Welcome to Ilyas' Site

Tuesday, July 31, 2012

KPU dan Masa Depan Indonesia

Oleh Moh. Ilyas

(Wasekjen Eksternal PB HMI)

DALAM beberapa pekan terakhir, Panitia Seleksi (Pansel) anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menyerahkan hasil seleksinya ke tangan DPR. Pansel menyerahkan 24 nama calon, yang terdiri dari 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu.

Di tangan DPR, melalui fit and proper test (uji kelayakan) langsung ditentukan tujuh orang komisioner KPU dan lima orang anggota Bawaslu. DPR menyeleksi secara seksama nama-nama yang memang layak dalam memediatori perjalanan kepemimpinan negeri ini di masa yang akan datang. Terlepas dari proses politik, yang terkadang memuat ‘kultur negatif transaksional”, anggota KPU dan Bawaslu memiliki peran strategis dan utama kualitas pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 akan ditentukan.

Sepintas, keberadaan calon anggota KPU baru ini terlihat biasa-biasa saja, tak terlalu kuat daya tariknya bagi publik, terutama media. Ini terlihat saat proses seleksi yang tak banyak media mendengungkan. Bahkan jika dibandingkan dengan saat proses seleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa bulan lalu, proses seleksi anggota KPU ini jauh berada di bawahnya.Padahal, secara substantif, KPU memiliki peran yang sama sekali tak bisa diremehkan. KPU merupakan salah satu lembaga yang sangat kuat dalam menyongsong masa depan negeri ini.



Titik Vital KPU

Judul "KPU dan Masa Depan Indonesia" dalam tulisan ini barangkali kesannya agak berlebihan, yakni menjadikan KPU sebagai "pintu" masa depan Indonesia. Namun jika ditelisik lebih jauh, judul ini sangat layak disandingkan terhadap penyelenggara kontestasi politik lima tahunan itu. Alasannya karena KPU ibarat tiang penyangga terkuat dan determinan dalam sebuah proses demokrasi.

KPU determinan, karena ajang demokrasi, berikut dinamika-dinamika di dalamnya tak akan pernah lepas dari pantauan dan pengetahuan KPU. Bila demokrasi ternodai oleh semisal praktik-praktik 'menghalalkan segala macam cara', maka KPU akan hadir di garda terdepan dalam menyelesaikannya.

Tidak hanya itu, noda-noda terburuk Pemilu seperti penggelembungan suara, suara tidak sah, pemilih ganda, dan banyak jenis-jenis lainnya, mudah saja diketahui oleh KPU melalui laporan masyarakat terhadap Bawaslu/Panwaslu, yang kemudian dilaporkan terhadap KPU dan KPU mampu tampil tegas menyikapinya.

Dalam konteks ini, KPU menjadi 'decision maker' tunggal dalam pelaksanaan Pemilu. Sehingga bila integritas orang-orang di internal KPU bobrok, maka dapat dipastikan bahwa pelaksanaanPemilunya pun akan bobrok.

Sebut saja kisah-kisah pilu dalam proses Pemilu di tingkat pusat atau daerah, yang terkadang, harus mengorbankan nyawa. Mengapa itu terjadi? Karena seringkali dijumpai ketidakpuasan akibat pelaksanaannya yang amburadul. Pihak yang dirugikan akhirnya melakukan hakim sendiri, dengan bentrok antar-tim sukses, karena KPU tak berdaya menjadi penengah dan meniadakan pelanggaran dalam Pemilukada. Bahkan, tak sedikit KPU yang justru terperangkap dalam 'permainan', sehingga menyebabkan chaos publik.

Salah satu contoh yang mungkin dan akan terus melekat dalam benak kita adalah Pemilu 2009. Pemilihan yang dilalui melalui proses demokrasi ini justru telah menciptakan 'kegaduhan' politik, irrasionalitas politik, bahkan hingga trauma politik. Publik trauma untuk kembali terlibat dalam momentum-momentum demokrasi, karena di dalamnya banyak praktik penodaan terhadap proses demokrasi. Bahkan banyaknya pelanggaran dalam Pemilu yang mengantarkan Partai Demokrat dan Presiden SBY sebagai pemenang itu terasa telah mencabik-cabik otentisitas demokrasi yangdigambarkan dengan sebutan "Jurdil" alias jujur dan adil.Inilah yang kemudian menjadi penyebab dasar munculnya 'pengingkaran massal' terhadap KPU. Publik kecewa atas kinerja KPU yang diduga kuat telah ‘takluk’ dalam tekanan kelompok tertentu, bahkan – jika boleh disebut sebagai boneka – kelompok yang memiliki kepentingan.

Kendatipun demikian, tak banyak pihak yang hendak menguak kembali ‘drama’ Pemilu 2009 yang sangat imajinatif. Mereka yang mengerti kasus-kasus di balik drama tersebut lebih memilih diam untuk menyelamatkan bangsa. Sebab, ketika kebobrokan itu diungkap secara gambling, bukan tidak mungkin negara ini akan chaos besar. Inilah fenomena yang menjadi dampak buruk dari kinerja KPU. Maka, di sini pulalah dapat dikatakan KPU sangat berperan strategis dalam mengendalikan kepemimpinan masa depan.

