Judul : Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia
Penulis : AS Nugroho
Tebal : vi + 156 halaman
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009
Peresensi : Moh. Ilyas
Isu dan wacana tentang terorisme kembali menyeruak di bumi pertiwi ini, terutama setelah ledakan dua hotel internasional di Kuningan Jakarta, yaitu JW. Marriot dan Ritz-Carlton 17 Juli lalu yang langsung divonis sebagai aksi terorisme di Indonesia.
Peristiwa yang menewaskan 9 orang ditambah 50 orang luka-luka itu sungguh menjadi pukulan di tengah banyak elite politik bermanuver menduduki jabatan kabinet pemerintah 2009–2014. Sebab ia terjadi pada saat Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi Pemilu Presiden 2009 pada tanggal 08 Juli 2009. Bahkan sempat muncul kabar angin yang berusaha mengkait-kaitkan aksi terorisme tersebut dengan kasus Pilpres. Meskipun kabar angin ini langsung mereda setelah beberapa pasangan Capres-Cawapres menanggapi tudingan yang dianggap tidak berdasar itu.
Namun, terlepas dari motif penyebabnya, aksi yang menodai citra bangsa ini merupakan aksi terorisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Beberapa hari setelah tragedi pilu tersebut terungkap bahwa dalang sekaligus aktor pengeboman ini adalah Noordin Mohammad Top, seorang “pelaku lama” sekaligus buron nomor wahid di Asia Tenggara, terutama setelah tertangkapnya Dr.Azhari. Tentu saja juga ada dugaan keterlibatan Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) seperti sebelum-sebelumnya. Noordin M.Top bisa dikatakan teroris paling licin karena selalu lolos dari penggerebekan polisi. Bahkan hingga hari ini ia masih dapat menghirup udara segar di luar penjara, dan masih mungkin merekrut relawan-relawan baru untuk melakukan aksi-aksi berikutnya.
Siapakah Nordin M Top (NMT) sebenarnya, dan bagaimana sepak terjangnya di dunia terorisme?
Buku “Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia” berupaya keras menguak sedalam mungkin tentang NMT. NMT dalam buku ini digambarkan dengan sosok setinggi 173 sentimeter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki yang beralamat di Jalan Temenggung 8 No. 29, Tun Aminah, Johor ini adalah kelahiran Johor, Malaysia, 11 Agustus 1969. Ia bercambang. Logat bicaranya kental Melayu. Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktifitas. Menurut keterangan Ismail, terdakwa kasus peledakan bom di hotel JW. Marriot I, Jakarta, NMT memiliki peran yang lebih besar daripada Dr.Azhari. Jika Azhari menjadi penasehat dan perakit bom, peran NMT menjadi ketua pelaksana, merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan peledak dan penyedia tenaga bom bunuh diri. Penampilannya dalam sebuah kaset video yang ditemukan pada November 2005, lengkap dengan balaclava (topi yang biasanya digunakan di daerah dinginyang menutupi wajahnya kecuali mata dan mulut) tampaknya merupakan usaha untuk meniru video yang dibuat oleh Zarqawi, tokoh relawan AS di Irak.
Sebenarnya jika dipandang dari segala sudut, NMT ini bukanlah seorang figur yang sangat mengesankan. Sebagai seorang Muslim salafi, pengetahuan keagamaannya sangat terbatas, dan ia tidak bisa berbahasa Arab. Ia juga bukan orator ulung. Tetapi ia mempunyai kepiawaian untuk dapat mengumpulkan pengikut-pengikut yang setia yang memiliki keterampilan yang tidak ia punyai.
NMT dan para anggota intinya adalah anggota JI. Ia menjadi Direktur Pondok pesantren Luqmanul Hakim di Malaysia hingga tahun 2001, yang merupakan markas Mantiqi I, yaitu divisi JI yang meliputi wilayah Malaysia dan Singapura. Tetapi sejak aksi bom Marriot pada 2003, tampaknya secara berangsur-angsur ia telah semakin merencakan jalannya sendiri. Pada saat bom kuningan, tampaknya ia telah beroperasi sendiri di luar komando pusat JI, meskipun menurut laporan ia masih menganggap dirinya sebagai anggota JI. (61).
