"Hendaklah seseorang melihat masa lalu untuk hari esok" (al-ayat)
Masa lalu, masa yang memiliki makna tersendiri dalam sejarah perjalanan panjang manusia. Ada yang merindukan, mengenang, atau yang sekadar berangan-angan. Ada pula yang segenap kehidupannya diikhtiarkan untuk 'tidak berbeda' dengan masa tempo dulu. Di sisi lain, ada pula yang tidak peduli dengan masa lalu dengan segala tetek bengek argumentasinya.
Tapi, sebenarnya tak ada masalah dengan semua itu. Sebab masing-masing individu memiliki 'ways' untuk merengkuh jalannya sendiri-sendiri.
Begitupun dengan petualangan hidupku. Hari ini, aku mengekspose sebuah tabligh akbar di Islamic Center Jakarta, di Koja. Berbagai tradisi keislaman ditampilkan, seperti pembacaan al-Qur'an secara Qiroah, pembacaan tahlil, hingga pembacaan sholawatun nabawiyah ataupun nasyidah islamiyah.
Dua shalawat atau nasyid Islami yang sempat aku dengar adalah dua sholawat yang tidak asing sama sekali di telingaku. Bahkan, aku masih menghafalnya, keduanya termaktub dalam dua bait berikut:
"Sholatun Minallah wa Alfa Salam
Ala al-Musthofa Ahmad Syarifil Maqom"
"Annabi Shollu Alaih, Sholawatullahi Alaihi
Wa Yanalu al-Barakah Kullu Man Sholla Alaihi"
Tentu saja karena hafalanku masih tak lekang dengan bait-bait itu, mampu merajut ingatanku kembali ke masa lalu, masa di mana aku ditempa dan digembleng dengan tradisi-tradisi agama yang kuat hingga kalimat-kalimat yang diidentikkan dengan Islam.
Aku kembali ingat sejarah hidupku di PP Miftahul Ulum Sumber Jati, tempat aku belajar agama di desaku, di PP Darul Ulum Banyuanyar, tempat aku nyantri selama tiga tahun, dan di PP Bustanul Ulum Mlokorejo, Jember, tempat aku mengabdi sebagai 'guru tugas' dari PP Darul Ulum itu.
Bagiku, mengingat itu semua menghadirkan arti tersendiri, baik sebagai kenangan sejarah hingga sebagai refleksi agar hari ini dan esok bisa lebih baik dari hari kemarin. Ini berangkat dari sebuah dawuh nabi, "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia telah merugi".
Islamic Center Jakarta, 8/8/'10
Pukul 11.33 WIB
Saturday, September 18, 2010
Gemerlap Bundaran HI
Tak ada yang menyangkal jika dikatakan bahwa Bundaran Hotel Indonesia merupakan tempat berbagai aktifitas anak-anak negeri, mulai dari tempat syuting, demonstrasi, berjualan, hingga sekadar santai dan berfoto-foto.
Hampir 24 jam penuh bundaran yang di tengahnya berdiri patung pasangan lelaki-perempuan itu dipadati para pengunjung. Di siang hari, ia menjadi tempat strategis, terutama untuk melampiaskan aspirasi, kejengkelan anak-anak bangsa terhadap penguasa negeri ini melalui semisal bentuk aksi. Sedangkan di malam hari, ia menjadi "taman" penumpahan kepengapan Jakarta di siang hari. Tempat itu menjadi tempat tumpuan strategis karena memang lokasinya di pusat kota.
Namun, suasana di malam hari, tempat yang berlokasi di Jalan MH Thamrin itu berbeda dengan siang hari. Suasana malam hari, terutama lepas dari pukul 23.00, kesejukan dan keindahan tampak lebih mudah untuk dinikmati di kawasan tersebut. Di samping bebas dari polusi kendaraan, juga sinar-sinar gemerlap ibu kota terlihat indah.
