Welcome to Ilyas' Site

Sunday, June 30, 2013

Jalan Manusia


Jika Pramoedya Ananta Toer menulis "Bumi Manusia", layak juga digagas mengenai "jalan manusia". Jalan manusia mengupas soal etape, tahapan, sekaligus proses manusia dalam menerjemahkan kehidupan. Jalan manusia ini tidak sekadar jalan secara fisiologis, namun juga jalan psikologis.



Semakin Tahu, Manusia "Semakin Bodoh"

Lompatan Kehidupan

Oleh: Moh. Ilyas
 

Di masa kecil, kita sudah begitu sering mendengar atau pun menggunakan kata "lompatan". Terutama, bagi kita yang melalui masa kecil di perkampungan, dengan permainan khasnya, atau dengan banyak lubang yang sengaja digali untuk kebutuhan permainan kita. Wal-hasil,kita begitu "kaya" dengan suasana masa lalu yang sarat dengan penggunaan kata "lompatan".

Namun "lompatan" dalam tulisan ini tak semata ditujukan pada kata yang secara artifisial sepadan dengan kata jumping yang berarti melompat. Ia lebih diarahkan pada sebuah gerak dan proses bahwa sejatinya manusia "dilarang keras" diam menerima kenyataan sebagai sebuah kutukan. Manusia mesti menyadari bahwa dalam hidup ada tangga-tangga yang mesti dilalui, dan itu membutuhkan keberanian untuk melakukannya.

Kenapa lompatan diperlukan? Untuk menjawab ini, kita berangkat dari sebuah ibrah bahwa dalam hidup ini terdapat tangga-tangga. Ada kecil, sedang, dan besar. Ibarat angka, ia memiliki angka 1 hingga 10, atau ibarat jenjang pendidikan formal, mulai dari SD hingga SMA, yang kesemuanya diciptakan untuk membedakan tingkat ilmu pengetahuan seseorang.

Manusia membutuhkan sebuah lompatan dalam mengarungi hidup ini. Mereka tidak boleh terjebak dalam status quo, karena ia menjadikannya begitu mudah menerima kenyataan hidup tanpa ikhtiar lebih. Hidup seakan sudah final dan tidak ada impian lagi yang perlu dikejar. Jika diibaratkan pertandingan sepakbola, ketika peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup, tak ada lagi manfaat gol secantik apapun. Ia tidak bisa memengaruhi skor pertandingan.

Lompatan kehidupan ini bisa terbaca jelas pada sosok idealis dan perfeksionis. Gambaran sosok dengan dua karakter ini, tidak pernah berhenti pada satu kenyataan. Ketika ia tiba dalam satu kenyataan, maka sesungguhnya kenyataan itu seperti khayalan baginya. Ia kemudian berpikir untuk menuju kenyataan baru, kenyataan yang lebih baik, kenyataan yang lebih sempurna. Maka, dalam konteks ini, lompatan menjadi hal yang tak terelakkan untuk dilakukan.

Tentu saja setiap individu akan menemukan model lompatan yang berbeda-beda satu sama lain, karena memang lompatan itu warna-warni. Ada lompatan yang sengaja diciptakan, ada yang tidak sengaja alias mengalir dengan sendirinya, dan ada bahkan lompatan yang harus direkayasa. Dalam profesi kejurnalistikan misalnya, ada yang awalnya menjadi calon reporter, reporter, asisten redaktur, redaktur, hingga Pemred. Kendati begitu, lompatan tidak mesti "sejalur". Berbeda jalur, bukan berarti tidak mengalami lompatan. Bahkan, bukan hal mustahil, dalam jalur yang berbeda itu bisa didapat lompatan yang lebih sempurna.

Namun demikian, apapun jenis dan dinamika lompatan yang dijalani seseorang, pada akhirnya, ia akan sampai pada kenyataan baru yang biasanya lebih baik dari sebelumnya. Lompatan telah menjadi piranti manusia dalam menggapai impian baru, untuk menuju dunia baru, yang lebih baik.