Memang, anggota-anggota JI yang menjadi pelaku pengeboman paling dikenal dan menjadi tokoh-tokoh teroris terkemuka di Indonesia seperti Hambali, Mukhlas, Amrozi, Ali Imran, Zulkarnaen, Faturrahman Al-Ghozi, Dulmatin, Imam Samudra, Azhari dan NMT pernah mengajar atau belajar di Luqmanul Hakiem. Dan NMT sendiri mulai mendengarkan ceramah-ceramah di situ sekitar tahun 1995, pada waktu ia sedang bersekolah untuk mengambil gelar S1 di Universitas Teknologi Malaysia yang letaknya tak jauh dari Luqmanul Hakiem. Mengenai JI di Malaysia dan Pesantren Luqmanul Hakim sendiri pada akhir 2001 berhenti beroperasi setelah digerebek oleh pemerintah Malaysia. Akibatnya, pada awal 2002 NMT pindah ke Riau, dan pada pertengahan 2002 ia dan Mohammad Rais, iparnya yang seorang WNI yang lulusan Luqmanul Hakiem pindah ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. (65).
Selain buku ini mengungkap tentang siapa dan bagaimana latar belakang pendidikan NMT dan beberapa tokoh-tokoh pengebom lainnya, buku ini juga secara detail memotret tentang peran-peran NMT dan napak tilasnya di jalan panjang dunia terorisme di Indonesia seperti tragedi-tragedi pengeboman di Marriot, Bali, Kedubes Australia dan tempat-tempat lain termasuk gereja-gereja di Indonesia.
Namun, tidak berhenti di situ, buku karya AS Nugroho ini juga memotret tentang jaringan Al-Qaeda di Indonesia, dari kemunculannya hingga keterlibatannya dalam ikut menyandang dana bom di Indonesia (13–30), tentang radikalisme Jamaah Islamiyah dari awal mula berdirinya, hingga keterlibatannya dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia, termasuk di Poso dan Maluku. (33–52), tentang NMT dan jaringan terorisme di Indonesia (57–91) dan juga tentang kematian Dr. Azhari dan gerakan terorisme pasca kematiannya (109–119). Bahkan turut disertakannya daftar sebagian kasus bom di Indonesia yang dituduhkan kepada Jamaah Islamiyah (JI), indeks nama-nama tersangka terorisme di Indonesia yang dilengkapi dengan pendidikan-pendidikannya menjadi kekuatan tersendiri dalam buku ini. Setidaknya pembaca diajak untuk mengetahui secara datatif tentang tragedi-tragedi bom di Indonesia berikut otak dan pelaku-pelakunya di balik tragedi itu.
Hanya barangkali tidak disertakannya data-data tentang motif mereka melakukan aksi terorisme bisa menjadi koreksi tersendiri terhadap kehadiran buku ini. Meski demikian kehadiran buku ini patut diapresiasi mengingat bahwa terorisme – termasuk aktornya – masih menjadi hantu dan misteri di negeri kita yang pada waktu-waktu tertentu bisa saja kembali terjadi. Oleh karenanya mengantisipasi terulangnya aksi terorisme menjadi tanggung jawab kita bersama.
Setidaknya, sebagaimana diulas dalam buku ini, ada 3 hal yang bisa kita lakukan. Pertama, terus mempersempit ruang gerak dan kesempatan teroris melakukan serangan kembali. Peran tokoh masyarakat, baik agamawan maupun lainnya multak diperlukan. Misalnya dengan memberi arahan-arahan ataupun penyadaran-penyadaran kepada masyarakat. Kedua, melakukan deteksi dini terhadap aktivitas gerakan terorisme. Peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan kepolisian perlu dimaksimalkan. Ketiga, membangun kembali kekuatan masyarakat dengan bingkai kekeluargaan, solidaritas, dan gotong royong untuk saling memabntu menghadang para teroris. Dengan cara-cara ini diharapkan tidak terjadi lagi aksi-aksi terorisme yang notabene merupakan aksi yang tidak berperikemanusiaan itu.
