Welcome to Ilyas' Site

Wednesday, August 19, 2009

PUASA DAN SENSE OF SOLIDARITY

Rasulullah SAW. Bersabda: “barang siapa berpuasa di bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan kesadaran (mengharap pahala), diampunilah dosa-dosa terdahulu (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
***
Kehidupan manusia tiap saat selalu berbenturan dan berelasi dengan unsur positif dan negatif. Relasi yang pertama (positif) mengartikan dan membawa pada keberuntungan bagi pelakunya. Akan tetapi relasi yang kedua (negatif) akan menjadi penghambat perjalanan spritual manusia untuk menuju Rabb, Sang penciptanya. Kejelekan ini akan meniscayakan sebuah perubahan dan pencerahan kembali (re-enlighment) bagi manusia dengan melakukan tapabrata. Yang dalam bahasa agama tapabrata dalam bulan Ramadhan disebut shaum (puasa).
Pertapaan yang disebut shaum ini dilakukan selama satu bulan di bulan ramadhan agar semua perbuatan dan perilaku manusia yang menyimpang atau kebiasaan dalam mantaati hawa nafsu dapat disucikan kembali. Terutama kejelekan yang establishment (mendarah daging) menjadi noda-noda dan bintik-bintik hitam hati yang kemudian melebur menjadi dosa dapat mengembalikan manusia sebagai subjek semua itu pada keadaan fitrah (suci) dengan pengampunan Allah terhadap dosa-dosa manusia yang telah berlalu. Sebagaimana penjelasan Hadits di atas.
Bagaimana peran shaum (puasa) secara fungsional dapat melakukan penyucian jiwa? Tentu puasa di sini bukan hanya puasa dalam arti lughawi al-imsak, yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tetapi al-imsak mesti diartikan menahan dari yang membatalkan keabsahan puasa dari segi batini atau dimensi esoterik dari puasa dan segi dzahiri atau dimensi eksoterik puasa.
Penyucian yang dilakukan dengan puasa jenis ini memberikan artikulasi keseimbangan kesucian antara batin dan dzahir. Dengan mengikuti prinsip Ibnu ‘Araby tentang perintah menyucikan delapan self hood (entitas insaniyah) manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan hati yang berpedoman pada Hadits Qudsi: “Mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seperti amalan wajib yang kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakau untuk melihat (waskita); telinga-Ku pun dapat kau pakai untuk mendengarkan (wisik). Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi kamu.(HR. Bukhori). (Islam dinamis, 2001).

Sense Of Solidarity
Islam sebagai agama kemanusiaan selalu memiliki identitas nilai di mata pemeluknya. Dan ia akan lebih diperhatikan sebagai nilai plus dan mutu tinggi serta akan menjadi high bargaining (nilai tawar tinggi) tentu jika memberikan manfaat secara taken for granted kepada pemeluknya dalam membina hubungan vertikal dan horizontal. Agama ini secara general memberikan argumen ketuhanan dengan melakukan hubungan spritual dan mengungkapkan nilai spritual itu dalam realitas horontal (sosial).
Hal ini secara mendasar juga dikukuhkan dengan doktrin-doktrin yang menjadi landasan utama dalam Islam yang kesemuanya merujuk pada dimensi sosial. Begitulah kiranya Islam begitu mementingkan aspek sosial. Syahadat, kalimat persaksian dalam Islam yang melibatkan orang lain. sholat lebih afdhal dilaksanakan seara berjama’ah. Zakat tentu saja obyeknya adalah al-mustahiqqun (orang-orang yang berhak menerima zakat) dan apalagi haji sudah barang tentu diketahui dan disaksikan oleh khalayak ramai. Bahkan Nabi pernah seketika mempercepat sholatnya karena mendengar anak kecil menangis. Sebegitu tingginya peran sosial yang terkandung dalam inti ajaran Islam tersebut.
Lalu bagaimana dengan puasa?
Puasa secara kategoris berbeda dengan 4 aspek Islam lainnya. Ia merupakan ibadah yang sangat pribadi dan tidak mengandung kontrol sosial dalam pelaksanaannya. Artinya shaim (orang yang berpuasa) tidak bisa diketahui orang lain bahwa sedang berpuasa. Rasa capek, lapar, dahaga dan sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan orang yang berpuasa, meski semua itu termasuk cirinya. Bisa jadi seseorang yang merasakan rasa tersebut adalah Mufthir (orang yang tidak berpuasa). Dan sangat mungkin sekali shaim meski ia berpuasa tetap tegar karena kuatnya raja’ atau harapan akan rahmat dan ampunan Allah yang dijanjikan untuk orang yang berpuasa.
Maka dari itu, privasi puasa bagi yang melakukannya meniscayakan kesadaran akan ke-Maha-hadiran Allah yang menembus batas ruang dan waktu. Karenanya, yang memperoleh pahala puasa itu berbeda dengan pahala ibadah-ibadah lainnya. Kalau ibadah-ibadah selain puasa, pahalanya akan diperoleh langsung oleh pelakunya. Sedangkan kalau dalam ibadah puasa, ‘Ibad hanyalah sebagai subyek ibadah itu seja. Allah-lah yang memiliki ibadah itu dan Dia pulalah yang akan membalasnya. Tertera dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya”(HR. Thabrani).
Akan tetapi, kalau kita kaji lebih mendalam di balik kepribadian puasa itu terkandung kepedulian rasa sosial (sense of social) yang sangat tinggi. perasaan ini timbul sebab adanya laku “penderitaan” fisik dari tiap-tiap muslim yang mengantarkan pada kesamaan cipta, rasa dan karsa. Sehingga dorongan solidaritas dan persaudaraan sesama manusia semakin tinggi. kondisi ini yang kemudian menciptakan rasa solidaritas (sense of solidarity) antar sesama dan self restrain (pengendalian diri) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, efek puasa sebenarnya mengalir dari level individual kepada level sosial. Dan kedudukannya pun bukan semata-mata cultus privatus, tetapu juga cultus publicus.