Terakhir, kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjerat nama mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati adalah salah satu misal persoalan KPU yang "bejibun". Bahkan saat Nurpati tiba-tiba masuk dalam struktur DPP Partai Demokrat setahun kemudian, segera muncul pertanyaan-pertanyaan dan kecurigaan-kecurigaan, "Apakah KPU Pusat, termasuk Andi Nurpati ada kaitannya di balik kemenangan Demokrat pada Pemilu 2009?" Wallahu a’lamu bi ash-shawabi.SBY Sebagai “Produk Pemilu”

Presiden SBY boleh berbangga, karena dialah pemimpin pertama di negeri ini yang dihasilkan melalui Pemilihan Umum secara langsung. Namun rupanya proses itu belum cukup mengembirakan, sebab ia tak mampu mengemban amanah rakyat yang telah mempercayakan pemerintahan di pundaknya.Bahkan di masa kepemimpinannya yang sudah periode kedua, bukan prestasi yang terungkap ke publik, melainkan justru kegagalan-kegagalannya.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada Oktober 2011 lalu mengungkapkan temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tujuh tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). BPK menemukan penyimpangan anggaran negara sebesar Rp 103,19 triliun. Anehnya, dari temuan yang direkomendasi BPK ini, baru Rp 37,87 triliun yang ditindaklanjuti.

FITRA menyebut penyimpangan anggaran ini sebagai perampokan uang negara dan ini juga dinilai sebagai bukti bahwa selama tujuh tahun menjabat jadi presiden, SBY tidak mampu memimpin. Bahkan semakin aneh, kala temuan audit BPK seolah menjadi ritual prosedur tahunan saja dan tidak memberikan efek jera pada perampok anggaran tersebut. Padahal, audit BPK itu bisa menjadi bahan atau dasar untuk menindaklanjuti perampokan uang negara yang selama ini terjadi.

Ini masih dalam batas anggaran, belum lagi utang negara yang pada akhir 2011 lalu mencapai Rp 1.803,49 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 126,64 triliun, dibandingkan 2010 yang mencapai Rp 1.676,85 triliun. Bukan tidak mungkin pada tahun ini, jumlah utang negara bisa tembus Rp 2.000 triliun. Padahal di masa kepemimpinan Megawati pada 2003 lalu, utang negara sebesar Rp 1.232 triliun.

Mengapa ini terjadi? Ini disebabkan karena negeri ini seperti tak punya pemimpin, alias pemimpinnya seperti sedang 'tidur' dalam mengurus negaranya. Bagaimana tidak, pemerintah selalumelakukan ‘gali lobang’ untuk membiayai negaranya. Negeri yang kaya tak dimanfaatkan secara optimal. Pakar Ekonomi  Kwik Kian Gie, mengatakan, minusnya pemasukan negara dalam rangka penyusunan APBN membuat pemerintah selalu menutupinya dengan cara utang-berhutang (LN, Lembaga Donor, World Bank, dan lain-lain). (Arrahmah.com, 23/11/2011).
Ini belum lagi soal kepemimpinan SBY yang selalu mengandalkan citra dan mengobral janji, namun tidak menunaikannya menjadi kenyataan. Akibatnya kesengsaraan rakyat tak pernah selesai dan rakyat nyaris tak pernah puas dengan kepemimpinan SBY. Hal ini pun mengundang perhatian sejumlah tokoh agama yang telah menyebut rezim SBY sebagai "Rezim Pembohong".
Data-data ini menunjukkan bahwa kepemimpinan SBY yang dilahirkan dari proses demokrasi masih sangat mengecewakan. Sehingga pemimpin produk demokrasi pun tak bisa dijadikan ukuran akan kualitas kepemimpinan.

Kendati demikian, penulis tidak mencoba menggugat dan menafikan peran demokrasi. Demokrasi telah tampil sebagai alternatif di tengah maraknya kepemimpinan monarki dan absolut. Hal ini pun berlaku di Indonesia.

Namun dalam konteks Indonesia ini, yang layak disorot barangkali bukanlah penerapan demokrasi, melainkan orientasi demokrasi yang hanya terpusat pada tujuan, bukan proses. Padahal proses itulah yang mesti dihargai.

Pandangan ini sangat mungkin juga melanda KPU yang lebih menekankan pada tujuan. Ketidakprofesionalan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu cenderung tidak lagi menghargai proses jujur dan adil sebagaimana mestinya, tetapi sekadar menyukseskan penyelenggaraan Pemilu dengan terpilihnya pemimpin tertentu. Wal-hasil, KPU mesti profesional, menghargai proses demokrasi secara jujur dan adil dan tidak mememihak siapapun. Jika KPU tidak mampu tampil demikian, masa depan kepemimpinan nasional yang prosesnya melalui KPU, masih akan terus buram.

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Medium

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!