Tesis "Besar" dalam "Imajinasi"

Oleh: Moh. Ilyas

Tesis. Itulah kata yang paling ditunggu sekaligus paling ditakuti oleh mahasiswa strata dua (S-2). Ditunggu, karena ia merupakan persyaratan kelulusan mahasiswa dari bangku pascasarjana. Ditakuti, karena ia merupakan tugas paling berat dari sekian banyak tugas selama berkiprah dalam dunia akademik.

Bagi mahasiswa pasca, sebenarnya membuat tesis bukan permasalahan yang perlu dilebih-lebihkan. Mereka sejatinya merasa mudah dan menganggap tugas itu hal biasa sebagai 'pintu masuk' untuk mendapatkan gelar master. Tapi kenapa kemudian tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh dan bahkan 'lempar kewajiban' dengan cara menyuruh orang lain atau 'memesan' jasa tertentu untuk menyelesaikan tugas yang mesti diselesaikannya?

Inilah persoalannya. Mahasiswa terlalu ingin lulus dengan cara mudah, sehingga praktik yang tidak terpuji pun ditempuh. Penulis menganggap meminta jasa atau orang tertentu untuk pembuatan tesis merupakan tindakan tidak terpuji, karena ia merupakan kewajiban primer bagi mereka sebagai pembuktian akan kesungguhan dan hasil dari akademik yang ditempuhnya. Dengan kata lain, bila seorang mahasiswa sudah rela memberikan tanggung jawab akademik ini kepada orang lain, sama halnya ia tidak peduli dengan akademik yang ia jalani selama di bangku kuliah.

Bila menyoroti fakta modus pemesanan pembuatan tesis melalui jasa ini, sangat mudah ditebak jika yang bersangkutan juga melakukan hal yang sama saat menyelesaikan tugas skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan program sarjana (S1). Boleh jadi memang tidak memesan, tetapi skripsi yang dibuatnya tak lebih dari sekadar plagiasi alias copas (copy-paste) dari karya orang lain. Inilah cara instan yang akhirnya menciptakan karakter "penyontek" bagi mahasiswa, tak terkecuali bagi mahasiswa S2 dalam menyelesaikan tesis.

Persoalan semacam ini pula yang harus saya hindari saat ini. Meskipun kampus (FISIP UI) sudah mendesak untuk segera menyelesaikan Reading Course sebagai jembatan dasar menuju pembuatan tesis, namun saya tak bisa dengan segera memenuhinya. Terlalu banyak pilihan topik yang menggoncang kepala saya, tetapi tak ada satu pun yang saya anggap betul-betul pas. Ada banyak alasan kenapa saya menganggap tidak pas, mulai karena soal kemurnian ide, daya tarik fenomena, hingga pada aktualitas informasi dan gagasan yang hendak diusung. Beberapa di antaranya yang kini masih menggelayuti pikiran adalah soal masa depan politik partai Islam di Indonesia; persoalan demokrasi di Indonesia (Pancasila dan Islam); hingga pada status konsep "musyawarah" yang tertuang dalam Pancasila, namun "ditinggalkan" dalam praktik demokrasi saat ini.

Sepintas, ide-ide ini tampak bagus. Namun ketika disoroti lebih jauh, sudah banyak peneliti sebelumnya, baik untuk kebutuhan tesis, desertasi, maupun bentuk penelitian lainnya yang sudah "mengobrak-abrik" persoalan ini. Tapi entah, apakah masih ada sisi lain dari persoalan ini yang belum dipotret para peneliti itu, sehingga saya bisa mengambilnya? Atau saya memang harus pindah ke persoalan lain yang lebih menarik sehingga bisa menjadi buah karya alias tesis besar??? Layak ditunggu....

Semoga!!! Amien!!!