Dari Musibah Ke Perbaikan Bangsa
Tidak kurang dari 5 musibah besar sejak Desember 2004 melanda Indonesia. Mulai dari Aceh, Sumatera, Jember, Jogja, Pangandaran dan Sidoarjo yang hingga kini belum ditemukan solusi penyelesaian musibah yang berupa lumpur panas tersebut secara pasti. Ratusan ribu nyawa melayang, ribuan rumah hilang dan rusak, ribuan anak menjadi Yatim dalam musibah tersebut.
Kejadian-kejadian ini cukup menggugah terhadap stabilitas bangsa dari berbagai dimensi. Khususnya dimensi ekonomi yang menjadi mainstream utama dalam perwujudan kesejahteraan bangsa menuju yang lebh ideal. Maka tentunya musibah ini memberikan pelajaran berharga terhadap kita bersama untuk merenung, berfikir dan bertafakkur terhadap kekuasaan dan kehendak Sang Maha Kuasa dengan melakukan introspeksi diri, perbaikan perilaku dengan tidak berbohong, dalam sikap memimpin, sikap dipimpin, sikap berpolitik yang tidak sewenang-wenang, menggantinya dengan sikap solider, jujur, bekerja untuk kepentingan bersama (bukan untuk pribadi dan golongan), toleran dalm pegaulan dan tidak arogan.
Musibah-musibah itu memang pahit. Namun, perlu kita hadap i secara sabar dan optimis bahwa di balik musibah itu terdapat hikmah (wisdom), terutama untuk perbaikan bangsa ke depan. Justru fenomena yang mesti lebih diperhatikan lagi adalah kondisi bangsa yang kian hari kian tercemar statusnya. Pencemaran ini tidak lain disebabkan karena ulah sebagian besar pelaku-pelaku bangsa yang sudah terjebak pada vested interest, provide oriented dalam setiap kerjanya. Hal ini kemudian menjadi alasan maraknya berbagai bentuk keculasan politik, tindak korupsi, tindak kriminal, penyelewengan dana umat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, sebagai refleksi bulan puasa kali ini, kita bangun kembali bangsa ini dari keterpurukan rohani, rasa krisis (sense of crisis) yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang telah memporak-porandakan bangsa ini, sekaligus menjauhakn bangsa ini dari kategori bangsa yang diistilahkan Al-Qur'an sebagai bangsa yang baik dan diampuni Tuhan (Baldatun Thooyyibatun Wa Robbun Ghafur) (Q.S. Saba’/ 34: 15).