Pancaran keindahan juga semakin dikukuhkan dengan lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit yang memukau. Dari kejauhan terlihat nama Hotel Indonesia Kempinski, Mandarin Oriental Jakarta, Deutsche Bank, ANZ, bii, Hyatt, dan Grand Indonesia Shopping Town. Semuanya dengan indah terlihat dari pancaran khas lampu gedung-gedung itu.
Pagi ini, tepat pukul 01.00, kami sudah di Bundaran Hotel Indonesia. Dari - rencana - ke Taman Menteng Jakarta, kami beralih ke Bundaran HI dengan bertujuh, yakni Dadang Nurjaman, Rizky Wahyuni, Jaya, Hurri Rauf, Achmad Syarifudin, dan saya sendiri. Kesemuanya berangkat dari Bakornas LAPMI PB HMI.
Sesampainya di HI, kami langsung melampiaskan berbagai aktifitas santai dan refreshing, seperti berfoto-foto, berncanda ria, hingga pada akhirnya, sebagian dari kami 'iseng' dengan cara mengamen sembari menyanyikan lagu-lagu seputar kemerdekaan. Maklum, karena kami baru datang dari pembacaan puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi Malam Merah Putih di Taman Ismail Marzuki.
Di beberapa sudut bundaran tersebut, terlihat aktivitas-aktivitas yang tidak ingin melewati suasana malam hari. Sebagian mereka memotret dua patung di ujung tiang, yang dikelilingi kolam air tepat di tengah-tengah bundaran. Sebagian lagi memilih 'beristirahat' sambil tiduran di pinggir kolam itu. Aneka aktifitas itu semakin menambah gemerlapnya tempat yang, dirindukan banyak orang itu.
Bundaran HI, Ahad, 8/8/'10
Pukul 01.31 WIB
Hampir 24 jam penuh bundaran yang di tengahnya berdiri patung pasangan lelaki-perempuan itu dipadati para pengunjung. Di siang hari, ia menjadi tempat strategis, terutama untuk melampiaskan aspirasi, kejengkelan anak-anak bangsa terhadap penguasa negeri ini melalui semisal bentuk aksi. Sedangkan di malam hari, ia menjadi "taman" penumpahan kepengapan Jakarta di siang hari. Tempat itu menjadi tempat tumpuan strategis karena memang lokasinya di pusat kota.
Namun, suasana di malam hari, tempat yang berlokasi di Jalan MH Thamrin itu berbeda dengan siang hari. Suasana malam hari, terutama lepas dari pukul 23.00, kesejukan dan keindahan tampak lebih mudah untuk dinikmati di kawasan tersebut. Di samping bebas dari polusi kendaraan, juga sinar-sinar gemerlap ibu kota terlihat indah.
Pancaran keindahan juga semakin dikukuhkan dengan lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit yang memukau. Dari kejauhan terlihat nama Hotel Indonesia Kempinski, Mandarin Oriental Jakarta, Deutsche Bank, ANZ, bii, Hyatt, dan Grand Indonesia Shopping Town. Semuanya dengan indah terlihat dari pancaran khas lampu gedung-gedung itu.
Pagi ini, tepat pukul 01.00, kami sudah di Bundaran Hotel Indonesia. Dari - rencana - ke Taman Menteng Jakarta, kami beralih ke Bundaran HI dengan bertujuh, yakni Dadang Nurjaman, Rizky Wahyuni, Jaya, Hurri Rauf, Achmad Syarifudin, dan saya sendiri. Kesemuanya berangkat dari Bakornas LAPMI PB HMI.
Sesampainya di HI, kami langsung melampiaskan berbagai aktifitas santai dan refreshing, seperti berfoto-foto, berncanda ria, hingga pada akhirnya, sebagian dari kami 'iseng' dengan cara mengamen sembari menyanyikan lagu-lagu seputar kemerdekaan. Maklum, karena kami baru datang dari pembacaan puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi Malam Merah Putih di Taman Ismail Marzuki.