* Penulis adalah Pemerhati Buku, tinggal di Jakarta.
Friday, September 4, 2009
Puasa Sosial, Media Penyucian Jiwa
Jika kita mencari makna sosial puasa kita tidak akan menemukannya di dalam proses ibadah puasa itu sendiri. Sebab, puasa itu sendiri adalah ibadah yang sangat vertikal, sangat individual, dan jauh dari kontrol sosial. Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah menegaskan bahwa puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
Hal demikian berarti bahwa ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah lainnya semacam Sholat, Zakat dan Haji yang memiliki kontrol sosial secara langsung. Namun, meski puasa merupakan ibadah yang individual, namun individualitasnya tidak serta merta melepaskan diri dari ikatan sosial. Justru, essensi dan tujuannya yang membawa shaim (orang yang berpuasa) pada harkat dan martabat sosialnya. Tujuan yang sekaligus bias proses puasa itu adalah mengentalnya sense of ego (perasaan pribadi) seseorang dan tergadaikan dengan sense of social (perasaan sosial). Artinya, semakin kita berpuasa, semakin tinggi kepekaan sosial kita dan semakin kita menyadari adanya kesamaan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang biasa hidup dalam suasana lapar.
Kepekaan sosial untuk menciptakan perubahan dan keadilan sosial serta memerdekaan kaum papa atau kaum dhuafa’ merupakan serentetan makna sosial ajaran Islam yang tertera dalam ibadah puasa. Seorang intelektual kita, Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan.
Sudah mafhum bersama bahwa berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan ritual tahunan umat Islam yang diharapkan akan melahirkan suatu sikap peka terhadap identitas sosialnya. Kepekaan itu direfleksikan tidak hanya memanfaatkan bulan ini untuk meningkatkan kesalehan individualnya saja, tetapi juga kesalehan sosialnya. Sebab, bagi mereka yang melakukan ibadah puasa kesalehan individual saja tidak cukup untuk menupang kesempurnaan ibadah puasanya.
Sesungguhnya inilah yang menjadi kekhawatiran Moeslim Abdurrahman seperti dalam tulisannya, Bulan Suci Bermakna Sosial (Kompas, 22/8/2009):
“Saya takut jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya tanpa mengalirkan kesadaran yang terus menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasr dari ibadah itu sendiri bahwa “kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.
Media Penyucian Jiwa
Puasa Ramadhan kali ini memang belum sepenuhnya membahagiakan mengingat masih kuatnya sandungan-sandungan sosial seperti kelaparan, kemiskinan dan penderitaan rakyat lainnya. Anehnya, semua ini tidak selalu terjadi secara alamiah, tetapi terkadang diproduksi oleh manusia sendiri. Seperti kasus penggusuran massal oleh Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) yang cenderung tidak melihat sisi kemanusiaan hanya demi ketertiban, dan bahkan tidak sedikit penggusuran yang langsung selesai setelah penggusuran tanpa ada solusi bagi mereka yang tergusur. Kasus-kasus sosial lainnya yang juga membuat kita pilu adalah terus maraknya perampokan, pencurian, penggelapan dana-dana sosial seperti bantuan Raskin, BLT, dan bantuan-bantuan lainnya yang cenderung masih “ditebang” di tengah jalan, bahkan hingga terorisme.
Kasus terorisme yang saat ini kembali menyeruak, terutama setelah pengeboman JW.Marriot dan Ritz-Carlton Juli lalu jelas-jelas merupakan sandungan sosial yang paling membuat ngeri masyarakat kita. Selain ia telah menciderai Humanism principle (prinsip kemanusiaan), ia juga telah membangun traumatika sosial yang mendalam di hati masyarakat – untuk tidak mengatakan – “hantu” bagi masyarakat kita. Masyarakat kita selalu khawatir akan terjadinya pengeboman atau aksi-aksi terorisme lainnya yang pastinya juga akan mengenai orang-orang yang sebenarnya bukan obyek terorisme itu sendiri. Bagaimanapun kasus-kasus semacam itu harus diakui sebagai “dosa sosial”.
