, ibadah haji tidak hanya menjadi sekedar “prosesi pulang-pergi Mekah-Indonesia,“ atau hanya ibadah, meminjam bahasa George Antonio (1965) dalam Muslim Civilization, yang hanya disikapi secara formal ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu membumikan pesan yang ada dalam tindakan haji ke dalam kehidupan sosial praksis. Dalam konteks ini yang dapat kita lihat adalah kesalehan sosial setelah melakukan ibadah tersebut.
Meluruskan Niat
Niat sejatinya perlu ditempatkan pada posisi yang paling utama dalam pelaksanaan haji, sebab, dari niat itulah nanti yang akan berpengaruh pada proses pelaksanaan haji nantinya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, maka bukan tidak mungkin seluruh aktifitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa, melainkan hanya tinggal kenangan lelah saja. Hal ini sudah barang tentu tidak pernah diharapkan oleh orang yang melakukan ibadah haji. Karenanya, meluruskan niat merupakan hal utama yang niscaya.
Selain itu, Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Di sinilah posisi niat akan terlihat. Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melainkan surga).
Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual di dalamnya yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.
Untuk Perbaikan Bangsa
Max Weber (1958) pernah mengatakan bahwa agamalah sebenarnya yang mempunyai andil dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.
Ini bukanlah semata-mata spekulasi Weber dalam melihat peran ritual-ritual keagamaan. Ia telah melihat bahwa dari ritual keagamaan itulah sebenarnya akan tercipta tindakan-tindakan yang penuh nilai. Di mana dari tindakan itulah kualitas kehidupan juga akan semakin tercipta. Begitupun dari ritual haji ini. Ratusan ribu jemaah haji asal Indonesia dalam setiap tahunnya tidak hanya diharapkan dapat melaksanakan haji belaka. Tetapi lebih dari itu, implementasi dari ritual haji yang mereka lakukan bisa diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya, pesan-pesan ritual-ritual ibadah haji seperti kejujuran, kesucian hati, amanah, wujud kesamaan di hadapan Allah yang menyebabkan semuanya bisa berdiri sejajar serta perwujudan kesalehan sosial dapat juga dibumikan di negeri ini. Barangkali dengan cara itulah bangsa ini akan bisa diselamatkan dari krisis-krisis moral yang sedang mendera, tidak ada lagi nantinya orang yang kebal hukum, karena dapat mempermainkan penegak-penegak hukum, pun juga tidak ada lagi ketidak-adilan, di mana yang mencuri hingga triliunan rupiah bebas melenggang, semantara yang hanya mencuri senilai dua ribu saja dijerat dalam bui. Wallahua’lam bi ash-shawab.
Di tengah krisis moral yang melanda, bangsa ini masih perlu bersyukur karena memiliki masyarakat yang tidak hanya berjiwa sosial, tetapi juga sangat religius. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah jemaah haji kita yang selalu meningkat dalam setiap tahunnya. Tentu situasi ini memberikan harapan besar bagi masyarakat kita untuk perbaikan Indonesia di masa yang akan datang.
Harapan perbaikan itu ada karena yang melakukannya tidak lagi terbatas pada orang-orang tertentu saja, seperti pejabat negara. Tetapi sudah hampir merata di kalangan masyarakat luas. Walaupun mungkin, pejabat negara lebih memilih melalui ONH Plus.
Meski demikian, harapan tersebut tidak serta merta langsung jadi. Ia akan terjadi manakala praktek haji yang dilaksanakan mampu menembus sekat-sekat sosial negeri ini. Artinya, ibadah haji tidak hanya menjadi sekedar “prosesi pulang-pergi Mekah-Indonesia,“ atau hanya ibadah, meminjam bahasa George Antonio (1965) dalam Muslim Civilization, yang hanya disikapi secara formal ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu membumikan pesan yang ada dalam tindakan haji ke dalam kehidupan sosial praksis. Dalam konteks ini yang dapat kita lihat adalah kesalehan sosial setelah melakukan ibadah tersebut.
Meluruskan Niat
Niat sejatinya perlu ditempatkan pada posisi yang paling utama dalam pelaksanaan haji, sebab, dari niat itulah nanti yang akan berpengaruh pada proses pelaksanaan haji nantinya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, maka bukan tidak mungkin seluruh aktifitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan apa-apa, melainkan hanya tinggal kenangan lelah saja. Hal ini sudah barang tentu tidak pernah diharapkan oleh orang yang melakukan ibadah haji. Karenanya, meluruskan niat merupakan hal utama yang niscaya.
Selain itu, Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Di sinilah posisi niat akan terlihat. Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melainkan surga).
Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual di dalamnya yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.
Untuk Perbaikan Bangsa
Max Weber (1958) pernah mengatakan bahwa agamalah sebenarnya yang mempunyai andil dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia.
Ini bukanlah semata-mata spekulasi Weber dalam melihat peran ritual-ritual keagamaan. Ia telah melihat bahwa dari ritual keagamaan itulah sebenarnya akan tercipta tindakan-tindakan yang penuh nilai. Di mana dari tindakan itulah kualitas kehidupan juga akan semakin tercipta. Begitupun dari ritual haji ini. Ratusan ribu jemaah haji asal Indonesia dalam setiap tahunnya tidak hanya diharapkan dapat melaksanakan haji belaka. Tetapi lebih dari itu, implementasi dari ritual haji yang mereka lakukan bisa diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya, pesan-pesan ritual-ritual ibadah haji seperti kejujuran, kesucian hati, amanah, wujud kesamaan di hadapan Allah yang menyebabkan semuanya bisa berdiri sejajar serta perwujudan kesalehan sosial dapat juga dibumikan di negeri ini. Barangkali dengan cara itulah bangsa ini akan bisa diselamatkan dari krisis-krisis moral yang sedang mendera, tidak ada lagi nantinya orang yang kebal hukum, karena dapat mempermainkan penegak-penegak hukum, pun juga tidak ada lagi ketidak-adilan, di mana yang mencuri hingga triliunan rupiah bebas melenggang, semantara yang hanya mencuri senilai dua ribu saja dijerat dalam bui. Wallahua’lam bi ash-shawab.
Subscribe to:
Posts (Atom)