Tuesday, August 4, 2009

MENEMUKAN KEMBALI JATI DIRI KEMERDEKAAN

Tanggal 17 Agustus kemarin tanpa terasa bangsa kita telah masuk pada usia ke 63 tahun kemerdekaan. Sebuah usia yang telah menuntun bangsa ini pada dinamika perubahan, dinamika kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat. Hampir semua rakyat negeri ini berharap dari dinamika tersebut akan lahir kehidupan baru sebagai jati diri kemerdekaan yang merangkum kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.
Namun, harapan itu hingga hari ini masih menjadi teka teki. Tujuan sekaligus jati diri yang diimpi-impikan dari kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 ini seolah “hilang” di mata rakyat. Hingga hari ini begitu banyak rakyat yang masih sengsara, menderita, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan indikasi bahwa kemerdekaan yang kita agung-agungkan masih dalam tataran “kulit’ saja, belum pada “isi”. Konteks “isi” akan dicapai apabila individu-individu di negeri ini telah mencapai kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Artinya, kemerdekaan hakiki akan dicapai apabila tataran “kulit” dan “isi” kemerdekaan itu sudah secara universal dicapai, tidak partikular.
Nah, sekarang pertanyaannya, kenapa kemerdekaan yang masih bersifat partikular atau masih disebut-sebut pada tataran kulit saja ini terus terjadi, apa penyebabnya?
Persoalan ini tentu tak dapat dijawab dari satu sudut pandang saja. Berbagai aspek penting yang menyangkut sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dst. Mesti ditelaah kembali. Meski hanya satu sektor yang paling dominan – misalnya – tapi pada dasarnya sektor-sektor tersebut saling berkaitan, sehingga tak dapat dipisahkan satu sama lain. Kalau penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan rakyat yang dijadikan sampel, maka sektor ekonomi yang paling dominan. Tetapi, di samping itu, ada mata rantai sektor-sektor lain yang juga mempengaruhi. Jelasnya, pasti ada something wrong yang turut mengubur cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Berkaitan dengan ini, ada baiknya jika kita mencoba mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Menteri Agama, H. Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu seperti diberitakan harian Kompas (11/08). Dia mengatakan bahwa banyaknya orang belum menikmati kemerdekaan hingga kini disebabkan perpecahan, belenggu kesesatan, dan suburnya praktek korupsi.
Pernyataan tersebut sangat bersinergi dengan persoalan di atas, yakni berkaitan dengan banyaknya masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan. Dengan bahasa berbeda, makna “belum menikmati” dapat kita terjemahkan “belum merdeka” dalam rasa, dan hati. Mungkin, secara fisik bangsa ini memang telah merdeka, tetapi secara mental, secara psikologis, yang menyangkut substansi kemerdekaan itu sendiri belum terasa. Kalau dzahirnya saja yang merdeka, belum batinnya, maka kemerdekaan hanya menjadi sekedar konstruks dzahiriyah, belum mampu menjadi bangunan batiniyah yang bisa langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat bangsa ini. Karenanya, kemerdekaan tidak lebih hanya sebagai barang langka yang bisa dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja. Bagi mereka yang telah menikmati hidup dengan gelimang harta, kekayaan, kesejahteraan, kedamaian, keadilan, serta kemakmuran, maka kemerdekaan pantas disandangkan pada mereka. Tetapi bagi mereka yang menapaki hidup dalam penderitaan, kesusahan, kemalaratan, dan kemiskinan, maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan lebih setengah abad itu kuranglah berarti bagi mereka. Bahkan mereka bisa berfikir, bahwa adanya kemerdekaan hampir mirip dengan tidak adanya kemerdekaan.
Karenanya, pernyataan Maftuh tersebut patut diapresiasi dan dicarikan solusi, agar kemerdekaan yang telah terlalu “diagung-agungkan” betul-betul memiliki makna terhadap semua masyarakat negeri ini tanpa terkecuali.