Oleh karenanya, momentum puasa kali ini harus terejawantah dalam rumusan “puasa sosial”. Sebab, menurut penulis sebagian besar pelaku pencurian hingga terorisme di atas adalah termasuk orang-orang yang “rajin” melakukan ibadah puasa. Dalam
pengertian, mereka para pelaku-pelaku di atas yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa mestinya meniatkan puasanya untuk kesalehan sosial, tidak hanya individual semata.
Puasa sosial inilah menjadi media untuk menyucikan jiwa para pelakunya (shaim). Tentu, puasa jenis ini tidak hanya bersandar secara definitif pada etimologi imsak, yang berarti menahan. Tetapi lebih dari itu, imsak ini harus juga diterjemahkan dengan menyucikan – meminjam Ibnu ‘Araby –delapan entitas inderawi manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan, dan hati yang berpedoman pada hadits qudsi: “mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seprti amalan wajib yang Kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau Aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakai untuk melihat; telinga-Ku dapat kau pakai untuk menengarkan. Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi dikau” (Bukhori).
Arah penyucian jiwa ini akan berdampak pada terwujudnya tindakan sosial seperti kejujuran bermasyarakat, toleran, solider, tidak menimbulkan kerusakan dan seterusnya. Dari ini diharapkan nantinya tidak ada lagi aksi terorisme, aksi mencuri, mencopet, menipu dan menggelapkan dana sosial. Demikian, agar mereka yang melakukan ibadah puasa tidak jatuh pada sebuah slogan yang merupakan kekhawatiran bagi orang yang berpuasa, “setiap tahun puasa dilakukan, tapi setiap itu pula dosa-dosa sosial terus mengalir”, atau setidaknya tidak termasuk dalam kategori hadits nabi: “betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hanya lapar dan dahaga”.
Hal demikian berarti bahwa ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah lainnya semacam Sholat, Zakat dan Haji yang memiliki kontrol sosial secara langsung. Namun, meski puasa merupakan ibadah yang individual, namun individualitasnya tidak serta merta melepaskan diri dari ikatan sosial. Justru, essensi dan tujuannya yang membawa shaim (orang yang berpuasa) pada harkat dan martabat sosialnya. Tujuan yang sekaligus bias proses puasa itu adalah mengentalnya sense of ego (perasaan pribadi) seseorang dan tergadaikan dengan sense of social (perasaan sosial). Artinya, semakin kita berpuasa, semakin tinggi kepekaan sosial kita dan semakin kita menyadari adanya kesamaan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang biasa hidup dalam suasana lapar.
Kepekaan sosial untuk menciptakan perubahan dan keadilan sosial serta memerdekaan kaum papa atau kaum dhuafa’ merupakan serentetan makna sosial ajaran Islam yang tertera dalam ibadah puasa. Seorang intelektual kita, Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan.
Sudah mafhum bersama bahwa berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan ritual tahunan umat Islam yang diharapkan akan melahirkan suatu sikap peka terhadap identitas sosialnya. Kepekaan itu direfleksikan tidak hanya memanfaatkan bulan ini untuk meningkatkan kesalehan individualnya saja, tetapi juga kesalehan sosialnya. Sebab, bagi mereka yang melakukan ibadah puasa kesalehan individual saja tidak cukup untuk menupang kesempurnaan ibadah puasanya.
Sesungguhnya inilah yang menjadi kekhawatiran Moeslim Abdurrahman seperti dalam tulisannya, Bulan Suci Bermakna Sosial (Kompas, 22/8/2009):
“Saya takut jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya tanpa mengalirkan kesadaran yang terus menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasr dari ibadah itu sendiri bahwa “kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.