Di beberapa sudut bundaran tersebut, terlihat aktivitas-aktivitas yang tidak ingin melewati suasana malam hari. Sebagian mereka memotret dua patung di ujung tiang, yang dikelilingi kolam air tepat di tengah-tengah bundaran. Sebagian lagi memilih 'beristirahat' sambil tiduran di pinggir kolam itu. Aneka aktifitas itu semakin menambah gemerlapnya tempat yang, dirindukan banyak orang itu.
Bundaran HI, Ahad, 8/8/'10
Pukul 01.31 WIB
Friday, September 10, 2010
Kemerdekaan Verbal?
Sejak 17 Agustus kemarin, negeri ini genap berusia 65 tahun, sebuah usia yang sudah begitu tua. Bahkan, lebih tua dari rata-rata umat pasca-Muhammad yang rata-rata berada dalam kisaran 63 tahun.
Tentu usia yang sudah tak muda lagi itu begitu membanggakan bagi kita, karena kita masih mampu mempertahankan kemerdekaan hingga hari ini. Namun, di sisi lain, kita perlu bersedih hati, sebab dari usia yang begitu panjang itu masih begitu banyak masalah-masalah negeri ini yang tak terselesaikan. Bahkan, bisa dikatakan, kian hari kian bertambah.
Lantas, apakah kemerdekaan yang ada selama ini hanyalah kemerdekaan verbal yang tak menyentuh ke relung-relung substansi persoalan negeri ini? Menjawab pertanyaan itu, tentu banyak indikator yang mesti dijadikan tolak ukur. Jika indikatornya adalah tegaknya keadilan, kebenaran, dan kejujuran, mungkin lebih tepat jika kita menyebut bahwa kemerdekaan masih terlalu jauh dari jiwa negeri ini.
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terus digalakkan hingga merubah pemandangan Indonesia menjadi lebih molek, memang memiliki nilai estetik tersendiri. Tetapi keindahan itu tidak mampu menutup kebohongan dan ketidak-adilan yang terus mendera negeri ini. Betapa banyak, orang-orang yang sering menjadi korban ketidak-adilan? Betapa banyak pula kebohongan-kebohongan yang telah mencoreng wajah hukum di negeri ini?
Saat skandal korupsi menjadi sesuatu yang tidak lagi asing bin ajaib di semua segmen kehidupan, saat masyarakat dianggap menjadi korban kebijakan yang tidak sosialis dalam konteks ledakan tabung gas, dan di saat penguasa dan politisi hanya mementingkan 'perut'-nya dan kelompoknya saja. Sementara jauh dari pikiran dan pandangan mereka rakyat miskin sedang menjerit, menangisi naiknya harga bahan pokok yang kian mencekik leher mereka. Inikah kemerdekaan?
Dulu para founding father kita merebut kemerdekaan dengan melawan penjajahan kaum imperialis dan kolonialis. Mereka begitu tulus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia, hingga pada 17 Agustus 1945, mereka betul-betul mendapatkan kemerdekaan. Namun setelah itu, hingga hari ini, tak ada lagi bentrokan fisik dengan penjajah untuk merebutnya. Hari ini, kita hanya bisa mengisi, mengemas, dan merasakan apakah kemerdekaan negeri ini betul-betul terwujud dalam makna yang sesungguhnya?
Kemerdekaan yang sebenarnya itu ada bukan dari seberapa banyak bendera-bendera merah putih dipasang di pinggir jalan, atau bukan dari seberapa teratur barisan dan pasukan pengibar bendera merah putih saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun negeri ini. Jika masyarakatnya telah sejahtera, hukum telah ditegakkan secara benar dan adil, rakyat menjadi target utama pembangunan, dan ekonomi pasar sudah betul-betul memudahkan kehidupan masyarakatnya, maka itulah kemerdekaan yang sebenarnya.
