Gerakan
mahasiswa di Indonesia secara kuantitatif, masih sangat dibanggakan. Namun jika
dilihat dari hasil (baca: kualitatif), gerakan mahasiswa menjadi sesuatu yang
kurang bermakna. Alasannya karena aspirasi mereka yang dilakukan melalui
gerakan itu hampir tidak pernah digubris oleh pemerintah atau juga penguasa.
Gerakan
mahasiswa seperti hanya angin lalu. Sehingga jika pemerintah memiliki kebijakan
apapun, termasuk yang kontra kepentingan rakyat sekalipun, akan tetap jalan,
meskipun mahasiswa menolaknya. Mereka jarang sekali mengindahkan suara-suara
ekstra-parlemen. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden yang selalu
‘menghilang’ jika mahasiswa melakukan aksi besar-besaran sebagai bentuk protes
atas kepemimpinannya. Di sini terlihat, gerakan mahasiswa begitu tumpul,
sehingga tak mampu membuka batin penguasa.
Kenapa
ini terjadi? Karena gerakan mahasiswa tak lebih dari sekadar gerakan palsu atau
pseudo-gerakan. Banyak gerakan mahasiswa yang tidak murni lahir dari nurani
perubahan, tetapi hanya lahir dari faktor lain yang tidak essensial dan bahkan
sangat sesaat.
Dalam
konteks HMI pun demikian. Gerakan politik maupun intelektual juga mengalami
pseudo. Ini bisa dilihat dari kejumudan
dan kemandegan berpikir yang melanda HMI. Begitu pun dalam aspek politik, di
mana politik di HMI mengalami krisis. Di saat misi HMI menjunjung tinggi
nilai-nilai Islam dan Tauhid, justru HMI tampil dengan gaya politik jauh dari
nilai-nilai itu. Politik HMI yang cenderung dekat dengan pragmatisme telah
menjadi politik yang tanpa nilai.