Media Penyucian Jiwa
Puasa Ramadhan kali ini memang belum sepenuhnya membahagiakan mengingat masih kuatnya sandungan-sandungan sosial seperti kelaparan, kemiskinan dan penderitaan rakyat lainnya. Anehnya, semua ini tidak selalu terjadi secara alamiah, tetapi terkadang diproduksi oleh manusia sendiri. Seperti kasus penggusuran massal oleh Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) yang cenderung tidak melihat sisi kemanusiaan hanya demi ketertiban, dan bahkan tidak sedikit penggusuran yang langsung selesai setelah penggusuran tanpa ada solusi bagi mereka yang tergusur. Kasus-kasus sosial lainnya yang juga membuat kita pilu adalah terus maraknya perampokan, pencurian, penggelapan dana-dana sosial seperti bantuan Raskin, BLT, dan bantuan-bantuan lainnya yang cenderung masih “ditebang” di tengah jalan, bahkan hingga terorisme.
Kasus terorisme yang saat ini kembali menyeruak, terutama setelah pengeboman JW.Marriot dan Ritz-Carlton Juli lalu jelas-jelas merupakan sandungan sosial yang paling membuat ngeri masyarakat kita. Selain ia telah menciderai Humanism principle (prinsip kemanusiaan), ia juga telah membangun traumatika sosial yang mendalam di hati masyarakat – untuk tidak mengatakan – “hantu” bagi masyarakat kita. Masyarakat kita selalu khawatir akan terjadinya pengeboman atau aksi-aksi terorisme lainnya yang pastinya juga akan mengenai orang-orang yang sebenarnya bukan obyek terorisme itu sendiri. Bagaimanapun kasus-kasus semacam itu harus diakui sebagai “dosa sosial”.
Oleh karenanya, momentum puasa kali ini harus terejawantah dalam rumusan “puasa sosial”. Sebab, menurut penulis sebagian besar pelaku pencurian hingga terorisme di atas adalah termasuk orang-orang yang “rajin” melakukan ibadah puasa. Dalam
pengertian, mereka para pelaku-pelaku di atas yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa mestinya meniatkan puasanya untuk kesalehan sosial, tidak hanya individual semata.
Puasa sosial inilah menjadi media untuk menyucikan jiwa para pelakunya (shaim). Tentu, puasa jenis ini tidak hanya bersandar secara definitif pada etimologi imsak, yang berarti menahan. Tetapi lebih dari itu, imsak ini harus juga diterjemahkan dengan menyucikan – meminjam Ibnu ‘Araby –delapan entitas inderawi manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan, dan hati yang berpedoman pada hadits qudsi: “mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seprti amalan wajib yang Kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau Aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakai untuk melihat; telinga-Ku dapat kau pakai untuk menengarkan. Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi dikau” (Bukhori).
Arah penyucian jiwa ini akan berdampak pada terwujudnya tindakan sosial seperti kejujuran bermasyarakat, toleran, solider, tidak menimbulkan kerusakan dan seterusnya. Dari ini diharapkan nantinya tidak ada lagi aksi terorisme, aksi mencuri, mencopet, menipu dan menggelapkan dana sosial. Demikian, agar mereka yang melakukan ibadah puasa tidak jatuh pada sebuah slogan yang merupakan kekhawatiran bagi orang yang berpuasa, “setiap tahun puasa dilakukan, tapi setiap itu pula dosa-dosa sosial terus mengalir”, atau setidaknya tidak termasuk dalam kategori hadits nabi: “betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hanya lapar dan dahaga”.