Masyarakat, terutama orang miskin, tak perlu obralan janji pemimpin-pemimpinnya. Mereka juga tak butuh pidato-pidato presiden yang piawai dengan sistematika kebahasaannya, namun kosong realisasinya. Mereka juga tak berminat dengan gaya-gaya polisi, hakim, dan jaksa yang selalu memelintir hukum yang benar dengan nominal angka (Rp) yang mereka terima. Inilah wajah bopeng kemerdekaan kita, wajah kemerdekaan yang masih sangat verbal.
Dalam hal ini, kemerdekaan hanya menjadi retorika sejarah yang terus digulirkan, tapi tak memiliki identitas. Perayaannya pun yang setiap tahun digelar juga hanya menjadi ritualitas kosong yang tak punya substansi dalam mewujudkan negeri ini.
Gemar Seremonial
Jika kita perhatikan secara seksama, ada tradisi di negeri ini yang sudah mengkarakter dalam otak dan jiwa masyarakatnya. Ia menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan borjuis (rakyat), hingga kaum proletar, bahkan sekelas presiden pun juga hanyut dalam tradisi ini. Inilah tradisi kegemaran terhadap seremonial.
Sepintas tradisi ini terlihat tidak jelek, bahkan, terkadang, menimbulkan semangat baru, tetapi kenyataan yang cenderung terjadi adalah meaningless. Begitu banyak seremonial digelar besar-besaran, bahkan hingga menghabiskan miliaran rupiah, tetapi nyaris tak ada makna di balik seremonial itu. Dengan kata lain, selesai sebuah seremonial diadakan, selesai pula makna di baliknya dan hilanglah essensinya.
Untuk sekadar mengingat, betapa banyak kegiatan kepresidenan digelar, tapi nyaris tak ada perubahan berarti terhadap negeri ini. Betapa sering konferensi pers dan pidato kepresidenan dilakoni, tapi hasilnya nihil. Begitupun di tingkatan wilayah dan daerah dengan intensitas kegiatan gubernur dan bupati/wali kota yang hanya mengandalkan seremonial semata.
Tradisi ini, menurut penulis, perlu dirubah dan diganti dengan yang lebih bermakna. Untuk apa menggagas ataupun mengadakan sesuatu yang melangit jika orang-orang dibumi tak dapat menggapainya. Dengan kata lain, seremonial dan pidato-pidato yang hanya ditangkap dengan telinga tapi setelah itu hilang akan lebih baik jika langsung bisa menembus rasa orang-orang tidak mampu, dengan kegiatan yang dampaknya langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Wallahu a'lamu bi as-shawab
Tentu usia yang sudah tak muda lagi itu begitu membanggakan bagi kita, karena kita masih mampu mempertahankan kemerdekaan hingga hari ini. Namun, di sisi lain, kita perlu bersedih hati, sebab dari usia yang begitu panjang itu masih begitu banyak masalah-masalah negeri ini yang tak terselesaikan. Bahkan, bisa dikatakan, kian hari kian bertambah.
Lantas, apakah kemerdekaan yang ada selama ini hanyalah kemerdekaan verbal yang tak menyentuh ke relung-relung substansi persoalan negeri ini? Menjawab pertanyaan itu, tentu banyak indikator yang mesti dijadikan tolak ukur. Jika indikatornya adalah tegaknya keadilan, kebenaran, dan kejujuran, mungkin lebih tepat jika kita menyebut bahwa kemerdekaan masih terlalu jauh dari jiwa negeri ini.
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terus digalakkan hingga merubah pemandangan Indonesia menjadi lebih molek, memang memiliki nilai estetik tersendiri. Tetapi keindahan itu tidak mampu menutup kebohongan dan ketidak-adilan yang terus mendera negeri ini. Betapa banyak, orang-orang yang sering menjadi korban ketidak-adilan? Betapa banyak pula kebohongan-kebohongan yang telah mencoreng wajah hukum di negeri ini?
Saat skandal korupsi menjadi sesuatu yang tidak lagi asing bin ajaib di semua segmen kehidupan, saat masyarakat dianggap menjadi korban kebijakan yang tidak sosialis dalam konteks ledakan tabung gas, dan di saat penguasa dan politisi hanya mementingkan 'perut'-nya dan kelompoknya saja. Sementara jauh dari pikiran dan pandangan mereka rakyat miskin sedang menjerit, menangisi naiknya harga bahan pokok yang kian mencekik leher mereka. Inikah kemerdekaan?