Alasan “tidak menikmati” di atas di antaranya karena adanya perpecahan, praktek korupsi, itu memang benar. Masyarakat kita terlalu “suka” dengan suasana kemelut ketimbang suasana damai, terlalu senang berpecah belah daripada bersatu. Bagaimana perpecahan yang menyangkut perorangan, ataupun kelompok-kelompok tertentu yang akhir-akhir gencar mengisi telinga dan tatapan mata kita? Kita tentu masih ingat dengan “pertikaian” atas nama aliran pemahaman agama antara beberapa ormas Islam – di antaranya Front Pembela Islam (FPI)” – dengan Ahmadiyah dengan bentuk pengrusakan dan atau pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah, tragedi kekerasan antara Aliansi Kerukunan dan Keyakinan Antar Umat Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan FPI di Monumen Nasional (Monas) awal Juni lalu. Perseteruan wilayah politik dan pilkada. Kasus “pertikaian” internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar yang cukup “membengkakkan” telinga kita, ataupun persoalan Pilkada dengan bentuk ketidak puasan pihak tertentu sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan. Anehnya, pihak media terpancing dengan suasana konflik itu, sehingga diblow-up secara besar-besaran di media masing. Seandainya, media mengekspose yang lebih bermanfaat kepada rakyat (pembaca), misalnya, upaya membangun bangsa, upaya mengentaskan kemiskinan, upaya meminimalisir tindak kriminal, dst. Tentu akan lebih bernilai terutama dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Sementara persoalan yang tak kalah kuatnya menciptakan keterpurukan di Indonesia ini adalah maraknya kasus-kasus korupsi mulai dari pusat hingga ke daerah, bahkan lembaga-lembaga tinggi negara sekalipun, seperti Mahkamah Agung yang menyeret Artalyta Suryani (Ayin) dalam kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan, di DPR RI, Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan, Azirwan, yang terlibat dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, kepulauan Riau. Ada pula Bulyan Royan yang tertangkap atas kasus suap Tender Pengadaan Kapal Patroli Dirjen Dephub, belum dengan kasus BLBI yang mencapai hingga triliunan rupiah itu. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pengadaan barang dan jasa saja dana Rp.400 triliun yang dianggarkan pemerintah kepada tiap departemen/ instansi baik di pusat atau di daerah sebanyak 30 persen selalu mengalami kebocoran akibat dikorupsi. (Pelita, 22/07/2008).
Begitu tinggi tingkat korupsi di negeri ini, dan begitu luas penyebaran para koruptornya. Dalam hal ini istilah “Korupsi Berjemaah” dari Amien Rais ataupun istilah “ditebang satu, tumbuh seribu” itu memang tepat menggambarkan gemparnya kasus-kasus korupsi yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Ditangkap satu koruptor, muncul koruptor-koruptor lain yang sudah siap menggantikan posisinya sebagai orang yang merugikan jutaan rakyat itu. Negeri ini memang pas dikatakan lumbung para koruptor.
Jika persatuan dan kesatuan makin dihindari dengan selalu berpecah belah, dan praktek korupsi terus mengalir deras, seakan menjadi sesuatu yang legitimated bagi para pelakunya, bagaimana ruang kemerdekaan sejati akan terwujud? dan bagaimana mungkin wacana kemerdekaan yang terus berkelindan ini dapat diterapkan dan diisi sebaik mungkin jika kita, pemerintah kita, wakil kita di DPR, terus dikebiri dengan persoalan-persoalan semacam itu? Bukan tidak mungkin retorika kemerdekaan ke depan akan semakin usang dan semakin meninggalkan substansinya.
Maka, agar kemerdekaan betul-betul menemukan arah dan isinya, hal-hal yang dapat menghambat perjalanan stabilitas negara, termasuk perilaku korupsi dan pertikaian/ perpecahan yang menciderai persatuan dan kesatuan harus segera diakhiri. Kalau perpecahan harus segera dicarikan upaya mendinginkan suasananya, bukan malah makin “dikompori” oleh pihak-pihak tertentu. Sedangkan kalau perilaku korupsi harus ditindak seberat-beratnya, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Hal ini jika mengacu pada UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1, di mana pidana mati dapat dijatuhkan jika pidana korupsi dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ini bertujuan agar para pelakunya jera dan betul-betul takut akan resiko yang bakal diterimanya. Cara ini juga dilakukan agar aset-aset negara ke depan bisa diselamatkan, dan perekonomian negara juga semakin stabil, dan dengan begitu maka jati diri kemerdekaan akan lebih mudah ditemukan, di mana ketika itu rakyat merasakan betul apa arti kemerdekaan itu.