Dari Gempa Menuju Taubat Nasional
Saat saya dan para peserta tengah konsentrasi mendengarkan sambutan Menko Kesra, Aburizal Bakrie Rabu lalu (02/9/2009) dalam acara Sarasehan Nasional Inovasi Usaha dan Keuangan Mikro dan peluncuran buku Dr. B.S Kusmuljono (ketua Komnas PKMI) yang bertempat di auditorium Andhiyana, Wisma Antara lantai 2 Jakarta. Tiba-tiba saya dan semua peserta kaget karena semua yang ada dalam gedung bergoyang. “gempa, gempa” teriak beberapa orang yang sadar akan adanya gempa. Apalagi di tengah-tengah teriakannya, terdengar juga suara seperti suara gedung yang hendak retak. Spontan, Pak menteri langsung menghentikan sambutannya. Kemudian dia, saya dan semua peserta, serta karyawan-karyawan gedung terhanyut dalam kepanikan massal sembari berlari dalam desakan keluar gedung. Terdengar teriakan histeris, ingat hidup dan mati, ada yang keluar sambil komat-kamit baca istighfar, shalawat dan bacaan-bacaan lainnya, dan saya masih ingat teriakan salah seorang, “apa kita mau sombong, wong disentuh sedikit aja oleh Tuhan sudah ketakutan begini”.
Goncangan gempa yang tak lama diketahui berkekuatan 7,3 SR berasal dari Tasikmalaya dan goncangannya juga sampai ke Bali dan Sumatera ternyata tidak hanya terjadi di gedung itu saja. Hampir seluruh Jakarta, terlebih gedung-gedung pencakar langit di kawasan niaga Sudirman dan Mega Kuningan terkena goncangan itu. Hingga malam harinya sekitar jam 23.30 Wib Seperti diberitakan Kompas (03/9) diketahui jumlah korban tewas mencapai 39 orang di lima wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat. 57 warga dua desa di kabupaten Cianjur Selatan terkubur reruntuhan rumah akibat diterjang longsoran tebing akibat gempa. Tercatat pula, 1.200-an rumah rusak. Yang amat disayangkan sirene peringatan gempa dan tsunami yang dipasang di pinggir pantai Pangandaran maupun pesisir selatan Tasikmalaya, Sukabumi, bahkan di pantai teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah ternyata tidak berbunyi. Penduduk melaporkan, peralatan itu sebagian dicuri orang. Penyebab kedua, goncangan gempa telah memutus aliran listrik sehingga alat tersebut tidak berfungsi.
Kejadian gempa yang saya alami di atas perlahan-lahan menyiratkan tanda tanya tersendiri dalam benak saya, kenapa gempa di negeri kita terus terjadi? Apa yang salah dari negeri ini? Apakah buminya yang sudah betul-betul labil, sehingga kerak bumi bergeser? Atau apakah karena tanahnya digerus atau hutannya yang rindang ditebang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? atau apakah karena penghuni negeri ini sudah jauh dari nilai-nilai ajaran agamanya?
Menjawab soal-soal ini di tengah hiruk-pikuk kompleksitas persoalan yang mendera negeri ini tidaklah mudah. Berbagai sisi harus diperhatikan secara seksama, apakah salah satu dari pertanyaan itu benar adanya, atau jangan-jangan semua pertanyaan itu memang benar? Melacak jawaban ini sekilas akan kita temukan titik-titik benar pertanyaan-pertanyaan di atas. Di mana bumi kita digerus, pepohonan yang diharapkan dapat menghindari longsor terutama ketika gempa ditebang, sampah-sampah pabrik dan perusahaan dibuang ke laut, dan seterusnya. Selain itu, menelisik moral bangsa kita dari berbagai sisi sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama. Kasus-kasus zina, pemerkosaan, korupsi, perampokan, penipuan, terorisme dan kekerasan, pencegalan dan lain sebagainya sudah betul-betul membumi.