Dulu para founding father kita merebut kemerdekaan dengan melawan penjajahan kaum imperialis dan kolonialis. Mereka begitu tulus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia, hingga pada 17 Agustus 1945, mereka betul-betul mendapatkan kemerdekaan. Namun setelah itu, hingga hari ini, tak ada lagi bentrokan fisik dengan penjajah untuk merebutnya. Hari ini, kita hanya bisa mengisi, mengemas, dan merasakan apakah kemerdekaan negeri ini betul-betul terwujud dalam makna yang sesungguhnya?
Kemerdekaan yang sebenarnya itu ada bukan dari seberapa banyak bendera-bendera merah putih dipasang di pinggir jalan, atau bukan dari seberapa teratur barisan dan pasukan pengibar bendera merah putih saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun negeri ini. Jika masyarakatnya telah sejahtera, hukum telah ditegakkan secara benar dan adil, rakyat menjadi target utama pembangunan, dan ekonomi pasar sudah betul-betul memudahkan kehidupan masyarakatnya, maka itulah kemerdekaan yang sebenarnya.
Masyarakat, terutama orang miskin, tak perlu obralan janji pemimpin-pemimpinnya. Mereka juga tak butuh pidato-pidato presiden yang piawai dengan sistematika kebahasaannya, namun kosong realisasinya. Mereka juga tak berminat dengan gaya-gaya polisi, hakim, dan jaksa yang selalu memelintir hukum yang benar dengan nominal angka (Rp) yang mereka terima. Inilah wajah bopeng kemerdekaan kita, wajah kemerdekaan yang masih sangat verbal.
Dalam hal ini, kemerdekaan hanya menjadi retorika sejarah yang terus digulirkan, tapi tak memiliki identitas. Perayaannya pun yang setiap tahun digelar juga hanya menjadi ritualitas kosong yang tak punya substansi dalam mewujudkan negeri ini.
Gemar Seremonial
Jika kita perhatikan secara seksama, ada tradisi di negeri ini yang sudah mengkarakter dalam otak dan jiwa masyarakatnya. Ia menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan borjuis (rakyat), hingga kaum proletar, bahkan sekelas presiden pun juga hanyut dalam tradisi ini. Inilah tradisi kegemaran terhadap seremonial.
Sepintas tradisi ini terlihat tidak jelek, bahkan, terkadang, menimbulkan semangat baru, tetapi kenyataan yang cenderung terjadi adalah meaningless. Begitu banyak seremonial digelar besar-besaran, bahkan hingga menghabiskan miliaran rupiah, tetapi nyaris tak ada makna di balik seremonial itu. Dengan kata lain, selesai sebuah seremonial diadakan, selesai pula makna di baliknya dan hilanglah essensinya.
Untuk sekadar mengingat, betapa banyak kegiatan kepresidenan digelar, tapi nyaris tak ada perubahan berarti terhadap negeri ini. Betapa sering konferensi pers dan pidato kepresidenan dilakoni, tapi hasilnya nihil. Begitupun di tingkatan wilayah dan daerah dengan intensitas kegiatan gubernur dan bupati/wali kota yang hanya mengandalkan seremonial semata.
Tradisi ini, menurut penulis, perlu dirubah dan diganti dengan yang lebih bermakna. Untuk apa menggagas ataupun mengadakan sesuatu yang melangit jika orang-orang dibumi tak dapat menggapainya. Dengan kata lain, seremonial dan pidato-pidato yang hanya ditangkap dengan telinga tapi setelah itu hilang akan lebih baik jika langsung bisa menembus rasa orang-orang tidak mampu, dengan kegiatan yang dampaknya langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Wallahu a'lamu bi as-shawab
Subscribe to:
Posts (Atom)