Kasus korupsi misalnya, hampir setiap hari kita menonton kasus-kasus korupsi yang terjadi tidak hanya di lingkaran elit kekuasan di tingkat pusat, tetapi hingga ke daerah bahkan ke tingkat desa. Kasus terorisme yang diwarnai dengan pengeboman dan kekerasan seperti di Jakarta baru-baru ini dan yang terbaru adalah pengeboman terbaru di Poso. Kasus perzinaan tidak hanya terjadi di klub-klub malam yang tertutup di kota-kota besar, tetapi di tempat-tempat terbukapun sudah bukan rahasia lagi. Pelakunya pun sudah meningkat hingga ke bocah-bocah usia dini di sekolah tingkat pertama (SMP), bahkan hingga tingkat dasar (SD). Belum lagi jika kita mencoba “jujur” dan terbuka dengan kasus-kasus lainnya yang sebenarnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Reposisi Makna Taubat
Kata taubat berasal dari bahasa Arab dan mashdar dari kata taaba – yatuubu – taubatan yang bermakna ‘aada, yang berarti kembali. Artinya, kembali dari jalan yang tidak benar menuju jalan yang benar. Kembali dari tradisi melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dari nilai-nilai agama menuju pada tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Singkatnya, taubat berarti kembali ke hal-hal yang positif.
Dalam bahasa agama, taubat direfleksikan dengan pernyataan maaf (istighfar) seorang hamba (manusia) kepada Tuhannya dan sekaligus berjanji kepada-Nya untuk tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya.
Dalam konteks gempa, jika perbuatan manusia yang menjadi penyebab gempa itu, maka ia harus siap berhenti dan tidak mengulanginya kembali. Dengan kata lain, setelah kita semua (secara nasional) bertaubat, tidak boleh ada lagi yang namanya penggerusan bumi secara sembarangan, penebangan hutan secara liar, aksi-aksi kekerasan dan terorisme, penipuan, korupsi, perzinaan, pemerkosaan, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya di negeri ini. Sehingga negeri ini bisa terbebas dari azab (siksa) Tuhan. Taubat nasional inilah yang barangkali bisa menjadi media penyelamatan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Kalaupun setelah kita taubat dan mereevaluasi diri masih ada kejadian-kejadian semacam gempa dan lainnya, kita juga bisa memaknainya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mengetahui sejauh mana kualitas seorang hamba di hadapan-Nya, tentunya dilihat dari tingkat kesabaran hamba itu sendiri. Sebab, sebagaimana janji Tuhan (QS. 2: 155-156) bahwasanya Dia akan menguji hamba-Nya dengan rasa takut, rasa lapar, dan kemiskinan dari harta, jiwa dan buah-buahan. Berbahagialah orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang apabila datang musibah kepada mereka, mereka berserah diri kepada-Nya dan menyerahkan diri mereka serta semua apa yang mereka miliki kepada-Nya. Mereka mengatakan Inna Lillahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’un.
* Penulis adalah Peneliti pada Social and Islamic Studies (CIS) Jakarta.
Goncangan gempa yang tak lama diketahui berkekuatan 7,3 SR berasal dari Tasikmalaya dan goncangannya juga sampai ke Bali dan Sumatera ternyata tidak hanya terjadi di gedung itu saja. Hampir seluruh Jakarta, terlebih gedung-gedung pencakar langit di kawasan niaga Sudirman dan Mega Kuningan terkena goncangan itu. Hingga malam harinya sekitar jam 23.30 Wib Seperti diberitakan Kompas (03/9) diketahui jumlah korban tewas mencapai 39 orang di lima wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat. 57 warga dua desa di kabupaten Cianjur Selatan terkubur reruntuhan rumah akibat diterjang longsoran tebing akibat gempa. Tercatat pula, 1.200-an rumah rusak. Yang amat disayangkan sirene peringatan gempa dan tsunami yang dipasang di pinggir pantai Pangandaran maupun pesisir selatan Tasikmalaya, Sukabumi, bahkan di pantai teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah ternyata tidak berbunyi. Penduduk melaporkan, peralatan itu sebagian dicuri orang. Penyebab kedua, goncangan gempa telah memutus aliran listrik sehingga alat tersebut tidak berfungsi.
Kejadian gempa yang saya alami di atas perlahan-lahan menyiratkan tanda tanya tersendiri dalam benak saya, kenapa gempa di negeri kita terus terjadi? Apa yang salah dari negeri ini? Apakah buminya yang sudah betul-betul labil, sehingga kerak bumi bergeser? Atau apakah karena tanahnya digerus atau hutannya yang rindang ditebang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? atau apakah karena penghuni negeri ini sudah jauh dari nilai-nilai ajaran agamanya?
Menjawab soal-soal ini di tengah hiruk-pikuk kompleksitas persoalan yang mendera negeri ini tidaklah mudah. Berbagai sisi harus diperhatikan secara seksama, apakah salah satu dari pertanyaan itu benar adanya, atau jangan-jangan semua pertanyaan itu memang benar? Melacak jawaban ini sekilas akan kita temukan titik-titik benar pertanyaan-pertanyaan di atas. Di mana bumi kita digerus, pepohonan yang diharapkan dapat menghindari longsor terutama ketika gempa ditebang, sampah-sampah pabrik dan perusahaan dibuang ke laut, dan seterusnya. Selain itu, menelisik moral bangsa kita dari berbagai sisi sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama. Kasus-kasus zina, pemerkosaan, korupsi, perampokan, penipuan, terorisme dan kekerasan, pencegalan dan lain sebagainya sudah betul-betul membumi.
Kasus korupsi misalnya, hampir setiap hari kita menonton kasus-kasus korupsi yang terjadi tidak hanya di lingkaran elit kekuasan di tingkat pusat, tetapi hingga ke daerah bahkan ke tingkat desa. Kasus terorisme yang diwarnai dengan pengeboman dan kekerasan seperti di Jakarta baru-baru ini dan yang terbaru adalah pengeboman terbaru di Poso. Kasus perzinaan tidak hanya terjadi di klub-klub malam yang tertutup di kota-kota besar, tetapi di tempat-tempat terbukapun sudah bukan rahasia lagi. Pelakunya pun sudah meningkat hingga ke bocah-bocah usia dini di sekolah tingkat pertama (SMP), bahkan hingga tingkat dasar (SD). Belum lagi jika kita mencoba “jujur” dan terbuka dengan kasus-kasus lainnya yang sebenarnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Reposisi Makna Taubat
Kata taubat berasal dari bahasa Arab dan mashdar dari kata taaba – yatuubu – taubatan yang bermakna ‘aada, yang berarti kembali. Artinya, kembali dari jalan yang tidak benar menuju jalan yang benar. Kembali dari tradisi melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dari nilai-nilai agama menuju pada tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Singkatnya, taubat berarti kembali ke hal-hal yang positif.
Dalam bahasa agama, taubat direfleksikan dengan pernyataan maaf (istighfar) seorang hamba (manusia) kepada Tuhannya dan sekaligus berjanji kepada-Nya untuk tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya.
Dalam konteks gempa, jika perbuatan manusia yang menjadi penyebab gempa itu, maka ia harus siap berhenti dan tidak mengulanginya kembali. Dengan kata lain, setelah kita semua (secara nasional) bertaubat, tidak boleh ada lagi yang namanya penggerusan bumi secara sembarangan, penebangan hutan secara liar, aksi-aksi kekerasan dan terorisme, penipuan, korupsi, perzinaan, pemerkosaan, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya di negeri ini. Sehingga negeri ini bisa terbebas dari azab (siksa) Tuhan. Taubat nasional inilah yang barangkali bisa menjadi media penyelamatan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Kalaupun setelah kita taubat dan mereevaluasi diri masih ada kejadian-kejadian semacam gempa dan lainnya, kita juga bisa memaknainya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mengetahui sejauh mana kualitas seorang hamba di hadapan-Nya, tentunya dilihat dari tingkat kesabaran hamba itu sendiri. Sebab, sebagaimana janji Tuhan (QS. 2: 155-156) bahwasanya Dia akan menguji hamba-Nya dengan rasa takut, rasa lapar, dan kemiskinan dari harta, jiwa dan buah-buahan. Berbahagialah orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang apabila datang musibah kepada mereka, mereka berserah diri kepada-Nya dan menyerahkan diri mereka serta semua apa yang mereka miliki kepada-Nya. Mereka mengatakan Inna Lillahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’un.
* Penulis adalah Peneliti pada Social and Islamic Studies (CIS) Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)